Siapa yang tak akrab dengan produk kemasan saset?
Kemasan saset jadi pilihan, karena harganya yang murah dan bisa mengemas banyak produk. Mulai dari kosmetik, kopi instan, sabun, bumbu dan kebutuhan sehari-hari lainnya.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Panggung Kampanye Meksiko Roboh, Sembilan Tewas
Tapi kemasan plastik kecil ini menimbulkan masalah yang cukup besar bagi lingkungan.Sampah saset membanjiri lingkungan
Unilever, Nestle, Danone, dan Procter & Gamble, adalah perusahan global yang banyak menjual produk mereka dalam kemasan saset di kawasan Asia, Afrika, dan Timur Tengah.
BACA JUGA: Pemegang WHV Korban Kecelakaan Merasa Beruntung Biaya Perawatan Ditanggung Asuransi
Dalam beberapa tahun terakhir, sekitar 50 persen dari seluruh kemasan saset dijual di Asia Tenggara, menurut kelompok Diet Plastik Indonesia, yang ingin memerangi penggunaan plastik sekali pakai.
Inisiatif masyarakat bernama 'Break Free From Plastic' (BFFP) mengumpulkan lebih dari 33.500 saset plastik di empat negara: Indonesia, Vietnam, Filipina, dan India, antara Oktober 2023 dan Februari 2024.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Presiden Prancis Turun Langsung Redam Kerusuhan di Kaledonia Baru
Ini menjadi masalah di kawasan Asia, dengan sepertiga dari jumlah sampah tersebut ditemukan di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan Universitas Indonesia dan Diet Plastik Indonesia mengenai dampak sosial dan lingkungan dari limbah saset menunjukkan rata-rata 1 orang Indonesia mengonsumsi 4 kilogram limbah saset per tahun.
Sebagian besar sampah saset tersebut berasal dari produk makanan dan minuman instan.
Jika tidak ada intervensi, menurut laporan tersebut, akan ada 1,1 juta ton sampah saset di Indonesia pada tahun 2030.
BFFP mendefinisikan saset sebagai kemasan plastik yang fleksibel dan tertutup, dirancang untuk sekali pakai, dengan sejumlah lapisan plastik dan bahan lain, seperti logam atau kertas, berukuran tidak lebih besar dari kertas A4.'Jauh lebih praktis'
Menurut laporan Universitas Indonesia, saset tidak setebal dibandingkan kemasan biasa, tapi tahan terhadap suhu dan tekanan.
Sejumlah laporan lainnya juga mengungkap biaya pembuatannya yang lebih murah. Jika dibandingkan kemasan botol, saset disebut mampu memangkas biaya produksi hingga 50 persen.
Tapi ada sejumlah alasan lain mengapa kemasan saset begitu digemari warga di Indonesia.
Aristayanu yang tinggal di Yogyakarta, biasanya membeli sambal, sampo, dan bumbu dalam kemasan saset, karena membantu pengeluarannya.
"Pengaturan cash flow betul terbantu karena kemasan saset, dan akumulasi volume barang saset dalam kasus-kasus tertentu seringkali lebih banyak [dibanding kemasan reguler]," kata pria yang biasa disapa Aye ini.
"Kalau di-compare dengan kemasan reguler, dari segi harga, jatuhnya lebih murah."
Selain itu, Aye juga merasa kemasan saset berguna untuk kebutuhan perjalanan jauh.
Alasan "lebih praktis" membuat Deny Permana juga memilih membeli produk deterjen, pewangi pakaian, dan sampo dalam kemasan saset.
"Takarannya [dalam saset] cenderung lebih pas … jauh lebih praktis soal ukuran peruntukannya, misalnya sudah jelas [satu saset] untuk sekian potong pakaian," ujar Denny."Untuk shampoo ... dengan kemasan saset isi dua itu penggunaannya jadi lebih terukur, dibanding pakai kemasan yang botol," ujar Deny.
"Saya pernah mencoba pakai yang kemasan besar, dari segi harga enggak begitu terasa signifikan [bedanya], karena pemakaian untuk keperluan mencuci pakaian enggak begitu banyak," ujarnya.
Tapi Deny mengatakan harga menjadi faktor penting, yang pada akhirnya menjadi pertimbangan saat membeli barang kebutuhan sehari-hari.
"Saat ada promo yang menarik dari produsen, bisa saja sesekali beli kemasan besar, tapi sampai saat ini masih nyaman yang saset," katanya.
Tahun lalu, Universitas Indonesia melakukan survei terhadap warga di Jabodetabek untuk membantu memahami mengapa mereka lebih memilih kemasan saset.
Hampir separuh responden memilih "harga yang lebih terjangkau" sebagai alasan mereka, sementara tanggapan populer lainnya adalah "ukuran produk sesuai dengan takaran kebutuhan" dan "mudah dibawa".Tapi lebih sulit diproses, ini alasannya
Kemasan saset yang berukuran kecil ini sulit diproses dalam sistem pengelolaan limbah, sehingga menyebabkan plastik saset berakhir di tempat pembuangan sampah, sungai, dan pantai.
Dampaknya bisa mengancam dan merugikan ekosistem, satwa liar, dan pada akhirnya, kesehatan dan mata pencaharian manusia.
Vidya Naiknaware, seorang pemulung di Koperasi SWaCH India mengatakan, "kami selalu menghadapi masalah dengan bungkus dan saset kecil ini".
"Mereka tidak bisa dijadikan kompos atau didaur ulang karena nilainya yang kecil, ukurannya membuat mereka hampir mustahil untuk dikumpulkan," katanya.
Kepala Penelitian Pembangunan Berkelanjutan Universitas Indonesia, Bisuk Sisungkunon, mengatakan "saset yang selama ini dianggap ramah di kantong ternyata tidak ramah lingkungan dan kesehatan."
Bisuk mengatakan studi yang dilakukan timnya memperkirakan kerugian lingkungan dan sosial akibat penanganan saset yang tidak tepat di Indonesia mencapai sekitar 1,7 triliun rupiah per tahun.
Ia mengatakan hanya sekitar 36 persen sampah saset yang diolah dan didaur ulang dengan benar.Ribuan saset terjual setiap detik
Kemasan saset pertama kali diproduksi secara massal oleh Hindustan Unilever, cabang Unilever Inggris di India, pada tahun 1980-an untuk menjual 'shampoo' dalam porsi kecil seharga 1 rupee per saset, atau sekitar Rp193.
Hampir lima dekade kemudian, Unilever kini menjual 1.700 saset plastik setiap detiknya, menurut laporan yang dirilis oleh organisasi lingkungan Greenpeace tahun lalu.
Laporan yang sama menyatakan "Unilever sedang menuju penjualan 53 miliar saset pada tahun 2023".
ABC menghubungi Unilever untuk memeriksa angka-angka tersebut, tetapi mereka memilih untuk tidak menjawab pertanyaan kami.
Namun mereka mengakui ada masalah dan juru bicaranya mengatakan kepada ABC kalau "masih banyak hal yang harus dikerjakan".
"Kami sudah mencapai kemajuan yang nyata dalam mengurangi sampah plastik. Misalnya, kami meningkatkan penggunaan plastik daur ulang dalam portofolio global kami menjadi 22 persen," ujarnya dalam sebuah pernyataan.
"Mengurangi penggunaan plastik murni dan mengembangkan alternatif pengganti kemasan plastik fleksibel yang sulit didaur ulang, seperti saset plastik, tetap menjadi prioritas."
"Kami sedang mengupayakan berbagai solusi untuk mengurangi penggunaan saset plastik, dan menggantinya dengan bahan, format, dan model alternatif. Kami berkomitmen penuh untuk bekerja sama dengan mitra industri dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengembangkan alternatif yang layak dan terukur untuk mengurangi limbah plastik."
A Plastic Planet, sebuah organisasi lingkungan hidup di Inggris memperkirakan sekitar 855 miliar saset plastik terjual setiap tahunnya.
BFFP mengatakan 86 persen sampah saset yang dikumpulkan adalah kemasan makanan untuk barang-barang dari sekitar 2.700 merek berbeda.
Menurut laporan audit merek BFFP Asia Pasifik, dari sampah yang dikumpulkan ini, 10 penghasil polusi terbesar dari kemasan saset adalah: Unilever, Wings, Mayora Indah, Balaji Wafers Private Limited, Procter & Gamble, Nestle, Yes 2 Healthy Life, JG Summit Holdings, dan Salim Group.
Mayora, Wings, dan Salim adalah perusahaan Indonesia, Wadia dan Balaji dari India, Summit dari Filipina, Yes 2 Healthy adalah perusahaan Singapura, dan tiga sisanya berasal dari luar Asia Tenggara.
Semua perusahaan tadi berkecimpung dalam bisnis penjualan barang-barang seperti makanan olahan, minuman, dan produk perawatan pribadi.Apa yang sudah dilakukan?
Di Indonesia, peraturan Kementerian Lingkungan Hidup mendorong produsen untuk mengurangi limbah dari kemasan sebesar 30 persen dari total produksi pada tahun 2029, serta menghentikan penggunaan kemasan saset pada tahun 2030.
"Namun, baru 42 produsen yang telah menyerahkan road map pengurangan sampah dan 16 tahapan proyek percontohan," kata Tim Proyek Indonesia BFFP.
BFFP mengatakan "beberapa perusahaan memilih solusi yang salah, seperti membakar saset sebagai bahan bakar untuk berbagai industri, sehingga semakin memperburuk masalah ini.
"Di Vietnam, pemerintahnya mewajibkan perusahaan mengumpulkan dan mendaur ulang saset dan kemasan plastik lainnya.
"Tetapi terbatasnya kapasitas daur ulang menjadikannya sangat sulit untuk menangani semua limbah saset dengan aman," kata Xuan Quach dari Vietnam Zero Waste Alliance.
"Kita memerlukan pendekatan multi-cabang untuk menghapuskan kemasan saset secara bertahap dan juga investasi yang signifikan dalam sistem penggunaan kembali."
Situs quitscahets.org secara khusus mengusulkan agar Unilever:Membangun toko zero-waste yang tidak menggunakan kemasan plastikMembuat stasiun isi ulang mobile agar konsumen lebih mudah dan murah dalam melakukan isi ulang.Menggunakan wadah PET (Polyethylene Terephthalate) format kecil yang dapat digunakan kembali dan dapat diisi ulang.Menyediakan mesin penjual otomatis produk tanpa kemasan yang dapat dimasukkan ke dalam wadah yang dapat digunakan kembali.
Dari pantauan ABC, Unilever sudah berupaya menambah jumlah stasiun isi ulang, di mana masyarakat dapat mengisi wadah yang dapat digunakan kembali dengan produk dari beberapa merek, menjadi sekitar 800.
Mereka juga menawarkan insentif bagi masyarakat untuk mengembalikan paket bekas dan mencoba menggunakan wadah isi ulang.
Sebagai warga Indonesia yang memilih membeli produk dalam kemasan saset, Aye dan Deny mengatakan konsumen juga perlu berperan dalam kelestarian lingkungan.
"Dengan kemajuan teknologi, saya berharap barang-barang kebutuhan rumah tangga bisa dijual dengan cara isi ulang sehingga kita tidak perlu membeli saset atau kemasan biasa yang sama-sama menghasilkan sampah," kata Deny.
Baca beritanya dalam bahasa Inggris
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Penumpang Singapore Airlines Pulang ke Rumah Setelah Turbulensi Maut