jpnn.com, JAKARTA - Sorotan dan gunjingan publik menanggapi rangkaian skandal atau kasus yang terungkap pada sejumlah institusi negara setahun terakhir ini layak diterima sebagai cibiran yang kemudian memunculkan pertanyaan tentang progres atau hasil reformasi birokrasi. Masyarakat sangat kecewa.
Alih-alih mengarah pada terbentuknya pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean goverment), hasil dari satu dekade reformasi birokrasi justru lebih menampilkan potret beberapa institusi negara yang sarat praktik mafia.
BACA JUGA: Mahfud MD Bentuk Satgas Soal Transaksi Rp 349 Triliun, Benny K Harman: Anggotanya Itu-Itu Juga
Fakta-fakta tentang praktik mafia pada beberapa institusi negara sudah diketahui dan dilihat masyarakat, karena semuanya begitu jelas dan telanjang.
Ekses dari perilaku menyimpang banyak oknum birokrat itu pun sudah dirasakan langsung oleh sejumlah elemen masyarakat.
BACA JUGA: 7 Poin Penting dari Mahfud MD soal Transaksi Mencurigakan Rp 349 Triliun
Sebab, ada mafia tanah, mafia pajak, mafia narkoba, mafia judi, mafia hukum dan peradilan, mafia kehutanan, mafia tambang, mafia penyelundupan, mafia anggaran, mafia tender hingga mafia kedokteran.
Semua mafia itu bisa terbentuk, karena memiliki keterkaitan dengan oknum birokrat pada institusi-institusi negara dengan segala wewenang dan kuasa yang melekat pada oknum bersangkutan.
BACA JUGA: Sri Mulyani & Mahfud MD Kompak Hadiri Rapat DPR Bahas Transaksi Janggal Rp 349 Triliun
Para oknum birokrat pada sejumlah institusi negara itu mengingkari Tupoksi (tugas pokok dan fungsi)-nya.
Tak sekadar ingkar, banyak oknum pada beberapa institusi menggunakan wewenang dan kekuasaannya untuk menjadi bagian tak terpisah dari ragam tindak pidana korupsi.
Salah satu contoh kasusnya adalah oknum pada institusi dengan Tupoksi menegakan hukum dan mengayomi masyarakat justru menjadi faktor penentu kekuatan yang merawat eksistensi mafia judi dan narkoba.
Akhir-akhir ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan pimpinan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sedang memperjelas konstruksi kasus transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di kementerian keuangan, serta kejanggalan kasus transaksi emas senilai Rp 189 triliun di Ditjen Bea Cukai.
Per angka atau nilai uang, tentu saja dua kasus kejanggalan ini sangat fantastis.
Seperti dipahami bersama, kedua kasus janggal di Kementerian Keuangan itu diungkap menyusul terbongkarnya kejanggalan nilai kekayaan mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Rafael Alun Trisambodo.
Rafael sendiri sudah ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus gratifikasi, dan ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menyusul terungkapnya kasus Rafael, masyarakat pun ramai-ramai mengungkap dan menunjuk keluarga sejumlah oknum aparatur sipil negara (ASN) yang mempertontonkan gaya hidup sangat mewah.
Pola hidup mewah sendiri sejatinya bukan aib.
Persoalannya adalah bagaimana dan cara seperti apa yang ditempuh untuk membiayai pola hidup mewah itu.
Berpijak pada sejumlah kejanggalan itu, menjadi sangat relevan untuk dipahami ketika Menko Polhukam Mahfud MD dalam sebuah kesempatan mengemukakan bahwa korupsi di Indonesia terjadi di berbagai sektor.
“Sekarang, saudara menoleh ke mana saja ada korupsi kok. Menoleh ke hutan, ada korupsi di hutan, menoleh ke udara, ke pesawat udara, ada korupsi di Garuda (Indonesia); asuransi ada, koperasi korupsi, semuanya korupsi. Nah, ini sebenarnya mengapa dulu kita melakukan reformasi?” kata Mahfud.
Menko Mahfud tentu tidak sekadar membuat pernyataan tentang kecenderungan ini.
Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), pernyataannya berpijak pada data resmi hasil olahan institusi negara.
Dari ratusan surat PPATK tentang transaksi janggal Rp 349 triliun yang dikirimkan kepada Kementerian Keuangan, rasanya lebih dari cukup untuk melengkapi gambaran yang dikedepankan Menko Mahfud, utamanya tentang perilaku tak terpuji sejumlah oknum birokrat.
Disebutkan bahwa ada 64 surat terkait dengan pegawai bernilai Rp 13 triliun, 135 surat terkait dengan korporasi dan pegawai Kementerian Keuangan bernilai Rp 22 triliun, sebanyak 65 surat terkait transaksi perusahaan/korporasi bernilai Rp 253 triliun, dan 36 surat terkait dengan perusahaan/pihak lain dengan nilai Rp 61 triliun.
Untuk tidak menimbulkan keraguan publik, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana memastikan transaksi mencurigakan Rp349 triliun itu benar adanya.
Semua transaksi itu terekam dan PPATK memegang data.
"Itu data dan dananya rill," kata Ivan Yustiavandana di hadapan Komisi III DPR, Selasa (11/4).
Kalau faktanya seperti itu, menjadi relevan pula untuk mengedepankan pertanyaan tentang progres atau hasil dari reformasi birokrasi.
Kalau berpijak pada Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, berarti reformasi birokrasi sudah berlangsung satu dekade lebih.
Pemahaman masyarakat tentang reformasi birokrasi tak lain bertujuan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Namun, mengacu pada gambaran mengenai fakta praktik korupsi di Indonesia sebagaimana dikemukakan Menko Mahfud, layak pula untuk menegaskan bahwa reformasi birokrasi yang sudah berjalan 10 tahun lebih ternyata belum dapat mereduksi budaya dan perilaku korup oknum ASN.
Artinya, kehendak atau target bersama mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa belum dapat diwujudkan dalam jangka dekat.
Sebaliknya, fakta terkini yang menyajikan kenyataan tentang ragam mafia pada sejumlah insitusi justru berkonsekuensi pada runtuhnya wibawa sejumlah institusi negara.
Beberapa institusi bahkan menjadi bulan-bulanan dan cibiran publik.
Memang, pada beberapa aspek, reformasi birokrasi sudah membuahkan hasil.
Pemerintah pada tahun 2012 menetapkan sembilan program percepatan reformasi birokrasi.
Program-program itu meliputi penataan struktur birokrasi; penataan jumlah, kualitas dan distribusi PNS; sistem seleksi dan promosi secara terbuka; profesionalisasi PNS.
Kemudian pengembangan sistem elektronik pemerintah (e-government); penyederhanaan perizinan usaha; peningkatan transparansi dan akuntabilitas aparatur; peningkatan kesejahteraan PNS dan efisiensi penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana kerja PNS.
Untuk meningkatkan kinerja birokrasi, serta menghindari tumpang tindih pelaksanaan tugas dan fungsi, pemerintah telah melakukan pembubaran sejumlah lembaga nonstruktural (LNS).
Pada 2020, sudah dilakukan pembubaran 14 LNS. Konsekuensi dari pembubaran itu adalah mengintegrasikan tugas dan fungsi LNS yang dibubarkan kepada kementerian dan lembaga yang memiliki tugas dan fungsi serupa.
Inilah salah satu contoh buah dari reformasi birokrasi.
Namun, kalau reformasi itu belum dapat mereduksi perilaku korup oknum birokrat, boleh jadi masih ada titik lemah yang harus segera dirumuskan jalan keluarnya.
Aspek pengawasan dalam arti seluas-luasnya belum dijangkau oleh reformasi birokrasi, sehingga korupsi masih merajalela di berbagai sektor pemerintahan.
Korupsi tetap harus diperangi. Tidak ada kata mundur untuk melakukan perbaikan dan pembaruan.
Maka, reformasi birokrasi harus berlanjut.
Rangkaian skandal atau kasus yang terungkap pada sejumlah institusi negara setahun terakhir ini hendaknya tidak membuat semua komunitas anak bangsa menyerah atau putus asa.
Demi tumbuhnya efek jera, siapa saja yang terbukti melakukan korupsi harus diganjar dengan sanksi hukum yang setimpal. (***)
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Pendiri & Pembina Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA)/Dosen Tetap Fakultas Hukum Ilmu Sosial & Ilmu Politik (PHISIP) Universitas Terbuka/Mahasiswa Magister Hukum Universitas Jayabaya
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi