RUU Keimigrasian Dianggap Janggal

Anggota Fraksi PDI-P Surati Menkum HAM

Rabu, 06 April 2011 – 03:04 WIB

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan, Eva Kusuma Sundari menemukan kejanggalan sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-undang (RUU) KeimigrasianTepatnya perbedaan antara apa yang diputuskan dalam Sidang Rapat Laporan Tim Perumus (Timus) RUU Keimigrasian kepada Tim Panja Komisi III DPR-RI pada tanggal 29 Maret 2011, serta Raker yang dihadiri Patrialis pada 31 Maret 2011

BACA JUGA: Agung Sarankan Proyek Gedung Baru DPR Dievaluasi

Karena itu ia menyurati Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar guna meminta penjelasnnya.

“Ada perubahan secara krusial yang berdampak terhadap berubahnya arti dan isi pasal tersebut
Jadi saya meminta agar Patrialis kembali mencermati penjelasannya dalam Raker di Komisi III DPR, Kamis (31/3) lalu,” kata Eva, kepada wartawan di gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Selasa (5/4).

Adapun beberapa pasal yang ia pertanyakan yaitu: Pasal 54 ayat (1) huruf a yang sebelumnya (dalam Bahan Timus 24 Maret 2011) berbunyi ‘Orang Asing pemegang Izin Tinggal Terbatas sebagai rohaniwan, pekerja, investor, keluarga karena perkawinan campuran, dan lanjut usia’, diputuskan oleh Timus untuk diubah dengan memindahkan anak kalimat ‘keluarga karena perkawinan campuran’ dari huruf a menjadi huruf b.

“Perubahan ini disetujui oleh Pemerintah dan Tim Panja Komisi III

BACA JUGA: Protes, Anggota DPR Kembalikan Kartu Kredit Citibank

Oleh karenanya keputusan ini sudah disahkan pada Rapat Timus 29 Maret 2011,” ungkap politisi dari PDIP itu.

Namun, lanjutnya, dalam rumusan final yang digunakan sebagai bahan Raker 31 Maret 2011, ternyata Pasal 54 ayat (1) huruf b berbeda bunyinya, menjadi ‘Orang Asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia’.

Dengan rumusan tersebut, kata Eva, posisi anak dari perkawinan campuran yang karena usia lebih dari 18 tahun pada saat UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan diberlakukan belum sempat mendapat kewarganegaraan ganda ataupun kewarganegaraan Indonesia (karena mengikuti kewarganegaraan ayahnya yang WNA, merupakan subyek UU No 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan) menjadi sangat tidak jelas.

“Kami minta agar Pasal 54 ayat (1) huruf b dan/atau huruf d dirumuskan kembali guna memastikan agar anak dewasa WNA dari perkawinan campuran tersebut di atas termasuk di dalam kategori orang asing yang bisa mendapatkan Izin Menetap (ITAP)," katanya.

Selanjutnya, Pasal 62 ayat (2) huruf g tentang "putusnya hubungan perkawinan campuran karena perceraian dan/atau atas putusan pengadilan", yang dalam pembahasan Panja 22 Maret 2011 sudah diputuskan dihapus, dimasukkan lagi pada Hasil Timus 29 Maret 2011 (walaupun tidak dibahas pada rapat Timus pada tanggal tersebut).

Kemudian, pada Raker 31 Maret 2011, atas usulannya, disetujui oleh Menkum HAM dan Tim Panja Komisi III bahwa ketentuan tersebut diubah menjadi ‘putus hubungan perkawinan Orang Asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia karena perceraian dan/atau atas putusan pengadilan, kecuali perkawinan yang telah berusia 10 (sepuluh) tahun atau lebih’.

“Kami yakin dengan tambahan tersebut, potensi penyalahgunaan perkawinan sebagai alasan untuk mendapat ITAP dapat dicegah, mengingat 10 tahun adalah waktu yang cukup lama
Namun ternyata pada draf final yang dirangkum sesudah Raker selesai, kata-kata "kecuali perkawinan yang telah berusia 10 (sepuluh) tahun atau lebih", tidak muncul pada pasal tersebut,” kata Eva.

Hilangnya kata-kata tersebut serta tambahan ayat di pasal berikutnya, yaitu Pasal 63 ayat (5) yang mewajibkan duda/janda dari perkawinan campuran yang putus memiliki ‘penjamin’, Apabila perkawinan mereka sudah lebih dari 10 tahun, HAM orang asing tersebut serta keluarganya sangat dirugikan, mengingat lamanya mereka menetap di Indonesia, keterikatan dengan anak yang juga tentunya sudah terjadi ikatan emosional dengan Indonesia dan sulitnya mencari orang yang sanggup ‘menjamin’ keberadaannya.

Dengan berubahnya bunyi pasal-pasal tersebut, Eva mengatakan, berarti keputusan yang sudah ditetapkan pada Rapat Timus-Panja 29 Maret 2011 maupun Raker 31 Maret 2011 tidak dituangkan dalam draf final RUU, sedangkan keputusan tersebut sudah disahkan dan diketok palu.

“Karena itu, kami minta agar pasal-pasal tersebut dikembalikan sesuai dengan hasil rapat, agar apa yang sudah diputuskan dapat benar-benar direalisasikan serta dapat memenuhi aspirasi HAM keluarga perkawinan campuran,” kata anggota DPR Dapil Jawa Timur VI ini

BACA JUGA: JK Anggap Golkar Terbelah Tiga

(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Priyo Minta Agung Tidak Dikaitkan Gedung Baru DPR


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler