RUU Keamanan dan Ketahanan Siber Belum Layak Disahkan

Selasa, 13 Agustus 2019 – 22:39 WIB
Keamanan dan Ketahanan Siber. Foto : Pixabay

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR Evita Nursanty mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan dan Ketahanan Siber yang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR sangat diperlukan. Evita mengatakan ancaman siber yang saat ini terjadi bukan persoalan kecil, melainkan masalah besar yang harus lebih mendapatkan fokus perhatian dari pemerintah.

Dia menegaskan, sekarang bukan lagi perang tradisional. Melainkan perang siber. Bedanya, perang tradisional dideklarasikan. Kalau perang siber, tidak ada deklarasi. "Tiba-tiba kita sudah diserang," tegasnya dalam diskusi "Progres Percepatan Pengesahan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS)?" di gedung DPR, Jakarta, Selasa (13/8).

BACA JUGA: Perlu Memperkuat Fondasi Keamanan dan Ketahanan Siber Lewat UU

Politikus PDI Perjuangan itu menuturkan, persoalan ini harus menjadi perhatian pemerintah. Dia mengingatkan sebuah sejarah bahwa ketika Estonia, Georgia, diserang dengan serangan siber oleh Rusia, mereka lumpuh dan tidak berdaya.

BACA JUGA: Kemkominfo Dukung Pengesahan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber

BACA JUGA: Sulteng Strategis jadi Pusat Pembangunan Industri Mobil Listrik

Menurut Evita, bukan tidak mungkin ancaman seperti itu terjadi di Indonesia. "Bahwa ancaman itu ada di depan mata kita yang harus menjadi perhatian kita," tegasnya.

Kendati demikian, Evita mengaku ketika sudah membaca draf RUU itu, maka secara konteks dan substansinya harus lebih didalami lagi.

BACA JUGA: DPR Pesimistis RUU Kamtansiber Tuntas Tahun Ini

Dia menegaskan, RUU yang menyangkut keamanan dan ketahanan siber ini menjadi payung hukum dari semua aspek yang berhubungan dengan persoalan itu di Indonesia. "Itu pandangan saya pribadi," katanya.

Dia menjelaskan dulu ketika pemerintah melihat ancaman narkotika, maka lahirlah BNN. Ketika melihat adanya ancaman terorisme, lahir pula BNPT. Bahkan, ketika melihat ancaman siber, lahirlah BSSN.

Hanya saja, Evita menegaskan, dari draf RUU yang sudah dibacanya, aturan ini hanya lebih fokus kepada BSSN saja. "Karena lebih dari 20 pasal itu mengenai BSSN," katanya.

Menurut dia, RUU terlalu teknis sampai sertifikasi, sertifikat dan lain-lainnya. Padahal, Evita berharap ini menjadi payung hukum dari semua kegiatan siber Indonesia.

"Baik itu di BIN, TNI, Kejaksaan, Imigrasi, Kominfo, BSSN, BNPT. Karena ketika bicara serangan serangan siber tidak bisa lepas dari terorisme juga," paparnya.

Pakar keamanan siber Pratama Persadha memgatakan, belum lama ini menjadi salah satu yang diundang membahas RUU ini di Jakarta. Saat itu, ujar Pratama dari sekian banyak pertanyaan rata-rata mereka masih meragukan RUU ini perlu segera disahkan.

"Kenapa, karena masih banyak terjadi conflict of interest antara Badan Sandi Negara dengan institusi-institusi lain yang memang mereka saat ini sudah berkecimpung dalam bidang siber," katanya dalam kesempatan tersebut.

Pratama kaget karena RUU yang besar dan akan mengatur seluruh aspek kehidupan, terutama keamanan dan ketahanan siber di Indonesia itu terlalu cepat untuk diputuskan tanpa adanya koordinasi dengan institusi yang memang berkepentingan terhadap hal ini.

"Karena itu perlu ada pertimbangan khusus, bagaimana membuat undang-undang ini menjadi undang-undang yang baik untuk semua orang di Indonesia, untuk semua instansi, baik pemerintah maupun swasta di Indonesia," paparnya. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Oposisi Tak Akan Mampu Menghalangi RUU DKI Baru


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler