Saham Freeport Terlalu Mahal, Bos

Sabtu, 16 Januari 2016 – 11:51 WIB
Suasana pertambangan emas di Freeport. Foto : Dok Jawa Pos

jpnn.com - JAKARTA – Meski tertarik membeli saham PT Freeport Indonesia (PT FI), Menteri BUMN Rini Soemarno mengaku akan menawar terlebih dahulu, sebab harga tembaga sedang turun. Tawaran divestasi 10,64 persen saham dari PT FI seharga USD 1,7 miliar atau sekitar Rp 23 triliun dinilai terlalu mahal.

Menurut dia, pemerintah akan melihat dan menganalisis lebih dalam penawaran itu. Termasuk cadangan yang tersisa dan prediksi harga komoditas tersebut ke depan. ''Kalau 10 persen, harusnya nggak segitu,'' ujarnya di kantor Garuda Indonesia kemarin (15/1).

BACA JUGA: Tujuh Korban Tewas Teror Jakarta, Petugas Medis Masih...

Sampai siang kemarin, Rini mengaku belum mendapat pemberitahuan resmi dari Kementerian ESDM soal penawaran divestasi saham PT FI. Yang jelas, perusahaan BUMN sudah siap membeli tawaran divestasi sehingga pemerintah nanti punya kepemilikan 20 persen. Apalagi pemerintah sudah menyatakan tidak ada anggaran untuk membeli.

''Di APBN memang tidak ada anggaran untuk itu. Jadi, kembali ke BUMN yang juga milik negara,'' katanya. Rini menambahkan, kementerian tertarik karena potensi tambang Freeport masih bagus. Malahan, kalau ada kesempatan memiliki saham sampai 30 persen, BUMN tidak akan menolak.

BACA JUGA: Korban Teror Jakarta Disebar di...

Soal perusahaan yang akan mengambil saham itu, Rini belum bisa menjawab tegas. Alasannya, penawaran resmi belum sampai di mejanya. Karena itu, dia belum bisa melihat perusahaan mana yang keuangannya cukup sehat untuk membeli saham.

''Kami harus melihat cash flow sampai kemampuan meminjamnya,'' tutur Rini. Dia memastikan, perusahaan BUMN diharapkan mengambil divestasi kedua PT FI itu seoptimal-optimalnya.

BACA JUGA: ASTAGA! Total Korban Teror Sarinah Sebanyak ini

Ketua Working Group Kebijakan Pertambangan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Budi Santoso juga menilai harga divestasi tersebut terlalu mahal. Menurut dia, penawaran USD 1,7 miliar dari perhitungan aset Freeport per 2014 adalah USD 9,1 miliar dengan net profit USD 500 juta. ''Lantas, dihitung sampai izinnya berakhir 2021,'' terangnya.

Itu berarti masih ada sisa lima tahun dan dikalikan dengan net profit. Jadi, ada USD 2,5 miliar potensi pendapatan sampai kontrak habis. Jika ditambah nilai aset USD 9,1 miliar, muncul angka USD 11,6 miliar. Nah, 10 persen dari nilai itu ditawarkan ke pemerintah.

Angka tersebut sangat tepat kalau memang tidak ada penurunan produksi maupun keuntungan dan risiko lainnya. Padahal, risiko masih ada sehingga harus dipertimbangkan pemerintah. Apalagi cadangan emas dan tembaga belum menjadi milik penambang sebelum kewajibannya dibayar. ''Artinya, nilai emas dan tembaga tidak boleh dimasukkan dalam proyeksi keuangan,'' terangnya.

Dia menyarankan, pemerintah harus mempertimbangkan belum dibayarnya dividen selama empat tahun. Dia khawatir sikap tergesa-gesa pemerintah bisa membuat negara tersandera. ''Karena investasi belum balik, kontrak Freeport lantas diperpanjang begitu saja. Ngapain beli mahal kalau 2021 bisa menjadi milik pemerintah100 persen?'' ungkapnya.

VP Corporate Communication PT Freeport Indonesia Riza Pratama menyatakan, pemerintah belum merespons penawaran itu. Soal pro-kontra harga yang dianggap terlalu mahal, dia tidak mau terlalu banyak berkomentar. ''Perhitungan dari Freeport McMoran AS. Pada dasarnya, kami masih menunggu respons pemerintah,'' terangnya. 

Secara terpisah, Bursa Efek Indonesia (BEI) menilai wajar penawaran USD 1,7 miliar harga divestasi 10 persen saham PT Freeport Indonesia. Pemerintah sebaiknya melakukan evaluasi dengan melibatkan berbagai pihak untuk mendapatkan valuasi harga yang wajar. (dim/gen/c5/pda)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jadi... Beginilah Teroris di Indonesia Mendapat Aliran Dana, Melalui Perusahaan!


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler