Sastra dan Sejarah Menggugah Ingatan Kolektif Bangsa

Senin, 11 Oktober 2021 – 09:41 WIB
Para narasumebr pada saat sasarehan daring atau Sadaring seri ke-5 yang digelar organisasi penulis Satupena bertema 'Sejarah Dalam Sastra' di Jakarta, Minggu (10/10). Foto: Tangkapan layar

jpnn.com, JAKARTA - Cerita sejarah yang diangkat dalam bentuk karya sastra akan menggugah ingatan masyarakat akan suatu peristiwa yang tak tertulis dalam teks sejarah, meskipun peristiwa itu berdampak besar dalam kehidupan masyarakat.

Begitu juga dengan fakta dan pertiswa sejarah yang ditulis sesuai dengan kaedah prosedur ilmiah, menjadi sumber berharga bagi penulisan karya sastra. Sisi lain dalam sejarah bisa dibuat menarik dalam karya sastra. Sebab, fiksi memberi kebebasan bagi penulis untuk meramunya menjadi cerita menarik dalam karya sastra berbasis peristiwa sejarah.

BACA JUGA: Kepengurusan Satupena Telah Disahkan MenkumHAM, Akhirnya Penulis Punya Organisasi

Demikian benang merah dari sasarehan daring atau Sadaring seri ke-5 yang digelar organisasi penulis Satupena bertema “Sejarah Dalam Sastra” di Jakarta, Minggu (10/10).

Sadaring ini menampilkan tiga narasumber berbobot yakni penulis novel sejarah Iksana Banu, peneliti dan penulis sejarah Amurwani Dwi Lestariningsih, dan penulis novel dan antropolog Nusya Kuswantin.

BACA JUGA: 6 Sastrawan Terima Penghargaan Anugerah Sastra Rancage 2021

Acara Sadaring dimoderatori oleh sejarawan UGM yang juga salah satu Ketua Presidium Satupena, Profesor Sri Margana. Dua puisi dibacakan sebelum acara dimulai yakni puisi ‘Catatan Harian’ karya Putu Fajar Arcana dan puisi ‘Pelajaran’ yang dibawakan Magdalena Sitorus.

Margana memberikan gambaran teoritis tentang hubungan sastra dan sejarah sehingga memberi pemahaman utuh bagi peserta untuk memahami apa yang diungkapkan para narasumber. Menurut dia, tanggung jawab sastra dan sejarah agak berbeda.

BACA JUGA: Tiongkok Minta Ratusan Karya Sastra Klasiknya Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia

Tugas sejarah itu, kata Margana, kembar. Sejarah harus menceritakan suatu peristiwa sesuai dengan kejadian atau fakta dan menuliskannya dengan mengikuti prosedur ilmiah, spasial, temporal, kronologis berdasarkan fakta atau bukti. Sedangkan sastra cukup mengungkapkan  gambaran  tentang peristiwa yang dapat dipahami pembaca.

Penulis Novel Iksaka Banu yang banyak melahirkan novel berlatar sejarah era kolonial, banyak mempelajari sejarah masa ini yang jarang diungkap secara resmi tapi banyak informasi menarik yang bisa diangkat dalam bentuk novel.

“Sejarah kolonial lebih mengungkap tokoh dan nama besar, tetapi masyarakat biasa, orang kecil yang seakan tak membuat sejarah sesungguhnya ikut berperan dalam perjalanan sejarah itu sendiri. Di mana mereka? Sedang apa mereka? Nah, kalau kita tahu informasinya, bisa kita ramu dalam bentuk novel menarik,” ungkap Banu.

Menurut Iksana Banu, karena pilihan pada masa Sejarah Kolonial, maka dirinya melakukan riset data atau dokumen masa kolonial, yakni dari para pengelana Eropa yang menulis catatan perjalanannya, tentunya yang sudah dibukukan. Selanjutnya dari memoar atau kenang-kenangan yang ditulis para pejabat baik Belanda maupun pribumi, juga karya novel yang sudah ditulis para jurnalis misalnya.

Mantan wartawan yang kemudian menjadi novelis dan memperdalam antropologi Nusya Kuswantin menceritakan bagaimana proses kreatifnya melahirkan novel berlatar belakang peristiwa mencekam tahun 1965.

“Profesi saya sebagai wartawan dan tempat tinggal saya di Banyuwangi, membuat orang bertanya tentang banyak hal. Juga mereka menceritakan pengalaman masa lalunya. Ini awalnya yang membuat saya terdorong serius mendalami masalah terkait peristiwa 1965,” katanya.

Secara personal, Nusya menceritakan bagaimana kesulitan mengambil sudut pandang, siapa aku dan bagimana nanti jika novel ini terbit.

“Ibu pernah menyarankan agar jangan menerbitkan soal ini dulu, tunggu situasi benar-benar aman. Akhirnya setelah saya kuliah lagi di Yogyakarta dan kondisi di sana sangat memungkinkan, keberanian untuk menerbitkan novel berjudul Lasmi semakin tinggi,” ungkap Nusya.

Harus Ada Keberanian

Begitu juga cerita peneliti dan penulis sejarah Amurwani Dwi Lestariningsih. PNS di Kemendikbudristek ini juga menceritakan bagaimana awal mula tertarik menulis terkait peristiwa 1965, khsusunya dari sudut perempuan yakni para tahanan wanita yang tanpa diadili tetapi harus mendekam di penjara dan menderita lama di jeruji besi masa Orde Baru.

Amurwani mengungkapkan hasil diskusi dengan rekan sejarawan Dr. Asvi Warman Adam mengantarkan riset untuk tesisnya tentang perempuan anggota Gerwani yang ditahan, akhirnya membuka jalan dan melancarkan risetnya untuk menulis tesis, meski untuk menjelajah dan menemukan mereka, awalnya sangat sulit.

“Saya mencari Sekjen Gerwani bernama Bu Darminah. Alamatnya saya sudah pegang yaitu di Gang Rela, Manggarai, Jakarta Selatan. Tiga hari mondar mandir di titik alamat itu, saya baru ketemu orang tua berambut putih berusia 70-an tahun. Dia tak mengaku, hanya bertanya balik, untuk apa mencari Darminah? Akhirnya setelah kembali ke organisasi Pakorba di Pasar Minggu, saya diyakinkan bahwa wanita beramput putih itu adalah Darminah. Akhirnya kita ketemu di Kantor Pakorba,” ungkap Amurwani.

Secuil cerita itu menggambarkan betapa para mantan anggota dan pengurus Gerwani menutup rapat identitas dengan mengganti nama. Bu Darminah hanya dikenal sebagai Mbah Jamu di Manggarai, yang lain berubah identitas.

Semua itu demi menyelamatkan diri dan bisa beradaptasi dengan masyarakat. Kenapa? Orde Baru membuat mereka sangat takut, karena stigma buruk masih dilekatkan pada mereka.(fri/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler