jpnn.com, KIGALI - Minggu (7/4) adalah peringatan seperempat abad pembantaian di Rwanda. Negara tersebut masih berduka. Namun, sisa-sisa kengerian hampir sirna.
Anak-anak yang kehilangan orang tuanya selama konflik sudah mulai dewasa. Mereka belajar berdamai dengan masa lalunya. Modernisasi Rwanda mulai terasa.
BACA JUGA: Gereja Penuh Jemaat Disambar Petir, 16 Tewas Seketika
Satu per satu pemberontak Hutu, anggota Democratic Forces for the Liberation of Rwanda (FDLR), yang dulu melarikan diri juga pulang. Mereka kini tinggal di kamp di Mutobo, sekitar 100 kilometer dari Kigali.
Pada November tahun lalu, ada 1.563 mantan FDLR yang pulang. Namun, para pemimpin pembantaian tetap tidak bisa bebas dari jerat kesalahan. Peradilan tetap berjalan. (sha/c14/dos)
BACA JUGA: Myanmar Menutup Diri dari PBB, Apa yang Disembunyikan?
Fakta Kengerian Itu...
6 April 1994 pesawat yang membawa Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana dan Presiden Burundi Cyprien Ntaryamira ditembak jatuh, seluruh penumpang tewas. Dua petinggi itu beretnis Hutu. Etnis Tutsi dituding sebagai pelaku. Aksi pembantaian dengan motif balas dendam dimulai.
BACA JUGA: Jumlah Rohingya yang Dibantai Setara Penduduk Satu Kelurahan
KTP penduduk Rwanda kala itu disertai keterangan etnis. Hal tersebut memudahkan pembantaian etnis Tutsi. Pemberontak Tutsi yang tergabung di Rwandan Patriotic Front (RPF) balas membantai orang Hutu.
200 ribu orang diperkirakan terlibat pembantaian.
Nama-nama orang Tutsi dibacakan di radio agar mereka yang mendengar bisa membunuh orang itu. Pendeta dan biarawati ikut membantai orang yang berlindung di gereja.
Sekitar 800 ribu orang Tutsi dan Hutu tewas selama 100 hari konflik. Sekitar 300 ribu di antaranya anak-anak.
Sebanyak 95 ribu anak-anak kehilangan orang tua.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Serbia Kecam Vonis Seumur Hidup Pembantai Muslim Bosnia
Redaktur & Reporter : Adil