Saresehan Kehumasan MPR, Mahasiswa Untirta Antusias Mengikuti Diskusi Paham Kebangsaan 

Senin, 06 Desember 2021 – 22:18 WIB
Kepala Bagian Pemberitaan dan Hubungan Antar Lembaga Setjen MPR, Budi Muliawan SH., MH., dalam diskusi 'Bangkitkan Semangat Nasionalisme Bagi Generasi Muda', Sarasehan Kehumasan MPR 'Menyapa Sahabat Kebangsaan' di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Kota Serang, Banten, Sabtu (4/12). Foto: Humas MPR RI.

jpnn.com, JAKARTA - Kepala Bagian Pemberitaan dan Hubungan Antar Lembaga Setjen MPR, Budi Muliawan SH., MH., menguraikan dinamika pergerakan nasionalisme di tanah air. Menurutnya, paham kebangsaan atau nasionalisme muncul di tanah air pada tahun 1908. 

“Hal itu ditandai dengan berdirinya pergerakan Budi Utomo,” kata dia.

BACA JUGA: Pesan Wakil Ketua MPR RI untuk Pertahankan Ideologi Pancasila

Budi Muliawan mengatgakan itu saat menjadi narasumber diskusi “Bangkitkan Semangat Nasionalisme Bagi Generasi Muda”, Sarasehan Kehumasan MPR  “Menyapa Sahabat Kebangsaan”, di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Kota Serang, Banten, Sabtu (4/12). 

Kegiatan itu dihadiri Kepala Program Pendidikan FH Untirta, Nurikah SH., NH., Ketua Pelaksana Acara Lili Suriyanti SH., MH., Kepala Bidang Hukum Tata Negara FH Untirta, Lia Riesta Dewi SH., MH., serta civitas akademika Untirta.

BACA JUGA: Budi Muliawan Ungkap Peran Mahasiswa dalam Pembangunan dan Kemajuan Bangsa

Budi Muliawan menjelaskan Budi Utomo didirikan oleh mahasiswa yang menempuh pendidikan kedokteran di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). 

Tokoh-tokoh organisasi ini, adalah Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, dan Soeraji. 

BACA JUGA: Catatan Ketua MPR: Omicron dan Belajar dari Kegagalan Cekal Varian Delta

“Hari berdirinya Budi Utomo, 20 Mei, diperingai sebagai Hari Kebangkitan Nasional,” ujarnya. 

lumni Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya, Kota Malang, Jawa Timur, itu menambahkan organisasi Budi Utomo memiliki tujuan Indonesia merdeka.

Beberapa tahun sebelumnya, kata dia, sudah ada organisasi yang melawan kebijakan pemerintah kolonialisme Belanda yang tidak adil.

“Organisasi itu bernama Sarekat Dagang Islam,” tuturnya. 

Organisasi ini lahir di Solo, 16 Oktober 1905. 

Menurutnya, organisasi inilah yang pertama lahir di masa pergerakan. 

Organisasi yang dibentuk oleh Hadji Samanhoedi itu, merupakan perkumpulan pedagang Islam yang menentang politik Belanda yang telah memberi keleluasaan masuknya pedagang asing untuk menguasai sektor perekonomian pada masa itu.

Dalam keberlanjutan, organisasi ini berubah menjadi Sarikat Islam dengan tokoh penggerak yang sangat populer, yakni Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. 

Menurutya, Tjokroaminoto ini selanjutnya menjadi Bapak Bangsa.

Dinamika pergerakan kebangsaan di tanah air, kata dia, makin membesar dengan adanya Kongres II Pemuda yang terjadi pada 1928.

Kongres yang diikuti oleh berbagai mahasiswa dengan berbagai latar bekalangan itu menghasilkan sumpah yang sangat monumental dengan sebutan Sumpah Pemuda. 

“Kemudian berlanjut pada gerakan pemuda mahasiswa pada tahun 1945, 1966, dan 1998,” ungkapnya. “Apa yang dilakukan oleh mahasiswa mempunyai dampak yang besar pada bangsa dan negara,” tambahnya.

Menurut alumnus Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia itu, nasionalisme sifatnya tidak mononton. 

Nasionalisme bisa dipengaruhi banyak faktor. 

Dia menjelskan Revolusi Industri yang terjadi pada 1760-1850, berpengaruh besar terhadap perkembangan paham ini. 

Revolusi Industri menyebabkan terjadi perubahan besar-besaran pada berbagai bidang, dengan dampak besar pada perubahan tatanan dunia. 

“Membawa perubahan pada berbagai aspek kehidupan manusia seperti pada bidang sosial, budaya, dan ekonomi,” tuturnya. 

Perubahan ini berawal dari Inggris hingga menyebar ke seluruh benua dan negara lainnya.

Dengan fakta di atas, Budi Muliawan menyebut nasionalisme bisa menyesuaikan dengan zaman dan keadaan. 

Menolong orang, peduli sesama, dan gotong royong, juga merupakan semangat nasionalisme. 

“Membantu orang lain saat pandemi Covid-19 juga merupakan bentuk nasionalisme,” paparnya.

Budi Muliawan menambahkan saat ini di media sosial banyak berita bohong atau hoaks.

Namun, kata dia, berita yang sesuai dengan fakta juga melimpah. 

Budi Muliawan mengatakan berita bohong menimbulkan benih-benih permusuhan dan perpecahan. 

“Nah, melawan berita bohong juga salah satu bentuk nasionalisme. Nasionalisme seperti ini bisa kita lakukan saat ini,” tambahnya.

Menurut Budi Muliawan, paling penting dalam paham ini adalah bagaimana nilai-nilai yang ada tidak hanya diucapkan namun juga diimplementasikan. 

Hanya saja, dia mengingatkan bahwa nasionalisme yang diinginkan adalah yang berdasarkan pada nilai-nilai yang disepakati oleh para pendiri bangsa, yang termuat dalam Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. “Bukan nasionalisme sempit,” tegasnya. 

Budi Muliawan mengatakan bangsa ini harus bersyukur karena memiliki Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Sementara, Lia Riesta Dewi yang juga menjadi pembicara dalam diskusi itu menambahkan nasionalisme tak dapat diukur, dilihat, dan diraba namun bisa dirasakan.

Ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya, kata dia, seseorang yang memiliki rasa nasionalisme akan bergetar hatinya. 

“Demikian juga bila ada bendera Merah Putih, maka hatinya juga akan bergetar,” tambahnya.

Sebelumnya, Lili Suriyanti dalam sambutan mengatakan pihak kampus mengucapkan terima kasih atas kehadiran tim dari Setjen MPR. 

“Kegiatan ini untuk menyosialisasikan apa saja tentang MPR,” tuturnya. 

Dia menambahkan bahwa hadir dalam kegiatan tersebut sekitar 50 mahasiswa. 

“Yang mengikuti kegiatan secara ‘daring’ juga tak kalah banyaknya,” ungkapnya. 

Selain mahasiswa, ada juga dosen yang antusias pada kegiatan ini.

Dia berharap kegiatan tersebut dapat menambah wawasan keilmuan bagi mahasiswa.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Nurikah. 

Dia mengatakan kedatangan MPR ke kampus ini merupakan kali kedua.

“Berbagai kegiatan telah dilakukan oleh MPR di Untirta,” ujarnya. 

Dia berharap setiap kegiatan yang dilakukan MPR dapat dimanfaatkan oleh civitas akademika untuk menambah ilmu dan pengalaman. 

“Kegiatan ini merupakan sarana untuk melakukan asah intelektual,” ucapnya.

Dia mengatakan MPR tidak hanya sebagai lembaga negara dalam bidang legislatif.

Namun, katanya, MPR juga lembaga yang membangun karakter bangsa. 

Dengan mengacu pada tema diskusi, dia menyampaikan kepada mahasiswa agar jangan hanya mengajar prestasi, tetapi harus mengedepankan atau memberikan kontribusi pada bangsa dan negara. (*/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler