jpnn.com - Sudah empat bulan saya sembuh dari Covid-19.
Namun, D-dimer saya masih tetap tinggi: 1.850. Padahal, seharusnya, maksimum hanya boleh 500.
BACA JUGA: Penantian D-dimer
Itu pertanda bahwa di darah saya banyak cendolnya. Cendol darah. Padahal, darah saya sudah encer.
Saya minum pengencer darah. Sehari sekali. Plafix 75 miligram. Sejak tiga tahun lalu –sejak pembuluh darah aorta saya pecah sepanjang 50 cm.
BACA JUGA: Joe Biden Mendadak Bicara soal Asal-usul COVID-19, Sepertinya China Harus Siap-Siap
Berarti pencendolan darah bisa juga terjadi di darah yang encer. Tidak harus saat terjadi pengentalan darah.
Yang dikhawatirkan adalah: banyak sel darah lainnya yang ”nggamblok” ke cendol-cendol itu. Sehingga cendol-cendolnya membesar. Lalu –ketika beredar bersama darah ke seluruh tubuh– nyangkut di salah satu bagian pembuluh darah kecil. Menyumbat di situ.
BACA JUGA: Kenali Gejala Long Covid-19, Mulai dari Kelelahan Hingga Depresi
Kalau penyumbatan itu terjadi di otak, bisa mengakibatkan stroke. Kalau di jantung, mengakibatkan gangguan jantung.
Saya sudah sembuh dari Covid-19. Ternyata belum. ”Itulah yang disebut long Covid,” ujar seorang dokter. ”Biasa juga disebut happy hypoxia,” katanya.
Saya pun sadar: berarti ini sangat berbahaya. Begitu banyak orang meninggal karena happy hypoxia –tidak dicatat meninggal akibat Covid.
Padahal, penyebab tingginya angka D-dimer itu adalah Covid-19.
Saya sudah lama dinyatakan sembuh. Sudah negatif Covid-19. Angka antibodi saya juga sudah tinggi: di atas 200 –waktu meninggalkan rumah sakit dulu.
Hidup saya juga baik-baik saja. Tidak ada keluhan apa pun. Olahraga tiap hari –satu jam nonstop. Naik bus Surabaya–Jakarta pergi pulang. Setir mobil sendiri ke Jakarta tiga kali.
Saya happy-happy saja. Itulah happy hypoxia.
Berbagai upaya menurunkan D-dimer dilakukan dokter. Sejak di RS dulu. Gagal. Saya sendiri juga mengupayakannya. Dengan berbagai cara.
Waktu di RS, pertengahan Januari lalu, dokter memberi saya obat. Berupa tablet. Tidak berhasil.
Lalu ganti suntikan. Di perut. Sehari dua kali. Dengan suntikan Heparin. Kulit perut saya sampai hitam-hitam memar.
Berhasil. Turun. Sedikit. Lalu, tidak bisa turun lagi. Dihentikan. Saya tidak bertanya mengapa suntikan di perut itu dihentikan. Padahal, baru lima hari.
Diganti pil lagi: Xarelto. Tidak berhasil. Lalu, Covid saya pun negatif. Saya boleh meninggalkan RS. Apalagi, selama di RS saya juga tidak merasakan keluhan apa-apa. Seperti tidak terkena Covid sama sekali.
Saya pun meninggalkan RS dengan D-dimer tetap tinggi. Di rumah, saya mencoba bermacam-macam jamu. Dari empon-empon Jawa. Gagal. Lalu, jamu Kalimantan.
Gagal.
Seorang teman dari Bima mengalami D-dimer tinggi. Ia minum obat yang membuat D-dimer-nya turun. Saya pun minum obat itu. Tidak berhasil.
Ternyata teman tadi terlalu cepat memberi info ke saya. Dua hari pertama D-dimer-nya memang turun. Namun, setelah itu ternyata naik lagi.
Namun, obat teman itu terus saya minum. Saya sudah bertanya ke dokter: apa kandungan obat tersebut. Saya juga bertanya ke apoteker. Jawabannya sama: kandungannya persis seperti Plavix.
Ya sudah. Saya minum saja terus. Sampai satu dus itu habis. Daripada minum Plavix. Harga obat itu hanya seperempat harga Plavix. Jauh lebih hemat.
Nanti saja, setelah obat murah tersebut habis, saya kembali ke Plavix. Atau terus.
Saya pun sering tersenyum sendiri: kok D-dimer saya ini keras kepala sekali.
Lalu, saya ingat suntikan di perut itu. Yang membuat D-dimer saya pernah turun dari 2.600 ke 1.500. Turun 1.000 poin itu kan banyak. Kok dulu itu dihentikan. Jangan-jangan, saya pikir, kalau diteruskan, berhasil. Yang 1.500 itu turun lagi jadi 500.
Saya pun beli obat itu. Dengan resep dokter. Suster swasta datang ke rumah. Pagi dan sore. Menyuntikkannya di perut.
Kulit perut saya pun kembali hitam-hitam. Setelah seminggu pun saya minta diteruskan. Lebih dari 15 hitam muncul di kulit perut saya. Jelek. Biarin. Rapopo.
Hari ke-10 saya ke lab. Diam-diam saya berharap banyak dari hasil lab itu: D-dimer turun ke 500. Atau di bawah itu. Tidak.
Memang turun, tetapi masih tinggi: 1.200.
Saya pun telepon ke suster itu: tidak perlu datang lagi. Suntikan dihentikan. Dia bertanya kenapa. Saya jawab tidak apa-apa.
Di balik tidak apa-apa itu saya gemetar. Hasil pemeriksaan lab tersebut membelalakkan mata: fungsi hati saya terganggu berat! SGOT/SGPT saya naik lima kali lipat dari normal. Ini lampu merah.
Saya pun ingat: mengapa dokter di RS dulu menghentikan suntikan Heparin di perut. Waktu itu SGOT/SGPT saya juga naik drastis tiba-tiba.
Tentu saya lebih sayang pada hati saya. Itu benda titipan. Meski sudah 15 tahun menyatu dengan tubuh saya, tetaplah itu hatinya orang lain. Yang harus saya jaga baik-baik.
Lima hari kemudian saya ke lab lagi. Fungsi hati saya sudah normal lagi. Kian banyak dokter yang saya hubungi. Di dalam dan luar negeri. Tidak ada jawaban yang memuaskan.
Sampai hari ini. Tiap sepuluh hari saya ke lab. Tetap saja D-dimer saya sekitar 1.800 itu.
Banyak dokter yang bertanya balik: berapa D-dimer saya sebelum kena Covid. Jangan-jangan sudah tinggi.
Saya tidak bisa menjawab itu. Seumur hidup baru sekali D-dimer diperiksa ya di RS Premier Surabaya itu. Saat kena Covid itu.
Sebelumnya, jangankan periksa, istilah D-dimer pun belum pernah mendengar.
Saya pun menghubungi dokter Ben Chua di Singapura: apakah pernah memeriksa D-dimer saya. Yakni, saat ia menangani aorta dissection saya tiga tahun lalu.
”Hi Pak Dahlan... we did not check D-dimer previously as you did not have dvt or was suspected to have dvt,” jawabnya.
Jelaslah, saya tidak pernah diperiksa tingkat D-dimer karena tidak ada indikasinya.
Satu-satunya yang membuat saya tetap happy adalah dokter ahli jantung dan pembuluh darah RS Premier Surabaya: dr Jeffrey Daniel Adipranoto. Yang lulusan Belanda itu.
"Saya yakin itu akibat stent. Tenang saja. Tidak usah terganggu dengan D-dimer tinggi," ujarnya.
Sejak menangani D-dimer saya, dokter Jeffrey memang terus memikirkan D-dimer saya. Termasuk –dengan pikiran terbuka– minta saya tetap kontak dengan dokter saya di Singapura: dr Benjamin Chua.
Saya selalu ceritakan apa pendapat dokter Ben Chua kepada dokter Jeffrey. Demikian juga sebaliknya.
"Akhirnya saya teliti pasien-pasien saya. Di antara yang pasang stent, ada empat orang yang D-dimer-nya tinggi. Tidak apa-apa," ujar dokter Jeffrey.
Mereka itu umumnya sakit jantung. Yang harus dipasangi ring (stent) di pembuluh darah di jantung mereka.
Saya pun dipasangi stent di aorta saya. Yang jumlahnya jauh melebihi mereka. Mungkin saya pemegang rekor terbanyak di Indonesia. Stent yang dipasang di aorta saya sebanyak 760 ring. Dijejer-jejer. Sepanjang setengah meter lebih.
Yang empat orang itu paling hanya dipasangi ring tidak sampai enam buah.
Pendapat dokter Jeffrey itu juga saya sampaikan ke dokter Ben Chua.
Namun, saya yang belum bisa menerima pendapat itu. Berbagai upaya terus saya lakukan. Jangan-jangan D-dimer saya itu benar-benar happy hypoxia. Akibat Covid.
Namun, begitu semua upaya itu gagal, saya pun pasrah. Saya menghubungi kembali dokter Ben Chua. Minggu lalu.
Saya ceritakan bahwa saya baik-baik saja. Tidak punya keluhan. Tidak merasa ada kelainan. Tidak kekurangan suatu apa. Namun, D-dimer saya tetap tinggi.
"Bagaimana mengatasinya?" tanya saya. "Kalau ke lab tidak usah periksa D-dimer lagi," jawabnya.
Begitu simpel jalan keluar itu. Saya memang sering bercanda dengan dokter yang sangat perhatian itu. Ia berpendapat sudah begitu lama saya mengalaminya tanpa ada gangguan apa-apa.
Saya pun tertawa. Ia juga tertawa. Saya pun punya sahabat baru: cendol darah di darah saya. (*)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi