jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) menetapkan sejumlah persyaratan sehingga membatasi beberapa perusahaan tertentu yang bisa ikut dalam tender pengadaan menara base transceiver station (BTS) 4G tidak serta merta membuktikan adanya persekongkolan.
Salah satu persyaratan yang dimaksud adalah kewajiban peserta tender untuk memiliki teknologi (technology owner) 4G-LTE.
BACA JUGA: Saksi Ungkap Fakta Pembayaran Pengadaan BTS 4G
Ahli persaingan usaha dari Universitas Indonesia, Ditha Wiradiputra mengatakan pembatasan teknis maupun persyaratan tertentu dalam suatu tender harus dilihat dari alasan dan tujuan yang ingin dicapai.
“Pembatasan ini harus dilihat cost and benefit . Dalam hal ini, perlu dilihat apakah BAKTI ingin memastikan bahwa peserta yang ikut tender adalah peserta yang memiliki kualifikasi," kata Ditha saat bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (13/10).
BACA JUGA: Menpora Dito Bantah Berupaya Mengamankan Kasus BTS 4G
Dia menyebutkan dengan menyaratkan peserta harus memiliki teknologi, BAKTI pasti berharap adanya cost efficiency karena membeli langsung dari produsen atau pemilik.
"Selain itu, BAKTI juga ingin memastikan adanya keberlangsungan operasi karena karena membeli langsung dari pemilik teknologi apalagi nantinya ada kerusakan atau perlu perbaikan,” lanjutnya.
BACA JUGA: Sidang Praperadilan Terkait Kasus Korupsi BTS 4G Ditunda Seminggu
Ditha menilai langkah BAKTI dengan membagi proyek pengadaan BTS 4G dan infrastruktur pendukungnya ke dalam lima paket pekerjaan juga bukan merupakan persekongkolan tender.
Menurutnya, pembagian paket tersebut hanya sebagai upaya untuk memitigasi risiko proyek dengan lebih baik.
"Ini ibarat kita menaruh telur dalam banyak keranjang. Bisa saja semua telur itu kita masukkan dalam satu keranjang, tetapi apabila keranjangnya jatuh, pecah semua telurnya,” jelas Ditha.
Dia menjelaskan berdasarkan doktrin yang berlaku, pemerintah dikecualikan dalam hukum persaingan usaha.
Sebagai badan layanan umum (BLU) di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika, BAKTI adalah lembaga pemerintah yang dikecualikan dari doktrin persaingan usaha.
“Undang-undang persaingan usaha itu memang dibuat untuk mengatur prilaku pelaku usaha, bukan prilaku pemerintah. Karena itu, untuk setiap kebijakan yang diambil pemerintah, KPPU hanya bisa sebatas memberikan saran atau rekomendasi,” pungkas Ditha.
Diketahui, dalam tender pengadaan infrastruktur BTS 4G 2021 sebanyak 4.200 unit, BAKTI Kominfo membaginya dalam lima paket pekerjaan.
BAKTI Kominfo juga mensyaratkan peserta tender harus memiliki teknologi 4G-LTE. Adapun para pemenang tender secara rinci adalah Konsorsium FiberHome/Telkom Infra/MTD (paket 1 dan 2), Konsorsium LintasArta-Huawei-SEI (paket 3), dan Konsorsium IBS – ZTE (paket 4 dan 5).
Ahli telekomunikasi, Agus Simorangkir mengatakan saat ini memang tidak banyak perusahaan pemilik teknologi 4G yang beroperasi di Indonesia.
Dia mengungkapkan hanya ada Erricsson, Nokia, Huawei dan ZTE yang dikenal luas oleh indutrdi di Tanah Air.
Namun, Agus juga menilai pembatasan persyaratan tender yang dillakukan oleh BAKTI merupakan hal yang wajar.
“Ada alasannya BAKTI ingin berhubungan langsung dengan pabrikan. Pertama, supaya bisa mendapatkan harga terbaik. Kedua, adanya jaminan keberlangsungan. Ada jaminan ketersediaan spare part, serta masa garansi jika berkontrak langsung dengan pabrikan. Selain itu, dalam hal diperlukan update teknologi, baik software maupun hardware, hanya pabrikan bersangkutan yang bisa melakukan," kata Agus.(mcr8/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi