jpnn.com - JAKARTA - Rumusan Revisi Undang Undang Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang menjadi inisiatif DPR saat ini berhenti di tengah jalan. Menjelang pergantian tahun ke 2017, kontestasi internal fraksi-fraksi di DPR tampaknya akan mewarnai dinamika parlemen.
Situasi itu dikhawatirkan membuat pembahasan draf RUU Migas oleh DPR semakin terbengkalai. Menurut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) Aditya Perdana, posisi pembahasan Revisi UU Migas saat ini mentok. Janji DPR untuk menuntaskan draf Revisi UU Migas pada masa persidangan bulan Agustus tidak terealisasi.
BACA JUGA: Ahok: 62 Persen Warga Percaya Saya Menistakan Agama
”Sampai sidang Agustus tidak ada pernah ada tindak lanjut draf Revisi UU Migas dilanjutkan ke Baleg untuk disampaikan ke pemerintah,” ujar Aditya dalam diskusi Revisi UU Migas untuk Ketahanan Energi di The Habibie Center, Jakarta, Selasa (29/11).
Aditya menambahkan, dari hasil pengamatannya, yang selama ini mendominasi pandangan-pandangan di Revisi UU Migas adalah Fraksi PDIP, Fraksi Partai Golkar, dan Fraksi Partai Gerindra. Tiga partai besar itu mendorong penguatan Pertamina dalam pengelolaan dan eksplorasi migas.
BACA JUGA: KPK Panggil Ratu Akil Terkait Suap Pilkada Buton
Namun, disamping itu, masih ada problem bagaimana menempatkan Kementerian ESDM, SKK Migas dan BPH Migas. ”Di sisi lain, ada ide pembentukan BUMN khusus migas,” kata Aditya menggambarkan.
Aditya menilai, jika diskusi hanya membahas terkait tata kelola, situasi itu menjadi problem tersendiri. Sebab, pembahasan semacam itu adalah isu elit politik saat ini.
BACA JUGA: MenPAN-RB: Pungli Penyebab Utama Birokrasi Tidak Efisien
Tantangan penuntasan Revisi UU Migas pun bertambah seiring pergantian tahun. ”Apakah UU Migas menjadi hal yang seksi? Nggak, yang seksi UU Pemilu,” kata Aditya.
Menurutnya, akan menjadi mudah jika pemerintah bisa mengambil alih inisiatif RUU Migas. Sebab, kontestasi di internal DPR dipastikan akan semakin kompleks mendekati proses pesta demokrasi.
”Masa depan UU Migas tergantung kontestasi DPR dan bagaimana pemerintah merespons. Saya yakin pemerintah akan take over kalau DPR belum selesaikan UU ini,” tandasnya.
Sedangkan peneliti senior The Habibie Center Zamroni Salim menilai posisi Pertamina dan SKK Migas selama ini tidak mampu menentukan besarnya cadangan migas. SKK Migas memiliki kelemahan tidak memiliki hak berbisnis.
Sementara Pertamina memiliki hak berbisnis, namun tidak memiliki hak untuk membuka tambang. ”Hak mining rights bisa membuatnya (Pertamina) lebih kuat untuk mengambil resiko dalam eksplorasi,” ujarnya.
Menurut Zamroni, jika berbicara pasal 33 UUD 1945, negara memiliki hak untuk melakukan eksplorasi atau membuka tambang, demi hajat hidup orang banyak. Dalam hal ini, pemerintah bisa mendelegasikan hal itu kepada Pertamina.
”Pertamina bisa memiliki monopoli untuk kuasai blok migas yang ada sekaligus kewenangan kontrak kerja sama,” ujarnya.(bay)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terkait Demo 212, Mendagri Keluarkan Dua Instruksi Buat PNS
Redaktur : Tim Redaksi