Tindak kekerasan di sekolah di Indonesia kadang menimbulkan kematian murid. Sekarang beberapa sekolah mulai menerapkan program 'buddy" (teman) untuk menghilangkan kecenderungan 'bullying'. Salah satunya adalah Yayasan Kalam Kudus di Yogyakarta yang mendapat inspirasi mengenai hal tersebut dari Australia.

Apakah Anda masih ingat satu saja dari sekian banyak  peristiwa kekerasan di sekolah di Indonesia?

BACA JUGA: Menteri Pendidikan Federal Dukung Perlindungan Siswa LGBTI di Sekolah

Saya masih ingat dan menjadi “permenungan“ saya. Peristiswa itu dialami Renggo Kadapi (11) siswa kelas V SDN 09 Makassar, Jakarta Timur. Renggo yang mungkin calon pilot itu harus terengut nyawannya akibat dianiaya oleh kakak kelasnya. Peristiwa itu terjadi beberapa hari ketika kita memperingati Hari Pendidikan bulan Mei 2014.

Saya sebagai pendidik  “shock”. Ternyata penyebabnya sepele. Saat istirahat siang, Renggo tidak sengaja menjatuhkan pisang goreng coklat milik kakak kelas. Renggo  sudah meminta maaf dan mengganti pisang yang terjatuh.

BACA JUGA: Jauhi Hukuman Mati, Polisi Australia Bantu Indonesia dalam Kasus Kematian Mirna

Tapi itu belum cukup. Si kakak kelas bukannya memberi maaf, justru melakukan pemukulan yang bertubi-tubi ke perut Renggo hingga berakhir dengan kematian Renggo, si “calon” pilot tersebut.


Murid sekolah di SD Muhamadiyah Macanan Yogyakarta mulai menerapkan sistem buddy di sekolah mereka. (Foto: GSM).

BACA JUGA: Kemenangan ‘Spotlight’ di Piala Oscar Bertepatan dengan Kesaksian Kardinal George Pell

Miris rasanya. Salah satu penyebabnya menurut saya karena  atmosfer superior kakak kelas yang sengaja dan tidak sengaja dibangun dalam kerangka negatif.

Atmosfer "sok berkuasa" yang dilakukan kakak kelas terhadap adik kelas tentunya terbangun dalam jangka waktu lama. Dan atmosfer ini tidak hanya terjadi di bangku sekolah dasar (SD), namun juga SMP, SMA bahkan di dunia kampus.

Seperti kasus kematian akibat kerasan perpoloncoan yang dilakukan oleh mahasiswa senior ke yunior di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).

Kecenderungan superior dan sok berkuasa itu perlu dengan sengaja “dipangkas” dengan sebuah praktek positif yang berkesinambungan. Ada sebuah praktek bagus, bernama "Buddy program" yang saya pelajari dari sekolah dasar di Australia.

Program ini diperkenalkan pada saya oleh Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) yang mengambil praktik baik dari pendidikan di Australia.

Dalam sistem "Buddy" yang diperkenalkan kepada saya dan guru-guru jejaring GSM, 'kakak kelas' bukanlah penguasa, tapi justru menjadi 'buddy' yakni teman sekaligus pelindung.

Sebagai pelindung, selain menjadi teman terbaik, kakak kelas dilatih untuk membantu adik kelasnya ketika masa orientasi mulai pengenalan gedung dan tempat sekolah hingga mengantar sang adik saat pergi ke toilet.

Ide yang dikenalkan oleh Gerakan Sekolah Menyenangkan dicoba diadopsi oleh SD Kalam Kudus dengan sebuah kegiatan.

Dengan harapan, kegiatan ini bisa jadi langkah awal untuk system buddy ini menjadi sebuah budaya. Kegiatan ini digelar setelah kakak kelas menyelesaikan ujian akhir sekolah (UAS).

Kakak kelas VI mengajak adik kelas, (dalam kegiatan ini adik kelas TK).  Kakak kelas masing-masing mengajak satu adik kelas  untuk berkeliling ke lokasi SD.


Murid sekolah SD Kalam Kudus Yogyakarta melakukan tur di sekolah sebagai bagian dari program buddy. (Foto: GSM)

Kakak kelas menggandeng adik kelas berkeliling sambil mengenalkan lokasi SD kepada adik TK. Perjalanan diakhiri dengan ruangan perpustakaan. Di perpustakaan itu adik kelas bisa memilih buku yang disukai, lalu kakak kelas akan membacakan buku cerita untuk adik kelas.

Kegiatan ini setidaknya mengarahkan agar kakak kelas menjadi pengayom bukan peguasa. Kakak kelas menjadi sahabat atau buddy bukan “preman”. 

Kegiatan yang dilaksanakan  berdampak langsung kepada adik kelas calon kelas 1 SD. Mereka menjadi tidak takut lagi pada kakak kelas. Kakak kelas pun merasa menjadi “pengayom” atau pelindung bagi adik-adik kelas. Kegiatan ini akan dirintis untuk dilakukan beberapa kali sehingga menjadi sebuah gerakan budaya.

Tidak hanya itu, Kepala SD Kalam Kudus terus mensosialisasikan bahwa kakak kelas  WAJIB menjadi kakak bagi adik kelas.  Saat upacara atau ibadah hal ini terus diingatkan.

“Siapa di sini yang menjadi adik tunggal?” Banyak anak yang mengangkat tangan.

“Nah kalian  mungkin di rumah  tidak punya adik, tapi di sekolah kalian memiliki adik". Murid di Kalam Kudus akan menerapkan program "buddy" atau sahabat ini. Ayo coba kita hitung, adik-adik kita ya.  "Kakak kelas 1 pasti punya adik TK", "kakak kelas 2 punya adik kelas 1dan TK",  "kakak kelas 3 punya adik TK, kelas1 dan 2. Demikian seterusnya, bahwa kakak kelas VI punya adik TK hingga kelas 5,” begitulah biasanya yang saya sampaikan sebagai kepala sekolah saat upacara.

Penyemaian sistem "buddy" ini memanglah tidak mudah di tengah fakta tontonan TV  yang sepertinya “menghalalkan” kekerasan.

Meski begitu, sistem buddy yang mengenalkan kakak kelas sebagai pengayom dan sobat bagi adik kelas harus terus dilakukan agar menjadi sebuah budaya. Indah rasanya semua murid adalah saudara sebagai kakak dan adik. Kakak kelasku menjadi pengayom atau "buddy"ku.

Saling berbagi, saling menghargai dan belajar sehingga kisah Renggo Kadafi tidak akan terulang lagi sampai kapanpun.

* Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Lily Halim, S.Pd, Kepala Sekolah SD Kalam Kudus Yogyakarta (salah satu sekolah jejaring GSM).

BACA ARTIKEL LAINNYA... Aktivitas Menari Bisa Kurangi Resiko Penyakit Jantung

Berita Terkait