jpnn.com - JAKARTA – Industri udang di Indonesia menghadapi tiga masalah besar jelang Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Desember mendatang. Yakni, rendahnya tingkat penerapan teknologi, pembangunan infrastruktur yang tidak merata di berbagai sentra tambak udang serta kurangnya integrasi antara pemroses di hilir dan petambak di hulu.
Hal itu dibeberkan Ipsos, perusahaan riset pasar independen yang berpusat di Hongkong. Padahal, dengan iklim tropis yang hangat dan garis pantai sepanjang 81.000 km, Indonesia memiliki potensi pertumbuhan yang sangat tinggi di sektor budidaya perairan, khususnya industri udang.
BACA JUGA: Sore Ini, Rupiah Sedikit Menggembirakan
Menurut Badan Pusat Statistik, sekitar 80 persen dari entitas budidaya perairan di Indonesia masih menjalankan praktik pertanian tradisional atau ekstensif hingga tahun lalu.
“Agar tetap kompetitif, budidaya perairan di Indonesia harus mengadopsi peralatan dan teknik produksi yang modern. Namun, mayoritas pelaku budidaya perairan terdiri dari industri rumah tangga yang mungkin tidak memiliki modal dan keterampilan-keterampilan yang memadai untuk memodernisasi teknik pertanian mereka,” kata Juanri, konsultan di Ipsos Consulting Indonesia, Kamis (22/10).
BACA JUGA: Pimpin Kadin, Eddy Ganefo Siap Bersinergi Pemerintah
Meskipun kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah diperlukan untuk mempercepat modernisasi di sektor budidaya perairan di Indonesia, sambung Juanri, ketersediaan bantuan keuangan dan teknis untuk para petambak ini masih menjadi pekerjaan yang tidak mudah.
Pembangunan infrastruktur yang tidak merata di daerah juga menjadi masalah besar. Country Manager Ipsos Consulting Domy Halim mengatakan, petambak yang berada jauh dari pusat perdagangan tradisional Jawa Timur harus mengatasi tantangan logistik yang lebih besar untuk mendistribusikan produk.
BACA JUGA: Bu Rini, Pendapatan Pertamina Terus Menurun, Piye Iki?
“Masalah ini paling jelas terlihat di pulau Sulawesi. Infrastruktur jalan yang buruk dan pelabuhan laut yang tidak memiliki perlengkapan memadai semakin menyulitkan petambak udang dan pemroses di daerah tersebut,” ujar Domy.
Keprihatinan terhadap permasalahan kekurangan infrastruktur juga disuarakan Sekretaris Jenderal Shrimp Club Indonesia (SCI), Andi Tamsil. Menurutnya, Jawa Timur sebagai daerah paling produktif penghasil udang masih mengalami kesulitan pasokan listrik.
Bagi petambak udang di sana, pasokan listrik yang bermasalah dari PLN membuat mereka harus mengeluarkan biaya lebih banyak bila menggunakan genset. Permasalahan ini tentu saja berdampak buruk pada produksi udang.
Bila pemerintah ingin meraih target pertumbuhan tinggi produksi udang, maka infrastruktur harus dibenahi dengan serius.
Domy menambahkan, Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam. Bahkan dengan mengesampingkan infrastruktur logistik, Indonesia sudah kalah dalam faktor geografis.
“Tidak seperti Indonesia yang memiliki pusat budidaya udang yang tersebar di berbagai provinsi yang dipisahkan oleh laut, pusat budidaya udang utama Thailand dan Vietnam, di wilayah Tenggara dan Mekong River Delta berada di provinsi yang bersebelahan yang dapat diakses melalui jalur darat. Fakta ini memungkinkan logistik yang lebih efisien dan meyumbang produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia,” ujar Domy.
Masalah besar lainnya adalah kurangnya integrasi antarpelaku dalam rantai nilai yang mengakibatkan inefisiensi produksi di industri udang dalam negeri.
“Penanam benih, pembudidaya dan pemroses bertindak sendiri-sendiri dan menyulitkan koordinasi produksi untuk memenuhi permintaan pasar,” tegas Damy. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi Tak Dongkrak Dunia Usaha
Redaktur : Tim Redaksi