jpnn.com - Salvador Ramos, seorang pemuda berusia 18 tahun dari kota kecil Uvalde di Texas, Amerika Serikat, menenteng senapan semi otomatis dengan peluru penuh di magazine.
Pagi itu, Selasa (24/5), dia memarkir mobilnya di depan SD negeri Robb, menerobos masuk ke sebuah kelas, mengunci pintu dari dalam dan memberondongkan senapan ke arah murid-murid dan 2 guru.
BACA JUGA: Penembakan Massal di Amerika Serikat, 2021 Paling Berdarah
Dalam waktu hanya beberapa menit, 19 murid dan dua guru tewas bersimbah darah.
Sebelum melakukan pembantaian itu Ramos terlebih dahulu menembak neneknya sendiri di rumah tempat dia menumpang tinggal.
BACA JUGA: Penembakan di Texas Menewaskan Setidaknya 18 Murid SD, Pelakunya Seorang Remaja
Sang nenek ditembaki di bagian wajah dan mengalami luka yang sangat fatal.
Beberapa hari sebelumnya, Salvador Ramos minggat dari rumah ibunya di kota yang sama.
BACA JUGA: Pernyataan Kemlu RI setelah Penembakan Massal di SD Texas
Ibu dan anak itu tidak mempunyai hubungan yang hangat, dan sang ibu dikabarkan punya kebiasaan mengonsumsi obat bius dan mengalami kecanduan.
Ramos pemuda pendiam yang lebih banyak menghabiskan waktunya menyendiri di dalam kamar.
Dia jarang bergaul dan punya hanya sedikit teman.
Beberapa waktu sebelumnya ia membeli dua senapan semi otomatis secara legal dari toko penjual senjata di kotanya.
Kota kecil Uvalde hanya berpenduduk 16 ribu jiwa, tetapi mempunyai beberapa toko penjual senjata.
Kota ini dihuni oleh orang-orang Hispanic keturunan Mesksiko dan latino.
Seluruh korban yang tewas adalah keturunan Hispanic.
Ramos mengunggah foto dirinya di akun Facebook dan memamerkan dua senapan yang baru dibelinya.
Dalam unggahan itu, Ramos mengatakan akan melakukan sebuah tindakan kekerasan.
Ramos menerobos ruang kelas 4 yang dihuni murid-murid yang rata-rata berusia 10 tahun.
Dengan tenang, dia mengunci pintu dari dalam dan memberondongkan senapan otomatisnya.
Polisi datang terlambat dan mengepung ruang kelas itu.
Ramos terkepung dan akhirnya tewas ditembak polisi.
Penembakan terhadap anak-anak sekolah oleh remaja broken home dan broken family di Amerika Serikat menjadi kejadian yang rutin.
Hampir setiap tahun selalu ada kejadian mengerikan seperti itu.
Kasus terbaru ini menjadi siklus penembakan massal sekolah yang belum dapat dihentikan di Amerika dan sudah berjalan hampir dua dekade. Ada 26 kasus tercatat tahun lalu.
Senjata api menjadi penyebab utama kematian anak-anak dan remaja Amerika pada 2020, menyalip kecelakaan mobil.
Tragedi SD Columbine 1999 menjadi salah satu yang terburuk.
Dua remaja mempersenjatai diri dengan bermacam senjata dan bom rakitan mengamuk di sebuah sekolah mengakibatkan 12 siswa dan seorang guru tewas, dengan 24 orang terluka dalam penembakan massal itu.
Seorang mahasiswa Korea Selatan di Institut Politeknik Virginia melepaskan tembakan ke kampus Blacksburg, Virginia.
Sebelum bunuh diri, dia menewaskan 32 mahasiswa dan seorang profesor di kampus tersebut, dengan 33 orang lainnya luka-luka.
Pria itu mengidolakan para penembak Columbine dan menyebut mereka sebagai "martir" dalam sebuah video yang menjadi bagian dari manifesto penuh kebencian yang dia kirimkan ke polisi selama penembakan berlangsung.
Seorang pria berusia 20 tahun dengan riwayat masalah kesehatan mental membunuh ibunya di Newtown, Connecticut, pada 14 Desember 2012.
Ini terjadi sebelum dia melakukan penembakan massal di Sekolah Dasar Sandy Hook.
Sebanyak 20 anak, berusia enam dan tujuh tahun, ditembak mati, serta enam orang dewasa.
Pelaku kemudian bunuh diri.
Pada 14 Februari 2018, seorang mantan siswa berusia 19 tahun di SMA Marjory Stoneman Douglas yang dikeluarkan dari sekolah karena alasan disiplin kembali ke sekolah Parkland, Florida.
Dia melepaskan tembakan dan membunuh 14 siswa serta tiga pegawai.
Pada 18 Mei 2018, sepuluh orang, termasuk delapan siswa, tewas di tangan seorang siswa berusia 17 tahun bersenjatakan senapan dan pistol.
Dia menerobos kelas sesaat ketika dimulainya pembelajaran, pelaku melepaskan tembakan ke teman-teman sekelasnya di pedesaan Santa Fe, Texas.
Menyusul tragedi itu, Gubernur Texas Greg Abbott meluncurkan 40 rekomendasi, terutama berfokus pada peningkatan keamanan bersenjata di kampus dan sekolah serta meningkatkan pemeriksaan kesehatan mental untuk mengidentifikasi anak-anak bermasalah.
Namun, kepemilikan senjata dapat menjadi kebanggaan bagi banyak orang Texas, sehingga beberapa siswa SMA Santa Fe menentang menghubungkan kasus penembakan dengan perlunya UU pengendalian senjata.
Lobi senjata America Riffle Association dan lobi Yahudi adalah dua kelompok lobi paling kuat di Amerika Serikat.
Mereka menjadi bandar para politisi yang hendak maju sebagai anggota kongres maupun senat dengan imbalan akan membela kepentingan kelompok itu di parlemen.
Lobi Yahudi mencakup berbagai organisasi berpengaruh seperti American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), Conference of Presidents of Major American Jewish Organizations (CoP), Anti-Defamation League, Christians Zionist Group, Christians United for Israel, Washington Institute for Near East Policy, dan berbagai media seperti Weekly Standard dan New Republic.
Lobi senjata juga sangat kuat di Amerika. Kelompok ini didukung oleh Partai Republik yang konservatif.
Pendukung lobi senjata umumnya orang-orang berkulit putih yang tinggal di daerah-daerah perdesaan.
Mereka orang-orang WASP (white angso saxon protestant) yang merupakan keturunan Eropa dan Inggris.
Salah satu kelompok yang paling fanatik adalah penganut aliran ‘’white supremacist’’ yang percaya bahwa orang kulit putih mempunyai supremasi di atas kelompok kulit berwarna.
Orang-orang kulit putih ini berhimpun dalam organisasi eksklusif dan mempersenjatai diri dengan berbagai jenis senjata api mulai dari pistol sampai senjata otomatis.
Kelompok white supremacist secara berkala melakukan pawai dengan memamerkan senjata dan berpakaian aneka warna ala militer dan milisi. Pada pemilu 2019 white supremacist menjadi pendukung utama yang sangat fanatik terhadap Donald Trump.
Program ‘’America First’’ yang digaungkan Trump mendapat dukungan luas dari kalangan white supremacist, karena Trump berjanji akan mengembalikan kejayaan orang-orang kulit putih.
Kebijakan Trump sangat rasialis antara lain dengan melarang imigran kulit berwarna dari Latin dan Asia. Trump juga berjanji membangun tembok pembatas di perbatasan Amerika dengan Meksiko untuk menahan para imigran gelap yang menerobos melalui perbatasan itu.
Orang-orang kulit putih, yang merasa terancam oleh kedatangan para imigran, mendukung program Trump ini. Trump banyak mengeksploitasi sentimen kulit putih yang anti kulit berwarna untuk memenangkan Pilpres 2014.
Gerakan Black Life’s Matter (BLM) menjadi demonstrasi besar yang menggugat sikap diskriminatif kulit putih terhadap kulit hitam. Trump secara terang-terangan tidak mendukung gerakan BLM dan mengabaikan tuntutan penghapusan diskiriminasi. Pedemo merangsek ke sekitar Gedung Putih, tetapi Trump tidak peduli.
Pada Pilpres 2019, Trump berhadapan dengan Joe Biden. Ketika Trump dinyatakan kalah pendukungnya tidak terima. Dengan bersenjatakan senapan lengkap, kelompok white supremacist pendukung Trump menyerbu dan menduduki Capitol Hill selama beberapa jam.
Kelompok white supremacist inilah penguasa industri pabrik senjata yang rela membayar mahal para pelobi supaya undang-undang kepemilikan senjata tetap dipertahankan. Setiap saat terjadi penembakan masal selalu muncul perdebatan mengenai gun control, pengendalian pemilikan senjata.
Perdebatan ini membelah bangsa Amerika menjadi dua, pendukung Partai Republik akan mendukung kepemilikan senjata dan pendukung Demokrat mendukung pembatasan kepemilikan senjata. Lobi pemilik senjata terbukti sangat kuat. Setiap ada usul pembatasan senjata selalu bisa dipatahkan.
Masalah ini akan terus menjadi persoalan laten dan akut dalam politik Amerika.
Insiden penembakan massal seperti yang terjadi di Texas itu akan terus terjadi lagi dan lagi.
Akan selalu lahir lagi generasi pembunuh seperti Salvador Ramos. (*)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror