jpnn.com - JAKARTA - Direktur Eksekutif Nahdliyin for World Civilization and Humanity (NWCH) Kresna Mahzum menduga saling sikut yang terjadi antarlembaga penegak hukum yang terjadi belakangan ini karena ketidaksadaran.
Dia menilai belakangan ini penegak hukum terkesan tidak sadar telah melewati ambang fungsi lembaga.
Padahal, setiap aparat penting menjalankan peran dan fungsi utamanya sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
“Saling sikut antarlembaga penegak hukum yang kembali terjadi belakangan ini lebih disebabkan ketidaksadaran para penegak hukum yang telah melewati ambang fungsi lembaga. Batas-batas kewenangan makin tidak jelas karena adanya innapropriate regulations atau peraturan yang tidak semestinya,” ujar Kresna dalam keterangannya, Jumat (31/5)
BACA JUGA: Mathlaâul Anwar Minta Penegak Hukum Bekerja Tanpa Pencitraan dan Drama
Menurut Kresna, peraturan yang tidak semestinya itu dapat menimbulkan konflik horizontal antarpenegak hukum.
“Dari sinilah masalah baru akan muncul, yakni gesekan kepentingan, juga saling cari aman dari jerat hukum,” ucapnya.
BACA JUGA: Bea Cukai & Polri Gagalkan Pengiriman Ganja ke Ternate
Kresna lebih lanjut mengatakan asas diferensiasi fungsional menempatkan setiap penegak hukum harus menjalankan tugasnya sesuai peran dan kedudukan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 8/1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP).
Dia mencontohkan dalam KUHAP dan UU Kejaksaan, tidak ada ketentuan yang secara eksplisit memberikan kewenangan penyelidikan kepada jaksa.
Di dalam pasal 1 ayat 4 KUHAP disebutkan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.
Sementara terkait kewenangan jaksa sebagai penyidik, dalam pasal 1 ayat 1 KUHAP disebutkan bahwa ‘penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan’.
Sebagai aparatur sipil negara (ASN) sesuai pasal tersebut, jaksa diklasifikasikan sebagai pejabat pegawai negeri sipil.
Namun, dalam proses penyidikan jaksa harus tetap berkoordinasi dengan Polri sebagai salah satu bentuk pengawasan.
Krena menilai jika tidak ada mekanisme kontrol dalam proses penyidikan yang dilakukan jaksa, maka berpotensi ada kesewenang-wenangan dalam penanganan kasus, terutama terkait cukup atau tidak unsur pidananya.
Sebab, selain sebagai penyidik, jaksa juga nantinya akan sekaligus menjalankan fungsinya sebagai penuntut umum.
Kemudian, berdasarkan pasal 1 ayat 5 KUHAP disebutkan ‘penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini’.
“Dalam UU tersebut, penyidik merupakan pejabat polisi RI atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang oleh UU. Sedangkan penyelidik adalah pejabat polisi negara RI. Jaksa diberi kewenangan untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan,” katanya.
Di sisi lain, Kresna menilai munculnya ketegangan antara Jampidsus Kejagung RI dengan Polri belakangan ini menunjukkan nuansa politiknya lebih kental dan dominan.
“Sebagai contoh ketika terjadi perseturuan antara KPK vs kepolisian, penyelesaiannya berada di Istana,” kata Kresna.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Komisi VI DPR Minta Kemendag dan Penegak Hukum Lebih Tegas Tangani Peredaran Oli Palsu
Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang