Pada pekan kedua Mei lalu, program Foreign Correspondent ABC mendampingi ilmuwan asal Kota Perth, Profesor David Goodall (104), untuk merekam hari-hari terakhir saat dia pamitan dengan keluarganya dan kampanye untuk mengakhiri hidupnya.
Di apartemen dengan satu kamar tidur yang terselip di gudang pinggiran kota kecil di kaki Pegunungan Alpen Swiss, David Goodall tampak terbaring.
BACA JUGA: Galeri Foto Usaha Penyelamatan Mereka Yang Terjebak Dalam Gua di Thailand
Dia sudah tak sabar untuk menemui kematiannya.
Dia dikelilingi tiga cucunya, yang datang dari AS dan Perancis.
BACA JUGA: Pengamat: Hasil Pilkada Berikan Pertanda Baik Bagi Jokowi di Pilpres 2019
Koridor apartemen itu penuh dengan jurnalis media internasional yang mengikuti kisah ilmuwan ini sejak tiba di Swiss empat hari sebelumnya.
Jari-jemari mereka begitu sigap memposting ke medsos setiap perkembangan terakhir.
BACA JUGA: Nasib Menggantung Ratusan Anjing Greyhound Australia di Pacuan Macau
Foreign Correspondent menjadi satu-satunya media Australia yang berada di sana. Video: David Goodall's final hour in Switzerland (ABC News)
Di dalam ruangan, Dr Goodall meraba alat plastik yang akan memungkinkannya memasukkan dosis obat mematikan ke dalam tubuhnya.
Katup alat itu kaku dan keras. Dan pada usia 104, dia sudah mengalami penglihatan yang buruk.
Tetapi menurut aturan hukum di Swiss yang memungkinkan seseorang mendapatkan bantuan untuk bunuh diri, Dr Goodall haruslah mengoperasikan sendiri alat tersebut tanpa bantuan siapa pun.
Jika dia tidak bisa melakukannya, maka perjalanannya ke sana akan sia-sia. Dia harus pulang ke Australia.
"Dia tidak bisa mendorong alat itu terbuka. Pada titik itu kami diberitahu bahwa tak seorang pun diizinkan mengatakan apa-apa. Kami tidak boleh membantunya," kata cucu Dr Goodall, Duncan Goodall.
"Tangannya gemetar, David sangat menginginkannya," tambahnya.
Sadar bahwa Dr Goodall tidak dapat menjalankan alat itu, Lifecircle, organisasi yang membantunya melakukan bunuh diri, menggantinya dengan alat yang lain.
Kali ini Dr Goodall berhasil melakukannya tekad yang kuat. Photo: Prof Goodall kesulitan mengoperasikan peralatan yang akan mengakhiri hidupnya. (ABC News)
Mengapa ke Swiss
Lima minggu sebelumnya di Perth, pada ulang tahunnya yang ke-104, David Goodall menyatakan niatnya untuk mati.
Dia tidak dalam keadaan kesakitan atau menderita penyakit.
Dia hanya merasa hidupnya sudah cukup.
"Saya tidak bahagia, saya ingin mati," katanya kepada ABC, dengan gaya tidak masuk akalnya yang khas.
"Sampai usia 90 saya menikmati hidup. Tapi sekarang tidak lagi," tambahnya.
Ilmuwan tanaman yang terkenal di dunia internasional tidak pernah hidup setengah-setengah.
Setelah menyelesaikan PhD di London pada 1940-an, dia bekerja di berbagai negara dan menikah tiga kali.
Ketika mencapai usia pensiun, aktivitas Dr Goodall bukannya menurun.
Dia menerima pekerjaan mengedit 38 volume seri ekosistem dunia, yang dikerjakannya lebih dari tiga dekade. Photo: David Goodall menikahi istri keduanya Muriel tahun 1949 di Melbourne. (Supplied: Karen Goodall-Smith)
Photo: Pada usia 103, ilmuwan ini masih giat mengunjungi kawasan pedalaman Australia Barat. (Supplied: Goodall family)
Photo: David Goodall mengunjungi daerah pertanian dengan traktor. (Supplied: Goodall family)
Hidup sangat mandiri dan energik, Dr Goodall tinggal sendirian dan pergi-pulang kerja naik transportasi umum sampai usia 102 tahun. Saat itu kampusnya menyarankan dia lebih aman bekerja dari rumah.
Dr Goodall tidak menerima hal itu.
Dia berbicara di depan umum, dan menyebabkan kecaman balik ke pihak universitas yang akhirnya mencarikan kantor yang lebih dekat ke rumahnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, mobilitas dan penglihatan Dr. Goodall pun memburuk.
Setelah terjatuh di rumahnya awal tahun ini, dia ketakutan akan dipaksa masuk panti jompo.
Dia pun mencoba untuk bunuh diri.
"Dia selalu merencanakan bahwa pada suatu titik, jika kehidupan tidak lagi layak dijalani atau tidak lagi berkualitas, hal inilah yang akan dilakukannya," kata putrinya, Karen Goodall-Smith. "Tapi hal itu gagal." Video: Dr Goodall marks his 104th birthday. (ABC News)
If you or anyone you know needs help:PANDA on 1300 726 306Lifeline on 13 11 14Kids Helpline on 1800 551 800MensLine Australia on 1300 789 978Suicide Call Back Service on 1300 659 467Beyond Blue on 1300 22 46 36Headspace on 1800 650 890Butterfly Foundation on 1800 334 673
Dr Goodall pun menghubungi organisasi advokasi hak untuk mati Exit International, yang dia jadi anggotanya cukup lama.
Organisasi ini didirikan Dr Philip Nitschke. Dan pada 2015, Dewan Medis Australia membatasi praktik medis Dr Nitschke, melarang dia memberikan saran tentang bunuh diri.
Registrasinya sebagai dokter berakhir pada Desember 2015 dan sekarang dia menjalankan Exit International dari Belanda.
Karena euthanasia sukarela dan bantuan untuk melakukan bunuh diri ilegal di Australia, Dr Nitschke menyarankan Dr Goodall pergi ke Swiss.
"Ini perjalanan yang luar biasa," kata Dr Nitschke, "dan saya kira dia akan menolak tetapi dia bilang ya."
Dalam tujuh tahun terakhir setidaknya 15 orang Australia telah melakukan apa yang dikenal sebagai "Opsi Swiss".
Mendukung hak-hak orang tua untuk mati di saat yang mereka memilih sendiri, Dr Goodall pun menggunakan hari-hari terakhirnya mempromosikan hal itu.
"Dia bisa saja mengesampingkan media," kata Duncan Goodall.
"Namun dia malah mengambil pilihan yang sangat sulit untuk menarik semua orang... mengubah keadaan menjadi lebih baik." Foreigners using the 'Swiss option'David Goodall is one of at least 21 Australians who have used Swiss laws to end their lives since 2010. More than 1,400 foreigners have used one of Switzerland's biggest right-to-die organisations, Dignitas, in that time. Last year the number was 215. The main countries they came from in 2017 were Germany, France and the UK:
CountryNumberCountryNumberGermany71Israel11France42Italy9UK34Austria4USA16Norway3Canada12Australia3
*Another agency, lifecircle, says it assisted three Australians, including Dr Goodall, to commit suicide in the past seven years.
Perpisahan ke keluarga Photo: David Goodall bersama anak menantunya Hana Goodall. (ABC News)
Sebelum memenuhi janjinya di Swiss, Dr Goodall mampir terakhir kalinya ke daerah perkebunan anggur Bordeaux di Prancis barat daya untuk menemui keluarganya di sana.
Saat itu sedang musim semi dan tanaman menjalar yang berjejer rapi di perbukitan sedang memekarkan daun-daun baru.
Duduk di bawah sinar matahari, Dr Goodall tampak bersemangat memberi makan kambing dan kuda milik menantunya Hana Goodall.
Keluarganya di Perancis mengetahui keputusannya ini hanya beberapa minggu sebelumnya. Meski mendukungnya, tidaklah mudah bagi mereka menerimanya.
"Pertama kali hal itu sangat mengejutkan," kata cucunya, Daniel, yang berusia 30 dan memasakkan makanan enak buat sang kakek.
"Tapi setelah dipikir lagi, saya bahagia untuk David. Masih sedih untuk saya sendiri, tapi bahagia untuknya," katanya.
"Ini menjadi pengalaman yang sangat aneh, memiliki sebuah janji dengan kematian," ujar Daniel mengenai rencana kakeknya itu. Photo: David Goodall bersama seekor kucing saat berada di Bordeaux. (ABC News)
Daniel Goodall dan saudaranya Linda memutuskan pergi ke Swiss bersama kakek mereka di hari-hari terakhirnya.
Daniel selalu gelisah. "Tak mungkin mengetahui bagaimana saya akan bereaksi ketika saatnya tiba," katanya.'Opsi Swiss'
Setibanya di Swiss beberapa hari kemudian, kisah Dr Goodall pun menarik perhatian media internasional. Kru televisi dan fotografer mendatangi hotelnya di pusat kota.
Di balik layar, organisasi Lifecircle menyiapkan dua dokter untuk menilai keadaan pikiran Dr Goodall.
Para dokter ini harus yakin bahwa Dr Goodall mampu membuat sendiri keputusan terakhir ini. Photo: David Goodall bersama cucunya Daniel. (ABC News)
Dr Goodall datang ke Swiss karena negara itu memiliki UU tentang bunuh diri yang dibantu, paling liberal di dunia.
Sudah lebih 50 tahun KUHP Swiss memungkinkan hal itu selama orang yang memberikan bantuan, tidaklah memiliki motif mementingkan diri sendiri.
Dan tidak ada pembatasan tempat tinggal. Artinya orang asing juga bisa mendapatkan bantuan untuk mati di Swiss.
Hal ini memunculkan fenomena "pariwisata bunuh diri", dan tercatat lebih 200 orang asing melakukan perjalanan sekali jalan ke Swiss setiap tahun.
Memang tidaklah semua orang Swiss mendukung hal itu.
Psikolog dan anggota dewan kota, Annemarie Pfeifer, bahkan menganggap hal ini mencoreng reputasi Swiss.
"Kami adalah pelopor Palang Merah, yang ada di seluruh dunia dan sangat membantu orang," katanya.
Dia khawatir UU tentang bunuh diri yang dibantu merusak nilai-nilai kepalangmerahan, yaitu "membantu orang untuk hidup".
Dengan meningkatnya jumlah kasus bunuh diri yang dibantu, Pfeifer khawatir akan mendorong orang tua lainnya yang merasa hidup mereka "tidak lagi berharga". Video: 104-year-old David Goodall sings the song he'd like played in his final moments (ABC News)
Di Kota Basel, cucu David Goodall asal Amerika, Duncan, juga kesulitan mencerna ide bunuh diri yang dibantu.
"Saya masih bereaksi mendalam ketika memikirkannya," katanya.
"Siapa yang ingin mengakhiri hidupnya sendiri? Mengakhiri hidup sendiri menjijikkan bagio saya."
Setelah Duncan mendiskusikannya dengan kakeknya, dia pun bisa melihatnya dari sudut pandang sang kakek.
"Dia kehilangan akses ke hal-hal yang sangat dia cintai. Jadi dia menjalani kehidupannya demi hidup dan tidak melakukan apa yang sangat ingin dia lakukan," katanya.
"Setelah memikirkannya ... saya pun menerimanya," ujar Duncan.
Pada sore hari sebelum kematian Dr Goodall, Exit International menyelenggarakan konferensi pers.
Mengenakan baju hangat berlogo 'Aging Disgracefully', Dr Goodall memanfaatkan kesempatan itu menyampaikan sikapnya.
"Saya sangat menyesal karena Australia ketinggalan dari Swiss," katanya.
Di usianya ini, kata Dr Goodall, dia seharusnya "bebas memilih waktu yang tepat" untuk kematiannya.Hari terakhir pun tiba Photo: David Goodall menandatangani dokumen terakhir menjelang kematiannya. (ABC News)
Pada pagi hari menjelang kematian Dr Goodall, hujan turun di kota itu.
Hujan yang lembut khas musim semi.
Dr Goodall bangun pagi-pagi. Putrinya, Karen Goodall-Smith, meneleponnya dari Perth.
Untuk pertama kalinya, ayahnya yang sangat rasional dan tidak emosional menyampaikan betapa dia mencintainya.
"Menyadari dia akan mati hari itu dan saya tidak akan pernah bicara dengannya lagi. Begitu berartinya saya berbicara dengannya dan mendengarkan hal itu," katanya.
Saat matahari naik sepenggalah, Dr Goodall yang duduk di kursi roda diarahkan ke ruangan tempat pekerja media sedang menunggu.
Dr Goodall dan cucu-cucunya duduk di sekitar meja, diapit oleh kamera, menandatangani berbagai dokumen yang ditulis dalam tiga bahasa.
Dia tampak tegang tetapi masih tajam, mendebat isi sebuah dokumen yang mengacu pada penyakitnya.
"Saya tidak sakit. Saya hanya ingin mati," ujarnya bersikeras.
Cucu-cucunya terlihat kaget. Photo: Reporter ABC Charlotte Hamlyn mengucapkan selamat jalan buat Prof David Goodall. (ABC News)
Begitu dokumen selesai, pekerja media pun keluar. Dr Goodall akhirnya bisa berbaring dan mengatur sendiri dosis mematikan yang akan masuk ke tubuhnya.
Tapi hal itu tak terjadi secepat yang dia harapkan. "Dia berbaring dan menutup matanya," ujar Duncan.
"Sekitar 30 detik kemudian dia membuka matanya dan melihat sekeliling dan bilang, 'Oh, agak lama ya'," katanya.
Akhirnya, David Goodall pun menghembuskan nafas terakhirnya.
Setelah kematian kakeknya itu, Duncan masih mencoba memahami apa yang telah terjadi.
Emosinya berkecamuk dan dia berjuang mendamaikan kehidupan dan kematian.
"Kita tidak tahu bagaimana memikirkan hal ini. Kita berpikir kehidupan manusia bernilai tinggi dan kita harus menjaganya dengan segala cara. Namun ada kalanya hal itu tidak terjadi," katanya.
Duncan sangat terkesan dengan kebulatan tekad kakeknya.
"Dia membuat kematiannya berarti. Dia melihat hal inilah yang bisa dia lakukan dalam membantu mereka yang datang kemudian. Saya kira itu hebat."
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Restoran Korea di Sydney Didenda Karena Telantarkan Pengunjung Mabuk