Said: MK Belum Menjawab Akar Masalah Paslon Tunggal

Rabu, 30 September 2015 – 15:38 WIB
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin. FOTO: JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA – Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menilai, setidaknya ada sejumlah hal yang perlu dikritisi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pasangan calon (Paslon) tunggal kepala daerah.

“MK kurang komprehensif dalam membedah permasalahan paslon tunggal. MK cenderung terfokus pada permasalahan, tetapi tidak mau melihat apa yang sesungguhnya menjadi akar permasalahan,” ujar Said, Rabu (30/9).

BACA JUGA: Fahri: Putusan MK soal Calon Tunggal Jangan Diperdebatkan

Menurut Said, akar masalah dari munculnya paslon tunggal sesungguhnya karena terlalu berat persyaratan pencalonan yang ditetapkan oleh UU.

Sebelumnya, syarat dukungan paslon yang diusung parpol misalnya, minimal 15 persen baik perolehan kursi DPRD ataupun perolehan suara partai pada Pemilu. Sekarang, UU menaikkan persyaratannya menjadi minimal 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara Pemilu.

BACA JUGA: Soal Calon Tunggal, Ketua MPR Ternyata Belum Baca Putusan MK

Akibatnya, hanya sedikit paslon yang bisa diusung parpol. Benar parpol diperbolehkan untuk berkoalisi, tetapi itu bukan perkara yang mudah.

Dulu, kata Said, saat syarat dukungan paslon masih terjangkau, tidak dijumpai ada kasus paslon tunggal.

BACA JUGA: Jemaah Haji Indonesia Harus Dilatih Hadapi Situasi Darurat

Repotnya lagi, menurut Said, KPU ikut memperburuk keadaan dengan membuat aturan yang juga menghambat pendaftaran paslon. Kegiatan penelitian persyaratan yang dilakukan oleh KPUD pada tahap pendaftaran, membuat banyak paslon gagal mencalonkan diri.

“Padahal, antara tahap pendaftaran dan tahap penelitian adalah dua tahapan yang secara tegas diatur berbeda oleh UU. Nah, pada soal beratnya persyaratan pencalonan itulah seharusnya MK memainkan peran,” ujar Said.

Hal lain, menurut Said, MK dalam putusannya, tidak berpijak pada ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menekankan kata ‘dipilih’ dalam pengisian jabatan kepala daerah. Dalam sistem pengisian jabatan, kata dipilih menunjuk kepada sebuah sistem bernama pemilihan (election). 

“Soal caranya mau dilaksanakan langsung (direct election) atau tidak langsung (indirect election) itu soal lain. Tetapi yang pasti dalam sistem pemilihan dikehendaki adanya lebih dari satu calon. Itulah salah satu ciri dari sistem pemilihan,” ujarnya.

Kalau hanya satu calon, menurut Said, hal tersebut merupakan ciri dari sistem penetapan seperti pada pengisian jabatan Gubernur dan Wagub Daerah Istimewa Yogyakarta yang merujuk Pasal 18B UUD 1945, atau sistem pengangkatan (appoinment) seperti pengisian jabatan kepala daerah pada masa orde lama dan orde baru, atau sistem penggiliran seperti untuk pengisian jabatan Raja Malaysia.

Said juga menilai ‎pendapat MK yang menyatakan terjadi kekosongan hukum dalam kasus paslon tunggal, kurang tepat. Karena sudah ada ketentuan dalam Peraturan KPU, ketika muncul paslon tunggal. 

“Saya juga melihat kurang tepat penilaian MK bahwa PKPU yang mengatur perpanjangan masa pendaftaran dan penundaan Pilkada dalam hal masih terdapat Paslon tunggal, tidak menyelesaikan persoalan,” katanya.

Ia beralasan, model Pilkada ala MK juga berpeluang terjadi penundaan dalam hal rakyat yang menyatakan ‘tidak setuju’ jumlahnya lebih banyak dari Paslon tunggal.(gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR Desak Reformasi Manajemen Haji Indonesia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler