Rusuh SARA Tanjungbalai Bukan Hal Baru, Polri Harus Tahu

Sabtu, 30 Juli 2016 – 12:31 WIB
Ketua Presidium IPW Neta S Pane. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com - JAKARTA - Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane menyatakan, Polri harus benar-benar bisa meredam kerusuhan benuansa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) SARA di Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, Jumat (29/7) malam. Pasalnya, wilayah di pantai timur Sumatra Utara itu sangat rentan dengan amuk massa dan konflik SARA.

"Kerusuhan ini dengan cepat meluas karena Polres Tanjungbalai kurang tanggap dengan situasi psikologis masyarakat setempat. Akibatnya amuk massa ini sempat membakar sejumlah bangunan, sepeda motor, dan mobil serta merusak sarana ibadah," kata Neta, Sabtu (30/7).

BACA JUGA: Pengakuan Bekas Copet, Dulu Anak Buah Freddy Budiman

Belajar dari kasus amuk SARA di Tanjungbalai, ujar Neta, sudah saatnya Mabes Polri dalam menunjuk kepala kepolisian daerah (kapolda) dan kepala kepolisian resor (kapolres) benar-benar memilih figur yang mampu memetakan psikologis masyarakat.

"Tanjungbalai sendiri tergolong daerah rawan konflik akibat kurang pedulinya jajaran aparat keamanan terhadap situasi sosial, bahkan cenderung berkolusi dengan pihak tertentu dan membiarkan berkembangnya mafioso di daerahnya," ungkap Neta.

BACA JUGA: Mensos Dukung Eksekusi Mati untuk Gembong Narkoba

Lebih lanjut Neta mencontohkan, pada 27 Mei 1998 misalnya, warga etnis tertentu di Tanjungbalai menjadi korban amuk massa. Sebab, kala itu warga Tanjungbalai merasa diteror tokoh mafia Abie Besok Gembok yang juga keturunan etnis tertentu itu.

Abie yang dekat dengan pimpinan parpol di Jakarta,  kata Neta, bisa membuat jajaran kepolisian dan militer di kota itu bertekuk lutut. Selain itu, Abie bebas melakukan pungutan uang keamanan ke pertokoan, menguasai penyelundupan, mengendalikan perjudian dan pelacuran tanpa tersentuh hukum.

BACA JUGA: Sehari, Mensos Bisa Minum Lima Cangkir Kopi Pahit

Abie yang merasa berkuasa semakin bertindak semena-mena. Akibatnya massa kesal dan mengamuk.

"Kerusuhan SARA pun meletus di kota itu pada 28 Mei 1998. Ratusan rumah, toko, dan mobil di kota itu dihancurkan serta dibakar warga. Begitu juga gedung DPRD dihancurkan warga karena sebagian oknum legislatif dinilai sebagai backing mafia. Massa juga menjarah toko-toko. Kerusuhan baru berakhir setelah TNI diturunkan dari berbagai kota," ujar Neta.

Selain itu, Neta juga mengisahkan kerusuhan bernuansa SARA di Tanjungbalai yang  pernah terjadi pada 3 Maret 1946. Kala itu puluhan orang tewas.

Korbannya adalah keluarga Kesultanan Asahan dan warga keturunan Tionghoa. Kerusuhan itu lantas menjalar tanpa kendali ke berbagai daerah di Sumatra Utara, bahkan hingga ke Tanjungpura, Langkat.

Karenanya Neta mengingatkan Polri agar berbagai kerusuhan dan amuk massa bernuansa SARA benar-benar bisa menjadi pembelajaran bagi Polri. Jika tidak ada antisipasi, katanya, maka rusuh SARA di Tanjungbalai akan terus terulang.

“Jajaran kepolisian harus memiliki kepedulian yang tinggi dan jangan membiarkan aksi mafioso berkembang, sehingga warga tertekan. Kalau ini terjadi amuk massa berbau SARA, akan menjadi rutinitas di Tanjungbalai," pungkasnya.(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kenang Masa Kecilmu dengan Sejuta Xpresi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler