jpnn.com, BANYUWANGI - Suliono, 23, pelaku penyerangan terhadap empat jemaat gereja Katolik St Lidwina, Trihanggo, Gamping, Sleman, Jogjakarta, merupakan warga Krajan, Desa Kandangan, Pesanggaran, Banyuwangi, Jatim.
Begitu mendengar kabar menghebohkan itu, Forum Pimpinan Kecamatan (Forpimka) Pesanggaran langsung datang ke rumah orang tuanya, kemarin (11/2).
BACA JUGA: Penyerang Jemaat Gereja Hanya Tertarik Perempuan Bercadar
Kapolsek Pesanggaran AKP Hery Purnomo bersama Danramil Kapten Sutoyo, Camat Hardiono menemui orang tua Suliono, Mistaji dan Edi Susiyah.
Selain minta keterangan, anggota polisi sempat menggeledah dan mengamankan sejumlah barang antara lain kalender 2017 berlabel Pondok Pesantren Padepokan Topo Lelono Pangeran Krincing, Pesantren Putra Putri (Sirojul Mukhlasin, Ummahatul Mukminin) Krincing, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, dan pamflet pondok pesantren bertuliskan Dakwah Maksud Hidup BERPAYAMAN II. “Juga ada beberapa buku,” terang Kapolsek Pesanggaran, AKP Hery Purnomo.
BACA JUGA: Sosok Suliono, Penyerang Jemaat Gereja St Lidwina, Ternyata!
Menurut kapolsek, lingkungan dan latar belakang keluarga Suliono itu hanya warga biasa. Bapaknya sebagai buruh tani dan dikenal baik oleh masyarakat.
Di Desa Kandangan itu tingkat kerukunan dan keragaman sebenarnya sangat terjaga dengan baik.
BACA JUGA: Ayah Ibu Penyerang Jemaat Gereja St Lidwina Histeris
Kegiatan keagamaan juga berjalan baik karena lokasi tempat ibadah seperti vihara, pura, masjid, dan gereja berdekatan. “Di sini (Desa Kandangan) itu rukun, bahkan ada gereja dan masjid pagarnya gandeng,” jelasnya.
Sehingga, terang dia, segala hal yang terjadi pada Suliono itu diduga kuat pengaruh dari pergaulan selama merantau, bukan dari pendidikan selama di rumahnya. “Anak baik-baik saat di rumah, orang tuanya juga tani tun,” ucapnya.
Sementara itu, salah satu tokoh masyarakat yang juga mantan Kepala Desa Kandangan, Mubarok, mengaku mengenal dekat dengan keluarga Suliono, apalagi rumahnya juga tidak berjauhan.
Menurutnya, Suliono itu sebenarnya anak baik-baik. Sebelumnya, dia tidak pernah terlibat kegiatan yang mengarah yang mengganggu ketertiban warga. “Tidak pernah neko-neko,” katanya.
Hanya saja, terang dia, belakangan ini memang ada perubahan. Saat pulang Suliono pernah datang ke rumahnya dan mengajak debat terbuka.
Saat itu, salah satu hal yang dipermasalahkan Suliono kebiasaan warga membawa cok bakal atau selamatan ketika akan musim panen.
“Dia pernah menanyakan bagaimana hukumnya membawa cok bakal saat panen,” terang pria yang juga Ketua Majlis Takmir Masjid di Desa Kandangan dan Sarongan itu.
Selain itu, terang dia, tata cara berpakaian juga dibahas. Saat itu, Suliono mengatakan jika seseorang sudah mengakui menjadi Islam, seharusnya siap dalam hal berpakaian.
“Kalau sudah siap jadi orang Islam ya haus siap pakaian ala Islam,” cetus alumni Pondok Pesantren Tsamaroturroudloh Desa/Kecamatan Tegalsari, dan Pondok Pesantren Darun Najah Banyuwangi itu, menirukan Suliono.
Selama debat, Mubarok mengungkapkan Suliono menyampaikan dengan sopan dan baik. Tapi, saat itu dirinya tidak melayani dan hanya mendengar sambil memberi arahan. “Saya kasih tau, adik ini kan masih muda, nanti setelah pulang harus bisa menyesuaikan,” terangnya.
Mantan kepala desa dua periode itu juga menasihati tujuan baik yang ingin dilakukan Suliono, itu harus mengacu kepada aturan dan undang-undang di Indonesia.
“Kita hidup di negara Pancasila, saya sampaikan negara Indonesia ini bukan negara agama, tapi negara beragama,” ungkapnya. (sli/abi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tokoh Agama Diteror, Cak Imin Siap Hadapi Perobek Kebinekaan
Redaktur & Reporter : Soetomo