jpnn.com, PONTIANAK - Seorang wanita di Kalimantan Barat sedang mencari keadilan dengan mengadukan nasibnya kepada Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Kalbar.
Wanita ini menjadi korban persetubuhan sejak usia 15 tahun pada 2016.
BACA JUGA: Prahara Keperawanan di Malam Pertama
Hingga saat ini terduga pelaku tidak kunjung ditangkap. Masih menghirup udara bebas.
Terduga persetubuhan itu adalah oknum kepala desa.
BACA JUGA: Keperawanan ABG Direnggut Penelepon Salah Sambung
Korban sampai hamil dan melahirkan bayi.
Namun bayi tersebut meninggal pada hari kedua setelah dilahirkan.
BACA JUGA: Benarkah Olahraga Ekstrim Membuat Wanita Kehilangan Keperawanan?
Korban mengadukan nasibnya kepada KPPAD Kalimantan Barat, 13 Desember lalu.
Dia mencitakan, telah disetubuhi sejak 2016 lalu oleh oknum kepala desa. Saat itu usianya masih 15 tahun sembilan bulan.
Tindakan persetubuhan itu terjadi di kebun karet belakang rumah.
Korban menuturkan, sebelum melakukan perbuatannya pelaku mengancam dengan berkata dirinya adalah tuan tanah dan meminta untuk tidak membocorkan perbuatannya.
Jika sampai ada yang mengetahui, maka orang tua dan keluarga besar korban akan dihabisi.
Korban mengatakan, karena takut ia tidak berani menolak hingga persetubuhan itu terjadi. Hingga perbuatan itu dilakukan si pelaku lebih dari lima kali.
“Saat hamil, saya masih diminta pelaku untuk melayaninya. Perbuatan itu tiga kali dilakukan pelaku,” ungkap korban.
Bahkan, ketika hadir di acara ulang tahun adik korban, pelaku yang sebelumnya sudah tidak bisa dihubungi, pada pertemuan itu datang meminta dirinya untuk melayaninya lagi.
"Saat itu pelaku minta agar anak dalam kandungan saya digugurkan. Bahkan ia datang ke rumah membawakan obat dengan minuman soda, memaksa saya meminumnya. Saya dipaksa minum obat dan air soda selama satu bulan. Bahkan saya hampir kelebihan dosis karena menelan lima pil obat dicampur air soda. Bahkan saya disuruh makan nanas bakar dicamour kapur sirih, tetapi upaya pelaku tetap tidak membuahkan hasil,” kata korban.
Dia melanjutkan, pada 29 September, pelaku memintanya untuk meninggalkan tempatnya.
Di tempat pelarian ia mengalami pendarahan akibat upaya aborsi yang terus dilakukan pekaku.
Pada 27 Oktober 2018, pada usia kandungan baru enam bulan, ia melahirkan bayi yang dikandungnya. Namun bayi meninggal pada keesokan harinya.
“Selama tiga hari saya menangis, tidak bisa tidur, rasanya ingin mati. Saya bahkan berniat bunuh diri. Melihat kondisi itu, pada 31 Oktober oleh kakak saya diminta untuk pulang ke rumah orang tua di kampung,” cerita korban.
Dia mengenang lagi, ketika sudah berada di rumah, ia merasa ketakutan karena pelaku sering datang meski tidak sampai masuk ke rumah. “Saya depresi,” tuturnya.
Korban menerangkan, karena orang tua sudah tidak tahan melihat keadaan dirinya, dilakukanlah pertemuan keluarga besar untuk mencari solusi.
Dari pertemuan itu, ia diminta untuk meninggalkan kampung dan kasus dilaporkan kepada pihak kepolisian.
Korban menuturkan, setelah berkonsultasi, pada 18 Maret 2019 kasus tersebut dilaporkan ke Polda Kalbar.
Dalam perjalan laporan itu, berbagai intimidasi dilakukan pelaku dengan maksud agar laporan itu dicabut.
“Dengan berbagai pertimbangan untuk keselamatan keluarga besar, pada Oktober 2019 laporan itu dicabut dan pelaku berjanji akan memberi tali asih sebesar Rp500 juta. Dan saat itu pelaku hanya memberikan uang biaya penguburan anak. Saya sudah kehilangan segalanya, keperawanan, anak dan martabat. Saya dan keluarga besar harus menanggung penghinaan. Dengan segala kerendahan hati saya meminta kebenaran diungkap. Dua tahun enam bulan, saya dijadikan budak s**s oleh oknum kepala desa,” tutur korban.
Komisioner Bidang Kejahatan Seksual KPPAD Kalbar, Nani Wirdayani, membenarkan jika pihaknya telah menerima pengaduan dari keluarga dan atas kasus persetubuhan terhadap anak.
Nani menerangkan, kasus tersebut terjadi ketika korban berusia 15 tahun sembilan bulan. Saat ini yang bersangkutan sudah berusia 20 tahun.
Nani mengatakan, korban mengaku jika dirinya disetubuhi oleh oknum kepala desa. Dan persetubuhan itu terjadi lebih dari dua tahun lamanya.
“Pengaduan ini akan kami dalami dan akan dikoordinasikan dengan Polda Kalbar,” kata Nani.
Dia menerangkan, korban dan keluarganya merasa diintimidasi, lalu setelah berkonsultasi dengan keluarga besar kasus itu pun dilaporkan ke Polda Kalbar pada Maret 2020 lalu.
“Ketika proses hukum sedang berjalan, ternyata ada pihak-pihak yang meminta korban untuk mencabut laporan. Dengan kondisi tertekan, korban mencabut laporan,” ungkap Nani.
Dia menambahkan, ada tawar menawar antara pelaku dan korban, tetapi sampai saat ini korban belum menerima apa yang dijanjikan.
“Korban mengatakan pelaku ada mengirim uang, tetapi nilainya seperempat dari yang dijanjikan,” ungkapnya.
Nani menegaskan, sesuai dengan undang undang perlindungan anak tidak ada kata damai pada kasus persetubuhan terhadap anak. Harusnya pihak kepolisian tetap melanjutkan proses hukum. Nani menyatakan, menanggapi pengaduan korban, maka pihaknya telah mengambil langkah perlindungan. Yakni memberikan perlindungan khusus kepada korban dan akan berkoordinasi dengan kepolisian.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kalbar, R Hoesnan, mengatakan, perdamaian dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak sah-sah saja dilakukan.
Namun hal itu tidak menggugurkan perbuatan melanggar hukum.
Hoesnan menegaskan, adapun kesepakatan damai antara pelaku dan korban dan pencabutan laporan tidaklah berpengaruh pada proses hukum. “Polisi harus tetap menjalankan proses hukum sebagaimana mestinya,” kata Hoesnan.
Dia menyatakan, kasus persetubuhan yang dialami korban murni pidana bukan delik aduan, yang ketika berdamai menggugurkan pidananya.
“Kesepakatan damai itu bukti, bahwa ada pihak-pihak yang ingin mengaburkan kasus ini,” tegas Hoesnan. (adg/prokalbar)
Redaktur & Reporter : Adek