Saatnya Memikirkan Ulang Pendidikan Pariwisata Kita

Oleh: M Hasannudin Wahid

Kamis, 25 Maret 2021 – 10:11 WIB
Anggota Komisi X DPR RI & Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Hasannudin Wahid. Foto: Dok. PKB

jpnn.com - Pariwisata telah menjadi salah satu kegiatan ekonomi utama di abad ke-21 ini. Di Indonesia sendiri, selama periode 2010-2019, industri pariwisata telah tumbuh rata-rata sekitar 20 persen.

Pertumbuhan bisnis pariwasata memicu tumbuhnya lembaga pendidikan kejuruan pariwsata, baik di tingkat pendidikan menengah (SMK) maupun di tingkat perguruan tinggi: akademi dan sekolah tinggi, dan program studi.

BACA JUGA: Legislator Dorong Pariwisata Garut Terapkan CHSE

Hingga kini, sifat dari pendidikan pariwisata Indonesia masih didominasi pedagogi pariwisata, menekankan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan dan keuntungan finansial bisnis pariwisata. Hal ini membuat pendidikan pariwisata rentan terhadap manipulasi sosial oleh kekuatan industri pariwisata.

Meski demikian, para pengambill kebijakan, pendidik dan pengembang kurikulum pendidikan pariwisata sendiri masih saja merasa nyaman. Mereka masih saja berkutat mendiskusikan perihal dikotomi dan keseimbangan antara pembelajaran yang kejuruan dan yang akademis dalam struktur kurikulum, dan bagaimana mengoperasikannya secara efektif dan efisien.

BACA JUGA: Menparekraf Ingin Dampak Kebangkitan Pariwisata Merata dan Berkeadilan

Belum pernah terdengar ada diskusi mengenai nilai-nilai dalam  pembelajaran untuk mencegah atau pun meredam dampak pariwisata yang tidak berwujud. Belum pula kelihatan upaya nyata untuk menghasilkan lulusan pariwisata yang memiliki moralitas tinggi, kepemimpinan, kemampuan reflektif dan berpikir kritis.

Semua masih fokus pada pengasahan keterampilan dan pengetahuan, memenuhi amanat UU Sisdiknas No.20 Tahun 2002 yang menekan pendidikan berbasis kompetensi.

BACA JUGA: Azis Minta Pemerintah Mendukung Proses Uji Klinik terhadap Vaksin Nusantara

Perspektif Sosiologis dan Filosofis

Memang,  pengetahuan teknis dan keterampilan kejuruan penting untuk berfungsi di dunia neo-liberalis. Namun, itu tampaknya tidak lagi memadai untuk menangani masalah industri pariwisata yang mendesak di abad ke-21 ini.

Pariwisata abad ini telah diwarnai oleh masalah yang sangat kompleks. Mulai dari degradasi ekosistem, perubahan iklim, kunjungan wisata yang berlebihan, praktik bisnis yang tidak etis, pengingkaran martabat manusia dan budaya lokal, ketidaksetaraan gender dan prostitusi, ancaman keselamatan dan keamanan akibat terorisme, hingga serangan pandemi seperti Covid-19.

Berhadapan dengan realitas pariwisata sangat kompleks demikian, pendidikan pariwisata, harus menggunakan perspektif filosofis dan sosiologis. Pendidikan pariwisata harus melampaui dikotomi kejuruan dan akademis, lalu beralih ke wawasan luas dan pemahaman mendalam mengenai ilmu-ilmu humaniora: mempelajari cara mengangkat manusia menjadi lebih manusiawi dan berbudaya.

Pendidikan pariwisata harus tanggap pada sifat pariwisata yang kompleks dan lintas-disiplin. Ia juga harus menyesuaikan diri dengan konsep baru pembangunan industri pariwisata yang bersifat transformasional, yaitu membawa hasil positif bagi peradaban manusia: mengembangkan kebudayaan dan melestarikan lingkungan alam.

Oleh karena itu, pendidikan pariwisata harus meninggalkan pendekatan dan orientasi ontologis industri pariwisata yang neo-kolonial, pasar-sentris, dan money-oriented. Ia juga harus segera beralih ke pendekatan dan orientasi ontologis yang lebih humanistik dan holistis yang dilandasi oleh nilai-nilai dan didorong oleh kewajiban moral dan etika.

Pendidikan pariwisata harus mulai membiasakan para siswa untuk berpikir kritis dan reflektif menggunakan pendekatan filosofis dan sosiologis. Tujuannya supaya ketika lulus dari sekolah, mereka menjadi insan pariwisata yang mampu memeriksa secara kritis dan mencari solusi atas masalah epistemologis di balik krisis moral-etis, krisis sosial-budaya dan krisis ekologis yang mungkin ditimbulkan oleh pariwisata.

Ideologi Sosial vs Ideologi Pariwisata

Tak dapat dipungkiri, belakangan ini muncul aksi protes masyarakat di sejumlah pusat pariwisata atau destinasi-destinasi wisata baru.

Hasil studi Barkathunnisha (2020) menyatakan, sering kali pemerintah, komunitas investor dan para pelaku industri pariwisata menilai aksi-aksi protes masyarakat secara keliru. Mereka cenderung menilai aksi protes warga lokal sebagai ekspresi ketakberdayaan ekonomis.

Padahal, dampak ekonomis hanyalah representasi sederhana dari realitas yang lebih kompleks dari dampak kepariwisataan. Dampak paling esensial dari kepariwisataan adalah keruntuhan sistem pemikiran dan keyakinan masyarakat (ideologi sosial). Dengan kata lain, melalui industri pariwisata, ideologi sosial ditaklukkan oleh ideologi pariwisata.

Sesungguhnya, tulis Antoni Pallicer Mateu (2019), ideologi pariwisata adalah nama lain dari ideologi kelas menengah kontemporer,  pengikut kaum borjuis yang lahir pada tahun-tahun awal Revolusi Industri. Mereka ini adalah penganut kapitalisme moderen.

Mereka mengagungkan hak milik, individualisme, kebebasan, kemajuan iptek, kenikmatan dan kenyamanan. Mereka cenderung tak menghargai martabat dan kebudayaan manusia. Mereka juga gemar mengeksploitasi lingkungan alam.

Oleh karena itu, tulis, Mateu, tak mengherankan kalau di pusat industri pariwsata, prostitusi meningkat, ritual adat dan keagamaan didegradasi menjadi selevel atraksi budaya, dan panorama alam serta satwa langka menjadi sebuah tontonan/hiburan.

Peran Pendidikan Pariwisata

Perang ideologi sosial vs pariwisata akan terus terjadi. Siapa pun tak berkuasa untuk mendamaikan. Meski demikian, pendidikan pariwisata dapat mengambil inisiatif dan berperan untuk mengurangi ketegangan di antara keduanya.

Dunia pendidikan pariwisata dapat merintis perannya dengan mengembangkan kurikulum dengan pendekatan filosofis dan sosial.

Sejatinya, para siswa pariwisata adalah calon insan pariwisata yang memiliki ikatan nyata dengan proses budaya dan reproduksi ekonomi melalui bisnis pariwisata. Oleh karena itu,  kurikulum pendidikan pariwisata semestinya meliputi aspek pengetahuan, keterampilan, sosilogi, ilmu budaya, logika dan epistemologi, filsafati moral/etika dan aspek-aspek yang mewakili minat dan kekuatan dari berbagai pemangku kepentingan pariwisata.

Dengan kurikulum seperti itu, para siswa dididik untuk menjadi insan pariwisata yang peduli pada kepentingan pelaku bisnis pariwisata dan penikmat wisata di satu sisi, dan menghargai martabat manusia, budaya lokal dan lingkungan alam pada sisi yang lain.

Kurikulum pendidikan pariwisata hendaknya juga membantu para siswa untuk mengembangkan kepemimpinan intelektual dan moral, dan kemampuan berpikir kritis dan reflektif. Tanpa itu mereka dapat dengan mudah direduksi menjadi kekuatan reproduktif ideologi pariwisata, dan menjadi pembunuh ideologi sosial.

Di samping kurikulum, pihak yang turut menentukan adalah para pendidik. Para pendidik sekolah/perguruan pariwisata harus mampu memfasilitasi pemikiran kritis dan pengambilan keputusan moral pada siswa. Mereka harus tampil sebagai "pemimpin sosial, pendukung budaya, dan guru moral, dan direktur spiritual bagi para siswanya.

Memang, sudah saatnya kita, terutama para pemangku kepentingan, mendefenisikan kembali jati diri dan peran pendidikan pariwisata. Kiranya, melalui langkah itu, bangsa kita bisa menghasilkan insan pariwisata berkualifikasi holistik.

Kita memang sangat membutuhkan profesional dan wirausahawan pariwisata dengan kualifikasi holistik. Sebab, hanya dengan SDM yang seperti itu, kita dapat mengembangkan industri pariwisata secara berkelanjutan.(***)

Penulis adalah Anggota Komisi X DPR-RI dan Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler