jpnn.com, JAKARTA - Pengawas Eksekutif Senior Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Uli Agustina mengatakan sekitar Rp 294 triliun sudah masuk kategori hijau.
Uli menyebut berdasarkan laporan per Juni 2022, ada 100 debitur dengan total Rp 1.065 triliun yang masuk taksonomi hijau.
BACA JUGA: Anggota DPR: Judi Online Merusak Reputasi Industri Keuangan, OJK Jangan Diam
OJK pun telah menerima laporan 10 debitur besar dari Bank Buku III dan IV.
Berdasarkan laporan per Juni 2022, ada 100 debitur dengan total Rp 1.065 triliun yang masuk taksonomi hijau.
BACA JUGA: Dewan Komisioner OJK Baru Dilantik, Korban Asuransi Unit Link Berharap ini
Uli mengatakan laporan ini merupakan pilot project yang diterapkan OJK dalam rangka mengecek portfolio keuangan hijau perbankan.
“Suatu hal yang bagus dari laporan tersebut, ternyata 20-30 persen sudah masuk kategori hijau. Ini masih taksonomi hijau 1.0 atau tahapan pertama, tahapan ke depan dengan adanya berbagai masukan dari pelaku usaha dan debitur, akan dikembangkan secara berkelanjutan," kata Uli dalam webinar Katadata SAFE 2022, Rabu (24/8).
BACA JUGA: Dewan Komisioner OJK Resmi Dilantik, Puteri Komarudin: Harus Gerak Cepat
OJK, kata Uli, bakal melanjutkan pilot project dengan 100 debitur menjadi 340 debitur pada 2023.
Selain itu, OJK juga akan mengembangkan sistem pelaporan online yaitu apolo.
Apolo adalah sistem pengumpulan informasi yang dilakukan OJK untuk mempermudah pengawasan.
Sebab, pembiayaan proyek hijau memerlukan modal besar dan juga pengembalian yang lama sehingga perbankan kadang sangat memikirkan risiko dan juga mitigasi risiko.
"Karena perbankan itu kan Lembaga intermediary dengan dana dari masyarakat sehingga selalu mempertimbangkan risiko. OJK mendorong perbankan agar terus meningkatkan pembiayaan di sektor keuangan hijau,” jelas Uli.
Chief Sustainability Officer DBS Group, Helge Muenkel mengatakan Bank DBS akan memublikasikan laporan dalam waktu dekat tentang upaya yang dilakukan Bank DBS untuk mencapai komitmen emisi nol.
DBS tidak hanya fokus pada perubahan iklim tapi juga ke hal lain terkait sustainability.
"Kami melakukan kolaborasi dengan klien contohnya memberitahu klien bahwa bisnisnya belum menerapkan net zero. Kami juga mengupayakan agar klien kami ikut menerapkan praktik yang sustainable,” kata Helge.
Helge Muenkel memandang, Bank DBS hadir untuk menghadapi menghadapi berbagai tantangan keberlanjutan iklim.
DBS telah mengembangkan pendekatan komprehensif untuk berkelanjutan di tiga pilar.
Pertama, pendekatan perbankan yang bertangungjawab. DBS mendukung klien agar mereka bisa lebih mengutamakan ekonomi berkelanjutan dalam setiap proyeknya.
DBS berkomitmen mendukung dunia untuk bisa bebas dari emisi pada 2050.
Salah satu bentuk dukungan yang DBS lakukan adalah dengan menyediakan pembiayaan dan peminjaman yang berkelanjutan.
"Kami ingin mencapai net zero emission pada 2050," kata Helge.
Pilar kedua adalah mengendepankan praktik bisnis yang bertanggungjawab.
Pilar ketiga yaitu, DBS ingin memberikan dampak positif sebagai salah satu perbankan yang ada di dunia. DBS mendukung segala bentuk usaha yang berkaitan dengan sosial.
Namun demikian, lanjut Helge, dunia sangat kompleks, banyak tantangan yang berkaitan dengan keberlanjutan.
"Sebagai konsekuensi, kita tidak bisa hanya fokus kepada iklim karena ada tantangan keberlanjutan lain yang kita harus pastikan pertumbuhannya agar bisa inklusif dan adil. Kalau kita hanya fokus kepada iklim, sepertinya tidak bisa," ujarnya.
Helge menambahkan, DBS mengapresiasi target pemerintah Indonesia mencapai target emisi nol pada 2060.
"Indonesia masih belum berada di jalur yang tepat untuk bisa mencapai target tersebut," kata Helge. (mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul