jpnn.com, JAKARTA - Presiden Komisaris PT. Siloam International Hospitals Tbk (SILO) John Riady meyakini para pemangku kepentingan bisa menyelesaikan polemik tentang Rancangan Undang Undang (RUU) Kesehatan sehingga sistem kesehatan di dalam negeri makin kokoh dan masyarakat diuntungkan.
John berharap para pemangku kepentingan (stakeholder) duduk bersama demi menemukan solusi terbaik sehingga RUU Kesehatan berorientasi pada masyarakat dan peningkatan kualitas kesehatan.
BACA JUGA: PDSI: RUU Kesehatan Akhiri Monopoli IDI yang Hambat Pemenuhan Kebutuhan Dokter
“RUU Kesehatan digagas untuk menjadi regulasi yang bisa menyelesaikan berbagai persoalan kesehatan di Indonesia, baik dari aspek peningkatan layanan kepada masyarakat, kualitas sumber daya manusia (SDM) kesehatan, pemerataan dokter spesialis, dan aspek bisnis,” kata John melalui keterangan tertulis yang diterima, Senin (6/3).
Dia mengatakan SILO sebagai jaringan rumah sakit swasta di Indonesia berkomitmen untuk terus mendukung upaya pemerintah membangun sistem kesehatan masyarakat yang berkualitas, andal, dan merata.
BACA JUGA: PKS Menolak, Baleg Tetap Setujui RUU Kesehatan Jadi Usul Inisiatif DPR RI
Langkah itu ditempuh SILO untuk meminimalisasi jumlah masyarakat yang berobat ke luar negeri.
Mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo, John mengungkapkan pada 2022 sebanyak 2 juta warga negara Indonesia (WNI) berobat ke Malaysia, Singapura, Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat.
BACA JUGA: John Riady Yakin Artificial Inteligence Bisa Memperkuat Sistem Layanan Kesehatan
Sebanyak 1 juta WNI berobat ke Malaysia, 750 ribu WNI berobat ke Singapura, dan sisanya sekitar 250 ribu WNI berobat ke Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat.
Menurut John, tingginya jumlah WNI yang berobat ke luar negeri mengakibatkan devisa negara sebesar Rp 165 triliun hilang.
“Saya yakin seluruh stakeholder bisa duduk bersama dengan niatan dan visi yang sama, membangun sistem kesehatan berkualitas, andal, dan merata,” sambung John.
Diakuinya, sistem layanan kesehatan nasional masih dibelit berbagai persoalan, yang mana salah satu permasalahan utama adalah kualitas dan kuantitas serta minimnya penyebaran dokter spesialis.
“Sumber utama permasalahan adanya ketimpangan SDM kesehatan dengan cakupan layanan, baik luasnya wilayah serta jumlah populasi,” katanya.
Untuk peningkatan dan pemerataan kualitas, dibutuhkan lebih banyak lagi SDM dokter spesialis.
Saat ini, merujuk data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Indonesia hanya memiliki 54.000 dokter spesialis.
Jumlah itu dinilai sangat timpang dibandingkan populasi penduduk Indonesia yang mencapai 275 juta jiwa. Rasio dokter spesialis hanya sekitar 2:10.000 warga.
Kelangkaan dokter spesialis lebih parah terjadi di daerah. Terdapat 647 rumah sakit umum daerah (RSUD) yang bahkan tidak dilengkapi spesialis yang vital seperti anestesi, bedah, genokologi, obstetric, dan spesialis anak.
“Maka layanan kesehatan pun menjadi rentan dan tidak merata. Secara bisnis dan makro, industri kesehatan nasional pun kalah saing, sehingga setiap tahun kita kehilangan devisa sekitar Rp100 triliun dari warga yang berobat ke luar negeri,” jelas John.
RUU Kesehatan, kata John, memiliki semangat menggenjot jumlah SDM kesehatan, terutama dokter spesialis.
Draf regulasi itupun akan menyederhanakan proses pendidikan dokter spesialis yang selama ini berlaku, dari jenjang sarjana kedokteran, Co-Ass selama dua tahun, hingga internship.
Calon dokter spesialis juga diwajibkan mengantongi rekomendasi dari pemerintah daerah setempat dan organisasi profesi.
Selanjutnya, mereka juga wajib mengantongi surat tanda register (STR) dan surat izin praktik.
Persoalannya, upaya penyederhanaan ini memicu polemik, karena dianggap mengabaikan organisasi profesi dan bersifat sentralistik di tangan kementerian.
“Saya menilai, perbedaan pendapat ini bisa diselesaikan oleh para pemangku kepentingan dan kebijakan, karena semangatnya sama yakni peningkatan kualitas dan pemerataan layanan kesehatan,” imbuh John.
Lebih jauh, menurut John, secara fundamental ketersediaan SDM kesehatan terutama para tenaga spesialis berkaitan erat peran sisi hulu pendidikan.
Indonesia memiliki 92 Fakultas Kedokteran, hanya 20 di antaranya dilengkapi program spesialis.
Oleh karena itu, lanjutnya, SILO sebagai salah satu lengan Grup Lippo yang menopang sistem kesehatan nasional berkomitmen untuk mengurangi beban pemerintah.
“SDM SILO selalu terhubung dengan institusi pendidikan yang dimiliki UPH sebagai satu Grup Lippo. Kami juga menyediakan berbagai fasilitas yang menunjang lahirnya dokter spesialis, seperti pendirian Mochtar Riady Comprehensive Cancer Center [MRCCC],” katanya.
Pro-kontra lainnya terkait RUU Kesehatan adalah regulasi terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mencakup peranan dan kewenangan BPJS Kesehatan.
Menurut John, selain mempertimbangkan dan melibatkan seluruh pihak terkait, baiknya juga mengundang suara dari para pengusaha karena terkait hak dan kewajiban pemberi serta penerima kerja.
“Hampir seluruh pihak menginginkan sistem jaminan sosial yang bisa diandalkan dan berkualitas, ada baiknya juga dilibatkan,” kata John.
Sementara, SILO yang memiliki jaringan 41 pusat layanan kesehatan sejauh ini telah bekerja sama dengan akses BPJS Kesehatan.
“Ini wujud komitmen kami, karena dunia kesehatan tidak sekadar memperhatikan profitabilitas, melainkan pula layanan untuk semua,” tutupnya.(flo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia