Sampai Kiamat tak Akan Minta Maaf

Kamis, 21 November 2013 – 20:04 WIB
Hikmahanto Juwana. Foto: perspektifbaru.com

jpnn.com - PEMERINTAH Australia belum juga menyampaikan permintaan maaf atas ulah badan intelijennya yang menyadap ponsel Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Ani Yudhoyono, dan sejumlah petinggi pemerintah Indonesia.

Presiden SBY pun geram, diikuti sikap yang sama para pejabat lain, termasuk kalangan DPR. Langkah lebih keras mulai diwacanakan, yakni putus hubungan dengan negeri Kanguru itu.

BACA JUGA: Menyadap untuk Kepentingan Amerika

Perlukah hingga memutuskan hubungan diplomatik? Berikut wawancara wartawan JPNN Soetomo Samsu, dengan Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia (UI), Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M., Ph.D di Jakarta, Kamis (21/11).

Bagaimana tanggapan Anda terhadap wacana RI memutuskan hubungan diplomatik dengan Australia?

BACA JUGA: Ini Bukan Persoalan Ketidakpercayaan Terhadap MK

Tidak ada pentingnya memutuskan hubungan diplomatik dengan Australia. Karena persoalan penyadapan ini sebenarnya bukan masalah hubungan bilateral RI-Australia tapi masalah penyadapan yang dilakukan oleh Amerika.  Kalau memutuskan hubungan dengan Australia, lantas dengan Amerika gimana?

Menurut Anda Presiden SBY salah merespon?

BACA JUGA: Kasus Taman BMW, Foke Juga Terlibat

Harus saya katakan, Presiden SBY telah mereduksi persoalan ini menjadi persoalan bilateral antara pemerintah RI dengan Australia. Ini tidak tepat. Karena ini masalah penyadapan oleh AS yang dilakukan para sekutunya. Karena persoalan direduksi menjadi persoalan bilateral, dampaknya lihat, hacker-hacker Indonesia menghacking situs-situs milik pemerintah Australia. Saya kira Amerika yang tertawa karena dia yang berulah, Australia yang disalahkan.

Lantas apa yang harus dilakukan pemerintah RI?

Harus fokus, ini apa masalahnya. Harus juga disadari, Edward Snowden sudah berhasil mengadu-domba Indonesia dengan Australia. Jadi tak perlu memutus hubungan diplomatik dengan Australia. Amerika saja dengan musuh bebuyutannya, Kuba, masih menjalin hubungan diplomatik. Begitu juga, Amerika dengan Korea Utara juga masih menjalin hubungan diplomatik.

Jadi mestinya langkah apa yang tepat menurut Anda?

Ini sebenarnya Australia sudah mempersilakan Indonesia untuk marah. Marahlah, tapi jangan tuntut kami (Australia, red) meminta maaf dan memberikan klarifikasi. Karena sampai kiamat pun, Australia tidak akan meminta maaf. Kita pun, jika menyadap pejabat negara lain dan ketahuan, kita juga tidak akan meminta maaf. Itu sudah biasa terjadi dalam hubungan antarnegara.

Menurut Anda Australia sudah menyadari kesalahannya?

Iya, buktinya, begitu Dubes kita di Australia ditarik pulang, Australia tidak membalasnya dengan menarik Dubesnya di Jakarta. Tapi pemerintah kita masih saja mendesak Australia minta maaf dan memberikan klarifikasi. Itu tidak mungkin dilakukan Australia. Karena kalau sampai minta maaf, maka Malaysia, China, juga akan menuntut permintaan maaf.

Jadi tidak perlu ada langkah lebih keras lagi dari pemerintah RI?

Nah, kalau mau lebih keras lagi, saya usulkan usir saja diplomat Australia yang ada di Indonesia, tapi jangan dubesnya. Cara ini biasa dilakukan ketika terjadi hubungan dingin antardua negara. Kalau diplomatnya diusir tapi Australia merasa tidak bersalah, pasti nanti akan membalasnya dengan mengusir diplomat kita yang ada di sana.

Apa bedanya aksi pengusiran dengan pemutusan hubungan diplomatik?

Jelas beda. Jika memutuskan hubungan diplomatik, tapi lantas hubungan kita dengan Australia membaik lagi, bagaimana? Malu dong pemerintah. Saya usulkan cukup usir diplomat Australia dan Amerika. Ini bentuk kemarahan kita. Ya marah, silakan marah tapi nanti harus kembali menjalin hubungan yang normal.

Bicara pahitnya. Jika sampai pemerintah mengambil sikap total memutuskan hubungan dengan Australia, apa untung-ruginya bagi kita?

Resikonya banyak. Tapi dari sisi kita, kita bisa katakan, kita tak tergantung pada Australia. Tapi apa iya sih sampai harus memutuskan hubungan diplomatik? Amerika saja dengan Kuba dan Korea Utara menjalin hubungan diplomatik. Reaksi yang telah kita tunjukkan, menunjukkan ketidakdewasaan kita dalam bermain. Tidak bermain cantik. Hanya bermain keras saja.***

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Perlu Meratapi Kenyataan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler