jpnn.com - Korupsi memiliki dampak yang merusak bagi suatu negara dan masyarakatnya. Praktik koruptif dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, memperburuk pelayanan publik, dan mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Korupsi memiliki pengaruh buruk terhadap demokrasi terutama karena ia dapat merusak kepercayaan antara pemerintah dan masyarakatnya.
BACA JUGA: Begini Cara Kaesang Ajarkan Kewirausahaan kepada Anak Muda
International Monetary Fund (IMF) misalnya, telah mengidentifikasi bahwa tingkat korupsi yang tinggi dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan investasi.
Transparency International juga menekankan bahwa korupsi menghambat pembangunan ekonomi, mengurangi akses terhadap layanan publik, seperti kesehatan dan pendidikan, serta merusak moralitas sosial.
BACA JUGA: Angka Stunting di Indonesia Masih Tinggi, Kaesang Bisa Apa?
Korupsi secara nyata dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, mengurangi investasi dalam sektor publik, dan mengakibatkan kerugian dalam pengelolaan sumber daya.
Studi empiris oleh berbagai lembaga riset menunjukkan bagaimana korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi suatu negara dan menghasilkan kesenjangan sosial yang lebih besar.
BACA JUGA: Menanti Kaesang dan PSI di Garis Depan Perang Melawan Kekerasan Seksual
Terkait urgensi RUU perampasan aset dan RUU pembuktian terbalik, terdapat teori dan pandangan yang bisa mendukung. Pertama, Teori Agensi yang mencerminkan ketidakseimbangan kekuasaan di antara pemerintah dan rakyat.
Kedua, Teori Deterrence yang menekankan pentingnya hukuman yang tegas dan efektif untuk mencegah perilaku koruptif.
Korupsi bisa terjadi karena agen (pemerintah atau pejabat) menggunakan kekuasaannya untuk memperoleh keuntungan pribadi, yang mendorong perlunya regulasi seperti RUU perampasan aset untuk mengambil kembali aset yang diduga diperoleh secara koruptif.
Sedangkan RUU pembuktian terbalik bisa menjadi alat untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum dengan memudahkan proses hukum dalam menuntut pelaku korupsi.
Sebabnya, mendukung RUU perampasan aset merupakan langkah penting dalam memerangi korupsi, dengan mencatat bahwa hal itu bisa menjadi peringatan bagi para pelaku korupsi bahwa mereka tidak akan bisa menikmati hasil dari perbuatan mereka.
Argumen yang dibangun oleh pakar hukum tindak pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, dalam artikelnya “Tiap Ada Korupsi, Pasti Ada Pencucian Uang,” juga menunjukkan bahwa RUU Pemberatasan Aset dapat dijadikan sebagai medium untuk melakukan pembuktian terbalik terhadap pelaku korupsi serta bisa membantu meningkatkan efektivitas hukum dalam menangani kasus korupsi dengan memperkuat posisi penegak hukum untuk membuktikan tindak pidana korupsi.
RUU perampasan aset menjadi penting dalam pemberantasan korupsi karena memungkinkan pengambilan kembali aset yang diperoleh secara koruptif.
Hal ini sesuai dengan prinsip hukum bahwa aset yang dihasilkan dari tindakan yang melanggar hukum harus disita.
Sementara RUU pembuktian terbalik dapat memudahkan proses hukum dengan menempatkan beban pembuktian pada terdakwa korupsi. RUU pembuktian terbalik menjadi tambahan penting dalam alat-alat hukum pemberantasan korupsi.
Dengan membalikkan beban pembuktian dari jaksa ke terdakwa, RUU ini dapat mempercepat proses hukum. Dalam konteks korupsi, di mana terkadang sulit untuk mengumpulkan bukti yang cukup, pembuktian terbalik dapat menjadi instrumen efektif untuk menghadirkan keadilan dengan lebih cepat.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, ini dapat membantu mempercepat proses hukum dengan mendorong terdakwa untuk membuktikan bahwa aset yang dimilikinya diperoleh secara sah, bukan dari tindakan koruptif.
Selain itu, pengalaman negara-negara yang telah berhasil mengimplementasikan RUU serupa, seperti Singapura dan Hong Kong, dapat dijadikan acuan untuk menunjukkan efektivitas mekanisme hukum ini dalam memerangi korupsi.
RUU-RUU ini bisa menjadi instrumen penting untuk memulihkan aset negara yang diperoleh melalui tindakan korupsi.
Partai politik memiliki peran krusial dalam mewujudkan pencegahan perilaku koruptif serta dalam merancang RUU perampasan aset dan RUU pembuktian terbalik.
Namun, terkadang peran ini bisa bervariasi berdasarkan struktur politik, transparansi, dan komitmen partai terhadap integritas.
Di dalam Teori Organisasi seperti yang diajukan oleh Michel Crozier, menyoroti bahwa partai politik merupakan organisasi dengan struktur internal, hierarki, dan budaya yang mempengaruhi keputusan politik.
Dalam konteks pencegahan korupsi, partai politik dapat memainkan peran penting sebagai pendorong kebijakan anti-korupsi. Partai politik memegang kendali kebijakan dan penentuan agenda politik suatu negara.
Menurut pandangan Robert Klitgaard, seorang pakar ekonomi yang dikenal dengan “Rumus Klitgaard” tentang korupsi, partai politik harus mendorong transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi untuk meminimalisir praktik koruptif.
Dengan demikian, partai politik yang memiliki komitmen kuat terhadap integritas dan pencegahan korupsi dapat merancang kebijakan yang memperkuat sistem hukum dan memberikan dukungan terhadap RUU perampasan aset dan RUU pembuktian terbalik.
Partai politik memiliki tanggung jawab dalam merancang peraturan hukum yang efektif dalam pencegahan dan penindakan korupsi.
RUU perampasan aset, sebagai contoh, memerlukan kerja sama lintas-partai untuk merancang dan mengesahkan hukum yang memungkinkan pengambilan kembali aset yang diduga diperoleh secara koruptif.
RUU pembuktian terbalik juga memerlukan peran aktif partai politik. Partai politik dapat mendukung RUU ini dengan memastikan bahwa kebijakan hukum yang merancang pembuktian terbalik berada dalam kerangka yang adil dan menjamin hak asasi terdakwa.
Dengan komitmen pada integritas dan keadilan, partai politik dapat mempengaruhi agenda politik untuk menciptakan kebijakan anti-korupsi yang efektif dan menyokong perubahan hukum yang memperkuat penegakan hukum terhadap perilaku koruptif.
PSI di bawah kepemimpinan Kaesang Pangarep, sebagai partai yang selama ini gencar menyuarakan prinsip integritas dan anti-korupsi, kemungkinan besar akan memiliki kontribusi terhadap upaya pencegahan perilaku koruptif ini.
Partai-partai yang memiliki fokus pada reformasi politik dan pemberantasan korupsi biasanya mendukung kebijakan yang memperkuat sistem hukum untuk mengatasi tindakan koruptif.
Maka dari itu kita perlu mendukung langkah-langkah kadernya agar duduk diparlemen, supaya janji perlawanan atas tindak pidana korupsi melalui RUU Perampasan aset dan RUU Pembuktian terbalik ini dapat terealisasi.
Penulis adalah aktivis Gerakan Muda Pengawal Demokrasi Indonesia (GEMA PEDIA)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif