jpnn.com - Gempuran Rusia ke Ukraina sudah berlangung dua hari. Korban mulai berjatuhan, ratusan ribu dan bahkan jutaan orang mengungsi ke negara-negara tetangga.
Namun, belum ada bantuan konkret dari organisasi politik dan militer internasional.
BACA JUGA: Rusia Menginvasi Ukraina, FIFA Bereaksi, Tegas
Presiden Ukraina Vlodymyr Zelensky berang karena merasa ditinggalkan sendirian dan dikhianati oleh negara-negara yang selama ini dianggapnya sebagai sahabat dan pelindung.
Joe Biden, presiden Amerika Serikat yang sudah sepuh dan uzur, tidak akan mengirim tentara bantuan ke Ukraina. Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO juga sama saja dengan Amerika. No Action Talk Only, bicara doang, tidak ada tindakan. Itulah plesetan kepanjangan NATO.
BACA JUGA: Perang Dunia III
Justru yang bertindak cepat dan afektif adalah lembaga-lembaga olahraga internasional. Klub sepak bola, otoritas sepak bola Eropa, UEFA, dan pengelola seri balapan F1, sudah langsung bergerak cepat dengan menjatuhkan sanksi terhadap Rusia.
Sejumlah event internasional yang bakal digelar di Rusia dibatalkan dan sponsorship perusahaan-perusahaan milik pemerintah Rusia dicabut.
BACA JUGA: Menginvasi Ukraina, Rusia Diusir dari SWIFT
Diplomasi olahraga jauh lebih efisien ketimbang diplomasi politik. Sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh negara besar seperti Amerika sebenarnya punya dampak efektif.
Namun, birokrasi negara dan diplomasi politik internasional yang bertele-tele membuat keputusan terlambat diambil.
Diplomasi olahraga terbukti jauh lebih efektif dan efisien dalam menjatuhkan sanksi terhadap negara yang dianggap melanggar kedaulatan negara lain, seperti yang dilakukan oleh Rusia yang menginvasi Ukraina.
Boikot dan pencabutan sponsorship akan membuat Rusia babak belur. Jaringan kapitalisme global melalui klub-klub olahraga--yang sudah menjadi perusahaan trans-nasional--terbukti punya kekuatan yang lebih nyata ketimbang negara.
Dunia olahraga langsung melawan balik invasi Rusia dengan mencabut segala hak dan privilese Rusia sebagai tuan rumah event-event bergengsi. UEFA langsung mencabut hak Rusia untuk menggelar final Liga Champions 2022 di Saint Petersburg dan memindahkannya ke Stade de France, Prancis.
Balapan Formula 1 (F1) juga mengumumkan pembatalan GP Rusia di Sochi yang dijadwalkan pada 23-25 September 2022. Pencekalan juga dilakukan oleh Euroleague (Liga Bola Basket Eropa) dan EHF (Federasi Bola Tangan Eropa) yang melarang laga-laga internasional digelar di Rusia.
Pukulan telak dilakukan oleh Manchester United yang langsung menghentikan kerja sama dengan maskapai penerbangan Rusia Aeroflot yang telah terjalin sejak 2013.
Sementara itu, klub sepak bola Jerman Jerman Schalke 04 mencabut logo Gazprom dari jersey-nya. UEFA juga menghentikan kontrak dengan Gazprom, perusahaan energi raksasa BUMN Rusia.
Gazprom terikat erat dengan politik sepak bola Eropa lewat sosok Alexander Valeryevich Dyuko yang menjadi Chairman Gazprom Neft, anak perusahaan Gazprom yang bekerja di bidang minyak.
Dyuko juga menjadi presiden Federasi Sepak Bola Rusia pada 2019 dan terpilih kembali pada 2021. Ini menunjukkan hubungan oligarki antara sepak bola dan politik di Rusia.
Dyuko juga pernah menjabat sebagai presiden klub sepak bola Zenit St Petersburg pada 2008-2017, dan kini punya kedudukan penting di sepak bola Eropa setelah diangkat menjadi anggota Komite Eksekutif UEFA sejak April 2021.
Bagi kota Saint Petersburg, kerugian setelah pencabutan hak menjadi tuan rumah final Liga Champions ini diperkirakan akan berada di angka puluhan juta Euro, karena terkait dengan industri perhotelan, restoran, aktivitas turis, dan bidang jasa-jasa lain seperti keamanan, hospitalitas, dan terutama sponsorship.
Sepak bola bukan sekadar olahraga. Sepak bola bisa menjadi sarana untuk memahami seluk-beluk politik global dalam perang dan damai. Penggemar Premier League tentu mengenal Roman Abramovich pengusaha Rusia pemilik klub Chelsea.
Abramovich adalah bagian dari oligarki Rusia di bawah kepresidenan Vladimir Putin yang sudah menguasai Rusia hampir 20 tahun.
Putin, mantan agen intelijen KGB Uni Soviet, dianggap membajak reformasi demokratis Rusia sejak Uni Soviet runtuh pada 1991. Dengan jaringan intelijennya yang kuat Putin menguasai partai politik dan menyingkirkan lawan-lawan melalui pemenjaraan dan pembunuhan.
Ketika Uni Soviet ambruk, perusahaan-perusahaan milik negara dilelang dengan murah dan diberikan kepada pengusaha-pengusaha kroni yang dekat dengan elite politik komunis. Abramovich termasuk pengusaha yang ketiban rezeki nomplok karena dekat dengan oligarki.
Rusia secara resmi adalah negara demokrasi. Namun, Putin menjadikannya sebagai demokrasi-diktatorial. Ia mengubah undang-undang yang memungkinkannya menjadi presiden nyaris seumur hidup.
Ia juga berambisi menyaplok negara-negara tetangga bekas Uni Soviet yang merdeka dan mandiri, seperti Ukraina. Invasi terhadap Ukraina ini menunjukkan wajah totaliter Putin.
Rusia menginvasi Krimea pada 2014 dan menganeksasi menjadi bagian dari Rusia. Ukraina melawan aneksasi itu dan terjadi perang dahsyat.
Rusia memenangi perang dan merebut Krimea dan memasukkan ke dalam wilayah kekuasaannya. Dunia internasional tidak mengakui aneksasi itu dan Krimea tetap diakui sebagai wilayah Ukraina.
Putin menunjuk kroni-kroni kepercayaanya seperti Alexander Dyuko untuk memimpin perusahaan BUMN minyak sekaligus memimpin PSSI-nya Rusia. Dari sini terlihat bagaimana Putin menjadikan sepak bola sebagai kendaraan politik.
Jurnalis Amerika Serikat Franklin Foer menulis mengenai politik dunia dan globalisasi ‘’How Soccer Explains the World: An Un Likely Theory of Globalization (2004). Foer mengupas tentang fenomena globalisasi yang dikaitkan dengan dunia sepakbola.
Foer mengungkapkan kegagalan globalisasi dalam mengikis budaya tribalisme dan primordialisme yang mewarnai persaingan dalam sepakbola. Hal itu terlihat dari kisah holiganisme di berbagai penjuru dunia.
Foer juga membahas fenomena ekonomi dan sepak bola. Maraknya korupsi di dunia ketiga, arus migran di negara Eropa, dan bangkitnya oligarki baru seperti Silvio Berlusconi di Italia.
Foer juga menyoroti bagaimana sepak bola dipergunakan untuk membela nasionalisme dalam kasus sepak bola Spanyol yang melahirkan El-Clasico Barcelona vs Real Madrid. Foer menyaksikan bagaimana rivalitas di luar nalar yang tercipta antara dua tim musuh bebuyutan asal ibu kota Skotlandia, Glasgow: Celtic dan Rangers yang selalu melahirkan Derby Old Firm seperti perang.
Foer juga mengungkap udang di balik batu. Ketika sepak bola menjadi industri maka kebencian rasial dan agama bisa dijadikan uang. El Clasico dan Old Firm menjadi bisnis besar yang menghasilkan uang besar.
Kebencian dan persaingan diuangkan dengan menjual sponsorship kepada perusahaan multinasional, dan menjual berbagai pernik seperti jersei dan gantungan kunci kepada suporter.
Rivalitas dan kebencian sengaja dirawat karena dari situ keuntungan bisa dikeruk. Persaingan keras di antara suporter garis keras ultras di kedua pihak sengaja dilestarikan, bukan sekadar demi rivalitas, melainkan untuk meraup profit.
Globalisasi yang mengontaminasi sepak bola juga membuka ruang bagi kaum oportunis untuk menjadikannya alat efektif demi mencapai kepentingan politik. Berlusconi mendirikan partai politik Forza Italia dengan basis suporter AC Milan, dan berhasil menjadi perdana menteri pada 2001.
Franklin Foer menelusuri keterlibatan para pelaku kejahatan kemanusiaan dalam konflik Serbia-Bosnia yang menjadi pendukung klub raksasa Serbia, Red Star Belgrade. Ia juga menyusuri rasisme sepak bola di Ukraina, serta fakta sejarah Zionisme yang bersinggungan dengan sepak bola.
Klub-klub besar yang berasosiasi dengan Yahudi adalah Ajax Amsterdam yang dimiliki oleh komunitas Yahudi, dan Tottenham Hotspur di Inggris yang dimiliki oleh pengusaha Yahudi, Daniel Levy.
Serbuan Rusia ke Ukraina akan membuat posisi Roman Abramovich dan Andriy Shevchenko serbasalah. Keduanya bersahabat akrab, tetapi dalam politik keduanya berseberangan.
Shevchenko menjadi pelatih Ukraina yang membuat sejarah dengan lolos ke perempat final turnamen Euro 2020, sebelum dihentikan oleh tim Inggris. Prestasi Ukraina lebih baik dari Rusia.
Semasa masih menjadi pemain, Shevchenko rela pindah dari AC Milan ke Chelsea demi Abramovich. Namun, di Chelsea Shevchenko seperti terkutuk dan menjadi flop. Mungkin, uang panas Abramovich yang membuat Shevchenko gagal bersinar. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror