Sanepa Anies

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 17 Oktober 2022 – 18:22 WIB
Spanduk bertuliskan "Anies Baswedan Presiden 2024" terpasang di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Minggu (16/10). Foto: Dean Pahrevi/JPNN.com

jpnn.com - Dalam khazanah budaya Jawa banyak sekali dijumpai sanepa--disebut juga tembung andupara--yaitu ungkapan kata dan kalimat yang punya maksud tertentu. 

Sanepa disebut juga sebagai pasemon yang artinya sindiran. 

BACA JUGA: Antitesis Jokowi, Anies Tak Pernah Masuk Gorong-Gorong demi Pencitraan

Yang tahu persis makna sanepa dan pasemon adalah penciptanya sendiri.

Sanepa banyak dipakai pada susastra Jawa atau dunia kesusasteraan Jawa.

BACA JUGA: Ditiadakan Anies, Pos Pengaduan Warga Era Ahok Akan Diaktifkan Lagi Oleh Heru Budi

Akan tetapi, sanepa juga banyak digunakan di banyak kesempatan lain, termasuk politik.

Dalam dunia politik, sanepa disebut sebagai simbolisasi politik, pemakaian simbol untuk menyampaikan maksud tertentu.

BACA JUGA: Heru Tancap Gas, Aktifkan Kembali Kebijakan Jokowi yang Diubah di Era Anies

Anies Baswedan mengakhiri tugasnya sebagai gubernur DKI, Ahad (16/10).

Rangkaian acara purna tugas Anies banyak menampilkan sanepa politik.

Namanya sanepa, biasanya tersamar dan bisa menimbulkan multi-tafsir.

Akan tetapi, kali ini sanepa politik Anies cukup jelas ditujukan kepada siapa dan apa maknanya.

Secara budaya Anies tidak mempunyai latar belakangan tradisi Jawa langsung.

Garis keturunan keluarganya berasal dari Timur Tengah atau wilayah Hadramaut, sebuah wilayah yang berada di Yaman modern sekarang. 

Akan tetapi, dari perilaku sehari-hari Anies terlihat sangat Jawa. Tatakrama berbicara maupun tindak lampah Anies sangat Jawa. 

Paparan budaya Jawa ia terima semasa ‘’formative years’’ masa-masa pertumbuhan di Yogyakarta sejak sekolah sampai lulus kuliah.

Paparan budaya Jawa ini diserap dengan sempurna oleh Anies, sehingga perilakunya terlihat lebih Jawa daripada kebanyakan orang Jawa.

Sanepa politik Anies pada rangkaian acara purna tugas ditujukan kepada seseorang yang berlatar belakang Jawa.

Orang tersebut ialah Joko Widodo, Presiden RI.

Salah satu sanepa yang ditujukan kepada Jokowi adalah ketika Anies berpidato dan menghadap ke arah utara.

Pidato perpisahan Anies diadakan di Balai Kota yang posisinya berada di Jalan Medan Merdeka Selatan, di sebelah selatan Istana Negara.

Anies secara sengaja menghadap ke utara untuk memberi sanepa bahwa ia akan menuju ke utara ke Istana Negara.

Dalam pidatonya Anies meminta maaf kepada audiens yang berada di sisi selatan karena harus memunggungi mereka.

Anies tidak menjelaskan mengapa ia menghadap ke utara. 

Akan tetapi, tafsir politik yang muncul adalah bahwa Anies mengincar Istana Negara sebagai the next destination, tujuan berikutnya.

Beberapa kali Anies memakai ungkapan ‘’datang tampak muka, pergi tampak punggung’’.

Pada pidato perpisahan di Balai Kota ungkapan itu disampaikan lagi.

Ungkapan ini pun mengandung sanepa dan pasemon kepada seseorang.

Ungkapan itu berarti seseorang ‘’kulanuwun’’ izin kepada tuan rumah, ketika datang, dan ketika meninggalkan rumah dia pamit kepada tuan rumah.

Ungkapan itu oleh Anies diarahkan pada masa baktinya sebagai gubernur yang tuntas selama 5 tahun.

Dia datang dan pamit pergi sesuai dengan janji yang diucapkannya.

Sangat mungkin sanepa ini ditujukan kepada Jokowi yang tidak memenuhi masa baktinya sebagai gubernur.

Jokowi meninggalkan kursi DKI 1 untuk maju sebagai calon presiden pada kontestasi Pemilihan Presiden 2014.

Ketika itu Jokowi baru menjabat sebagai gubernur DKI selama 2 tahun dari kontrak politik selama 5 tahun.

Gaya politik khas Jokowi dengan blusukan dan masuk ke gorong-gorong--yang menjadi simbol kesederhanaan dan kemerayatan—menjadikannya sebagai ‘’media darling’’ yang setiap saat menjadi top news atau headline.

Dengan gaya politik yang merakyat itu Jokowi menjadi antitesis dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang mempunyai gaya politik formal dan serius khas ksatria Jawa.

SBY ialah personifikasi kesatria gung binantara, sementara Jokowi ialah personifikasi punakawan sebagai representasi rakyat jelata.

Publik sudah mulai bosan dengan penampilan politik SBY yang serba-formal dan serius.

Semua diksi dan narasi dalam pidato SBY dipilih dengan cermat.

Ekspresi wajah dan gesture tubuh diatur dengan saksama.

Kapan tangan harus bergerak dan kapan kepala harus menoleh, semua diatur dan disesuaikan dengan teliti.

Penampilan priyai ala SBY ini menjadi ciri khas yang menghipnotis psyche publik Indonesia, dan membawa SBY menjadi presiden 2 periode.

Nyaris tidak ada humor yang muncul dalam pidato SBY selama 10 tahun.

Hal ini berbalik 180 derajat dari gaya Presiden Gus Dur yang slengekan dan banyak guyon.

Gus Dur mewakili genre santri yang penuh humor, SBY menjadi antitesis dengan mencitrakan diri sebagai pemikir yang serius dalam berbagai hal.

Pidato-pidato Gus Dur akan sangat mudah dikumpulkan menjadi banyak buku humor berjudul ‘’Mati Ketawa ala Gus Dur’’.

Sementara terhadap SBY, orang tidak akan bisa menemukan humor sampai mati. Gus Dur adalah sebuah era, dan SBY juga sebuah era.

Jokowi juga menjadi era tersendiri. 

Dia mencitrakan dirinya sebagai punakawan yang sederhana dan menjadi bagian dari rakyat.

Karena itu, Fadli Zon menyebutnya sebagai Prabu Kantong Bolong dalam episode Petruk Dadi Ratu.

Penyebutan itu berbau prejoratif yang merendahkan dari Fadli.

Padahal cerita Petruk Dadi Ratu menyisipkan kisah pemberontakan orang biasa terhadap kekuasaan oligarki elitis para Dewa.

Petruk membongkar oligarki itu. Tetapi, kualitas intelektual Petruk yang terbatas akhirnya membuat kepemimpinannya kacau balau.

Fadli Zon dan Fahri Hamzah menyebut Jokowi sebagai ‘’plonga-plongo’’. Baik Fadli maupun Fachri tidak punya latar belakang budaya Jawa.

Bagi orang Jawa Fadli dan Fahri disebut sebagai ‘’gak jowo’’ tidak Jawa, yang berarti belum matang dalam bersikap. 

Akan tetapi, diksi plonga-plongo yang dipakai ‘’ganda putra’’ Fadli-Fahri itu menjadi diksi yang sangat populer dan menjadi kosa kata baru dalam kamus politik Indonesia.

Gaya politik Jokowi yang sederhana dan merakyat itu di mata banyak orang menjadi plus, tetapi di mata Fadli dan Fahri menjadi minus.

Era Jokowi segera berakhir, dan akan muncul era baru.

Anies Baswedan menjadi antitesis Jokowi dalam banyak hal.

Intelektualitas hanya salah satu di antaranya saja.

Zulfan Lindan mengungkap hal itu ke publik, dan ditanggapi dengan sangat keras dan cenderung panik oleh Hasto Kristiyanto.

Sebenarnya tidak ada yang baru dalam pernyataan Zulfan.

Anies Baswedan menjadi antitesis Jokowi, sebagaimana Jokowi menjadi antitesis SBY.

Fenomena ini menjadi hal yang biasa dalam politik.

Siklus 10 tahun SBY berakhir digantikan oleh Jokowi.

Siklus 10 tahun Jokowi berakhir dan akan muncul siklus baru.

Anies Baswedan menempatkan positioning politiknya sebagai antitesis Jokowi.

Dan hal itu menjadi diferensiasi produk yang khas bagi Anies.

Dalam strategi marketing, diferensiasi sangatlah penting untuk memberi pilihan kepada konsumen.

Produk-produk yang mirip dan mengekor pada produk yang sudah menguasai pasar, dikenal sebagai produk ‘’me too’’ yang tidak memberi alternatif bagi pasar.

Diferensiasi produk sudah ditunjukkan oleh Anies.

Calon presiden yang lain juga sudah memilih positioning politik masing-masing.

Ada yang menjadi foto kopi Jokowi, ada yang ingin ‘’ngalap berkah’’ dari Jokowi effect.

Biarkan produk-produk itu bersaing di pasar berebut perhatian konsumen.

Biarkan mekanisme pasar menentukan pilihannya sendiri. Itulah esensi demokrasi. (*)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler