Sampaikan Catatan Kritis, Koalisi Masyarakat Sipil Minta DPR Batalkan Revisi UU TNI

Senin, 20 Mei 2024 – 17:08 WIB
Gedung DPR RI. Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN com

jpnn.com, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta DPR RI dan pemerintah membatalkan rencana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang kabarnya bakal dibahas kembali di parlemen pada Selasa (21/5).

Juru bicara koalisi sekaligus Ketua YLBHI Muhammad Isnur menilai revisi UU TNI harus dibatalkan karena mengkhianati reformasi.

BACA JUGA: Koalisi Masyarakat Sipil Khawatir Revisi UU TNI Kembalikan Dwifungsi ABRI

Menurut Isnur, dalam draf terakhir, April 2023 yang diterima koalisi, terdapat sejumlah usulan perubahan pasal yang akan membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum, dan pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.

"Kami memandang DPR RI membatalkan dan meninjau ulang agenda revisi UU TNI, mengingat hal ini bukan merupakan agenda yang urgen untuk dilakukan saat ini," ujar Isnur dalam siaran persnya, Senin (20/5).

BACA JUGA: Gatot Nurmantyo Anggap Salim Said Guru Bagi Setiap Kolonel TNI

Ditambah lagi, katanya, substansi perubahan yang diusulkan oleh pemerintah bukannya memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak tahun 1998, tetapi justru sebaliknya.

"Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI," tuturnya.

BACA JUGA: Penembak Perwira TNI AD Ini Terancam Penjara Seumur Hidup

Berdasarkan draf yang ada, koalisi masyarakat sipil menilai terdapat beberapa usulan perubahan UU TNI yang membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan HAM.

Pertama, perluasan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara. Revisi UU TNI yang memasukan fungsi TNI bukan hanya sebagai alat pertahanan negara tetapi juga keamanan negara adalah hal yang keliru.

Dia menjelaskan bahwa di negara demokrasi, fungsi Militer adalah sebagai alat pertahanan negara yang dipersiapkan, dididik, dan dilatih untuk perang. Oleh karena itu meletakkan fungsi militer sebagai alat keamanan negara adalah keliru dan membahayakan demokrasi karena militer dapat digunakan untuk menghadapi masyarakat jika dinilai mereka sebagai ancaman keamanan negara.

"Penambahan fungsi militer sebagai alat keamanan negara sama saja memberikan cek kosong untuk militer dapat masuk dalam menjaga keamanan dalam negeri. Hal ini akan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM dan mengembalikan format dan fungsi militer seperti di masa rezim otoriter orde baru," ujar Isnur.

Kedua, pencabutan kewenangan Presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. Ketentuan itu seharusnya tetap dipertahankan dan tidak boleh dicabut di dalam UU TNI sebagai regulasi organik yang mengatur tentang TNI.

Pasal 10 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Hasil Amandemen menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Dalam kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata, Pasal 14 UU No. 3 Tahun 2022 tentang Pertahanan Negara menegaskan Presiden berwenang dan bertanggung jawab atas pengerahan kekuatan TNI.

Dengan dihapusnya kewenangan pengerahan dan penggunaan TNI oleh Presiden di dalam UU TNI, hal ini menjadi berbahaya karena akan menempatkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Hal itu menurut koalisi, tentu akan meletakkan fungsi TNI kembali seperti di masa lalu di mana TNI dapat bergerak dalam menghadapi masalah keamanan dalam negeri dengan dalih operasi militer selain perang tanpa melalui keputusan presiden,"

"Hal ini tentu melanggar prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi dalam menata hubungan sipil-militer yg demokratis," ujarnya.

Ketiga, perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Usulan perubahan Pasal 7 Ayat 2 dan Ayat 3 yang memperluas dan menambah cakupan OMSP menunjukan paradigma dan keinginan politik untuk memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara.

Hal itu menurutnya dapat dilihat dari penambahan 19 jenis OMSP dari yang sebelumnya berjumlah 14 jenis yang dapat dilakukan oleh TNI. Bahkan, beberapa penambahan tersebut di antaranya tidak berkaitan dengan kompetensi militer, seperti penanggulangan narkotika, prekursor dan zat adiktif lainnya, serta dalam upaya mendukung pembangunan nasional.

"Adanya perluasan dan penambahan cakupan OMSP akan mendorong keterlibatan TNI yang makin luas pada ranah sipil dan keamanan negeri, termasuk untuk mengamankan proyek-proyek pembangunan pemerintah," terangnya.

Lebih dari itu, kata Isnur, upaya perluasan keterlibatan peran TNI di luar sektor pertahanan negara dengan dalih OMSP juga dipermudah, mengingat adanya usulan perubahan bahwa dalam pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah (PP), tidak lagi berdasarkan keputusan politik negara, termasuk dalam hal ini otoritas DPR.

"Jika usulan perubahan ini diadopsi, hal ini menjadi berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan pasukan TNI dalam konteks OMSP tidak bisa dikontrol dan diawasi oleh DPR," kata dia.

Keempat, perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif sebagaimana tercantum dalam draf RUU Pasal 47 point 2, dapat membuka ruang kembalinya dwifungsi ABRI seperti yang pernah dipraktikan di era rezim otoritarian Orde Baru

" Penting diingat, pada masa Orde baru, dengan dasar doktrin Dwifungsi ABRI, militer terlibat dalam politik praktis di mana salah satunya dengan menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian, lembaga negara, DPR, kepala daerah dan lainnya," ucap Isnur.

Kelima, memperkuat impunitas anggota militer yang melakukan tindak pidana umum. Adanya usulan perubahan Pasal 65 Ayat 2 UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998.

Isnur mengingatkan bahwa reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 Ayat (4) TAP MPR No. VII tahun 2000 dan Pasal 65 Ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

"Kedua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum," kata Isnur.

Catatan keenam, perubahan mekanisme anggaran pertahanan dan dilangkahinya kewenangan Menteri Pertahanan (Menhan). Rencana revisi UU TNI juga meliputi perubahan anggaran TNI berasal dari APBN tidak terbatas anggaran pertahanan.

Hal itu menurut Isnur, dapat dilihat pada usulan perubahan ketentuan Pasal 66 Ayat 1 UU TNI dari yang sebelumnya menyatakan TNI dibiayai dari "anggaran pertahanan negara" yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menjadi “TNI dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”.

"Perubahan ini menunjukkan akan ada pos anggaran baru bagi TNI di luar anggaran pertahanan. Ini akan membuka ruang anggaran non-budgeter yang dulu pernah ada dan dihapuskan karena rawan terjadinya penyimpangan," ucapnya.

Lebih jauh, perubahan mekanisme juga terlihat dari dilangkahinya kewenangan menhan dalam penyusunan anggaran. Hal itu terlihat dari perubahan klausul Pasal 67 yang sebelumnya menyatakan bahwa dalam hal pemenuhan anggaran TNI, Panglima TNI mengajukan kepada Menteri Pertahanan kemudian diubah menjadi mengajukan kepada Menteri Keuangan untuk dibiayai APBN.

"Dengan adanya perubahan tersebut, Menhan tidak hanya sekadar dilangkahi kewenangannya, tetapi juga menempatkan proses penyusunan anggaran TNI di luar kontrol pemerintah, dalam hal ini kementerian pertahanan, karena TNI dapat mengajukan sendiri dan langsung kepada Menteri Keuangan untuk dibiayai dalam APBN," ujar Isnur.

Berdasarkan pandangan di atas, koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk tidak melanjutkan agenda revisi UU TNI, selain tidak urgen untuk dilakukan saat ini, sejumlah substansi usulan perubahan juga membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan HAM.

"Lebih baik pemerintah saat ini memfokuskan pada penyelesaian pekerjaan rumah reformasi TNI yang tertunda, seperti reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI," kata Isnur.(fat/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler