Sambut Para Malaikat, Warga Rame-rame Nyalakan Obor, Nih Fotonya

Selasa, 28 Juni 2016 – 06:37 WIB
Tampak warga menyalakan obor untuk menyambut para malaikat yang turun ke bumi. Tradisi ini sudah berlangsung di Kesultanan Tidore sejak abad ke-14. FOTO: Malut Post/JPNN.com

jpnn.com - Tidore memiliki tradisi unik merayakan malam Lailatul Qadar. Yakni menyalakan semacam obor dan tukar menukar makanan antar warga. Tradisi bernama Guto ini usianya ratusan tahun. Agar tak punah, Guto bakal dibuatkan festival di seluruh Tidore.

Malam 27 Ramadan adalah puncak perayaan Guto. Pada malam yang kerap disebut Lailatul Qadar ini, warga percaya para malaikat Allah turun ke bumi. Maka untuk menyambutnya, tiap sudut kampung perlu diterangi cahaya.

BACA JUGA: Pastikan 10 Wiskul Favourit Ini Jika Anda ke Surabaya

”Guto berasal dari bahasa Tidore uto, yang artinya menanam,” ungkap Jojau (Perdana Menteri, red) Kesultanan Tidore, H Amin Faruk, kepada Malut Post (JPNN Group), Sabtu (25/6).

Secara fisik, Guto adalah nama untuk semacam obor. Ia terbuat dari potongan bambu yang dipasang melintang. Bambu tersebut lalu diisi minyak tanah di dalamnya dan dilubangi di sejumlah sisinya. Lubang-lubang bambu kemudian dipasangi sumbu.

BACA JUGA: Begini Caranya Menyambut Para Malaikat yang Turun ke Bumi

”Pada zaman dulu, orang tua-tua (leluhur, red) menggunakan damar sebagai bahan bakar. Sekarang damar langka, jadi diganti dengan minyak tanah,” sambung Amin.

Selain Tidore, sejumlah daerah seperti Weda, Maba, dan Patani juga diketahui pernah melestarikan Guto. Ketiga daerah tersebut adalah bagian dari wilayah Kesultanan Tidore.

BACA JUGA: Polresta Kerahkan 800 Personel Bersenjata Lengkap

”Tradisi Guto sendiri berasal dari masa Sultan Mansur di abad ke-14. Pada malam Lailatul Qadar, Guto dipasang di depan rumah masing-masing warga muslim,” tutur Amin.

Untuk menyambut para malaikat yang turun ke bumi, warga menyiapkan sejumlah penyambutan. Guto dinyalakan, tak hanya di depan rumah, juga di sepanjang jalan, lorong, hingga ke areal pemakaman.

”Di zaman dahulu, jelang malam Lailatul Qadar, masyarakat membersihkan diri, lingkungan, rumah dan seisinya. Bahkan setiap rumah menggunakan harum-haruman,” terang Amin.

Di malam yang dalam ajaran Islam dipercaya lebih baik dari seribu bulan itu juga, pintu dan jendela rumah warga dibiarkan terbuka. Sarat makna memang. Sebab dengan begitu, warga ‘mengundang’ para malaikat untuk masuk ke rumah.

Selain itu, uto atau menanam juga bermakna menanam amal dengan membersihkan jiwa agar kelak hasil tanaman tersebut bisa dipetik di akhirat.

”Guto masih mudah ditemui pada tahun 1990-an. Tetapi setelah tahun 2000, tak semua warga melestarikan Guto. Bahkan generasi yang ada saat ini pun mungkin tak tahu apa itu Guto,” kata Amin dengan nada sesal.

Selain memasang Guto, masing-masing warga juga menyiapkan potongan pohon tebu, pisang, dan pohon buah-buahan lainnya di depan rumah mereka. Batangan pohon itu dibuatkan gantungan untuk menggantung ketupat dan beragam jenis makanan lainnya.

”Makanan-makanan tersebut tidak dijual, tapi diberikan kepada orang lain yang menyukainya dengan ikhlas,” ujar Amin.

Apabila seorang warga menyukai makanan yang dipajang tetangganya, ia akan menandai makanan tersebut dengan mengikatkan sapu tangan. Dalam bahasa Tidore, sapu tangan ini disebut songa. Maka makanan tersebut dengan sendirinya menjadi hak milik si pemilik songa.

”Jika sudah terikat sapu tangan, berarti makanan itu sudah jadi milik orang lain. Kemudian si pemilik rumah mengantar sendiri makanan tersebut kepada orang yang menandainya,” tutur Amin.

Selain penyambutan terhadap malaikat Allah, tradisi Guto juga mengandung makna berbagi. Terutama di bulan Ramadan yang penuh berkah.

”Memang makin ke sini makin terkikis zaman. Tapi Guto masih dapat dilestarikan di wilayah Kesultanan Tidore,” kata Amin yakin.

Tak hanya secara tradisi, perayaan Lailatul Qadar juga diisi dengan ibadah sesuai ajaran Islam. Pada malam tersebut, umat muslim memang dianjurkan memperbanyak salat dan amalan lainnya.

”Sehingga pada saat Lailatul Qadar, petani berhenti berkebun, nelayan berhenti melaut. Semuanya fokus beribadah,” jelas Amin.

Usai tarawih dan witir, warga biasanya melakukan ibadah tengah malam berupa salat sunat Lailatul Qadar 12 rakaat.

”Bahkan orang memperbanyak amal dengan tidak tidur sampai selesai salat Subuh,” katanya.

Pada malam itu pula, Sultan Tidore akan menunaikan salat Isya dan tarawih di Masjid Kolano (Masjid Sultan, red). Sebelum salat, sang Sultan akan dijemput perangkat adat dan perangkat masjid di istananya.

Di masjid, Sultan menunaikan salat di ruangan khususnya yang ditutupi lembaran kain.

Pihak Kesultanan dan Pemerintah Kota Tidore rupanya menyadari keberadaan Guto yang kian terkikis. Maka tahun ini, Pemkot berencana mematenkan Guto dalam sebuah festival tahunan.

Setiap desa dan kelurahan di Tidore bakal diminta turut meramaikan festival menyambut malaikat ini.(JPG/far/kai/fri)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Belasan WNI Ditangkap Polisi Malaysia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler