jpnn.com, JAKARTA - Akademisi Universitas Indonesia (UI), Ima Mayasari, menyatakan, perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS) tak menyelesaikan hambatan investasi. Karenanya, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) diperlukan.
"Akhirnya butuh payung hukum yang namanya undang-undang dan undang-undang ini disusun dengan gunakan teknis penyusunan omnibus law, bagaimana satu UU bisa lakukan perubahan, mengubah atau menambah norma baru atau menghapus dalam satu undang-undang ini," paparnya saat dihubungi, Rabu (19/8).
BACA JUGA: Ekonom: RUU Cipta Kerja Akan Memperluas Lapangan Kerja
Ini terjadi lantaran perizinan berusaha di Indonesia masih tumpang tindih dan tidak harmonis satu dengan lainnya. "Itu sudah jadi pengetahuan umum masyarakat, bahwa regulasi kita seperti itu," jelasnya.
RUU Ciptaker, sambung Ima, pun membawa transformasi perizinan dari pendekatan licence of course menjadi risk based of course. Pemerintah pun dianggap berhati-hati dalam menyusunnya.
BACA JUGA: Dr. Teddy: Sebaiknya RUU Cipta Kerja Segera Disahkan
"Dalam melihat kegiatan bisnis yang sudah ada dalam KLBI (klasifikasi baku lapangan usaha), ada sekitar 1.500 sektor, itu dibagi karakternya menjadi tiga, yaitu kegiatan yang berisiko tinggi, rendah, dan menengah. Tidak hanya izin, tapi ada klasifikasi seperti itu," urainya.
Kebijakan memberikan izin berdasarkan tata kelola perusahaan ini, ungkapnya, belum pernah diterapkan di Indonesia sebelumnya. Padahal, negara-negara lain telah mempraktikkannya.
BACA JUGA: Asosiasi Digital Yakin RUU Cipta Kerja Bakal Bikin Indonesia Dilirik Amazon dan Tesla
"Di sisi lain, karena kita kebanyakan menerapkan atau mengeluarkan izin tapi tanpa dibarengi dengan pengawasan. Justru RUU Ciptaker itu menyelaraskan antara perizinan dengan pengawasan," papar peraih gelar dokter hukum termuda dari UI ini.
Dengan demikian, dirinya memastikan RUU Ciptaker akan membuat tata kelola pemerintahan lebih baik. Pangkalnya, perizinan tak lagi dimonopoli pemerintah, melainkan berdasarkan konsensus antara eksekutif, profesional, dan pelaku usaha.
"(Ini) standar yang sudah jadi pedoman di internasional. Artinya, sudah teruji. Menurut saya, (ini lebih baik) dibandingkan dengan ketika kita buat regulasi yang enggak pernah berubah dan itu hanya dibuat oleh satu pihak, yaitu oleh pemerintah," ungkapnya.
Mengenai pro kontra RUU Ciptaker, Ima memakluminya lantaran dilatarbelakangi ketidakpahaman. Baginya, polemik juga kerap terjadi dalam suatu regulasi.
"Jadi, dinamika ini tentunya menjadi hal yang wajar. Ya, orang bisa bebas berargumen dengan berbagai hal dan itu tidak dilarang di negara kita," tutupnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil