jpnn.com - JAKARTA - Ketua Setara Institute Hendardi menilai, selama dua tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, belum satupun janji-janji pemerintah dijalankan. Bahkan ada banyak kontradiksi dalam kebijakan pemerintah terkait penegakan HAM.
Misalnya pada forum internasional terbaru di Bali Democracy Forum, presiden kata Hendardi, membanggakan kemampuan negara mengelola kemajemukan. Tapi fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya.
BACA JUGA: Rumah Rusak Berat Dibantu Rp 40 Juta, Ringan Rp 20 Juta
"Pemerintah nyaris tidak punya sikap dan roadmap bagaimana pemajuan, penghormatan, dan pemenuhan HAM akan dijalankan dan diintegrasikan dalam proses pembangunan negara. Karena itu momentum peringatan HAM internasional, Sabtu (10/12), bisa bisa dimanfaatkan sebagai sarana mengingatkan pemerintah," tutur Hendardi, Jumat (9/12).
Hendardi mengemukakan pandangannya, karena janji penuntasan pelanggaran HAM masa lalu juga seakan tidak pernah memperoleh perhatian dari pemerintah. Padahal dalam Nawacita secara eksplisit disebutkan.
BACA JUGA: Anak Buah SBY Klaim Persetujuan Anggaran e-KTP Bersih dari Pengaruh Swasta
"Dalam bidang legislasi, pemerintah pun sama sikapnya. Giat melakukan deregulasi ekonomi tapi pada saat bersamaan abai memastikan produk legislasi yang potensial merampas hak asasi manusia," kata Hendardi.
Aktivis kemanusiaan ini kemudian mencontohkan terkait revisi UU ITE, terkesan menjadikan warga rentan dikriminalisasi dan mengancam kebebasan berekspresi.
BACA JUGA: Jokowi juga Soroti Keluhan tentang Kebebasan Beragama
"Di tengah absennya pemerintah dalam pemajuan HAM, komisi-komisi HAM justru mengalami delegitimasi dari publik sebagai instrumen pemajuan HAM. Komnas HAM misalnya, justru terjebak pada agenda rutin yang hanya berujung pada pelaksanaan kegiatan-kegiatan seremonial, tanpa memberikan dampak yang presisi pada pemajuan HAM," tutur Hendardi.
Contoh lain, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dinilai semakin menunjukkan konservatisme dalam perspektif dan pembelaannya pada hak-hak anak Indonesia.
Populisme yang dipupuk melalui liputan media menjadi orientasi kerja KPAI, meski harus melakukan reviktimisasi pada anak yang menjadi korban.
"Hanya Komnas Perempuan yang dengan keterbatasan mandatnya, masih tetap menjadi instrumen cukup efektif bagi advokasi dan pemajuan hak-hak perempuan. Sejumlah terobosan dan intervensi legislasi yang kondusif bagi penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan telah menjadi fokus yang efektif bagi Komnas Perempuan," pungkas Hendardi.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menteri PUPR: Kondisi Infrastruktur Akibat Gempa Aceh Terkendali
Redaktur : Tim Redaksi