jpnn.com - JAKARTA – Anggota Komisi X DPR Dedy Gumelar meminta PT Graha Jaya Prima selaku pemilik brand Blitz Megaplex menjelaskan tentang kepemilikan saham CJ CGV sebelum PT Graha melakukan Initial Public Offering pada Maret 2014.
Dedy khawatir jika IPO itu sebagai akal-akalan melegalkan kepemilikan CJ CGV di Blitz Megaplex. Menurut Dedy, kepemilikan saham CJ CGV di Blitz Megaplex melanggar aturan di Indonesia.
BACA JUGA: Harga Rumah Naik 20 Persen
Menurut dia, sektor perfilman tidak masuk ke dalam revisi Daftar Negatif Investasi sehingga CJ CGV yang membeli Blitz Megaplex, otomatis harus menghentikan investasi di industri film nasional.
“Walaupun (Blitz) sudah dibeli tapi itu harus dihentikan dan haram kalau dilanjutkan karena DNI-nya sendiri tidak jadi dibuka. Sedangkan mereka merupakan pemodal asing yang artinya masuk ke dalam Penanaman Modal Asing (PMA). Intinya, mereka tidak berinvestasi di sektor bioskop,” kata Dedy, Rabu (8/1).
BACA JUGA: Harga Elpiji 12 Kg Belum Normal
Seperti diketahui, pria yang karib di sapa Miing ini menentang keras jika bioskop dimasuki modal asing lantaran masih masuk dalam DNI. Menurutnya, harus ada sanksi tegas jika Blitz Megaplex benar-benar dibeli CJ CGV.
Ia mengaku sudah banyak mendapatkan informasi terkait pembelian itu. Hal ini sudah terbukti dengan adanya perombakan direksi Blitz Megaplex mayoritas jabatan strategis diisi pihak dari Korea Selatan.
BACA JUGA: Tarif Cukai Rokok Tetap, Alkohol Naik
Bahkan CEO Blitz Megaplex yang baru adalah mantan Chief Representative di CJ CGV Greater China. Selain itu, sejak akhir 2012, sudah masuk sembilan orang ke manajemen Blitz Megaplex.
Miing menambahkan, pemerintah tidak pernah mencabut Peraturan Presiden nomor 36 tahun 2010 sehingga belum mengeluarkan bioskop dari DNI.
Menurut dia, seharusnya pembelian tersebut harus seizin Menteri Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
“Pemerintah tidak melepas gedung bioskop yang merupakan rumah budaya kepada investor asing. Kalau benar Blitz dijual kepada investor Korea, itu jelas pelanggaran,” kata Miing.
Ia menjelaskan, berdasarkan pasal IV Undang-undang nomor 33 tahun 1999 tentang Perfilman film juga menjalankan fungsi pendidikan dan kebudayaan selain hiburan dan informasi. “Dapat dikatakan, film merupakan salah satu instrumen untuk membangun karakter bangsa,” kata Miing.
Karenanya, Miing menjelaskan, atas dasar ini pula industri perfilman tidak bisa disamakan dengan bidang usaha lainnya.
Sebelumnya, Direktur PT Graha Layar Prima Brata Perdana usai melakukan mini expose di Gedung BEI, Rabu (8/1/), kepada wartawan menjelaskan bahwa peruasahaannya akan melantai di bursa saham melalui skema IPO Maret 2014.
Menurutnya, industri bioskop di Indonesia saat ini masih sangat minim, pemainnya pun masih sedikit. Hal ini menjadi salah satu alasan pihaknya untuk lebih mengembangkan bisnis di tanah air.
“Untuk pengembangan bisnis. Indonesia masih kurang jumlah bioskop sempat mati, di 2002 hanya 230-240 layar, 1994 lebih dari 2000 layar nasional. Sekarang naik lagi. Prospek bagus,” ujarnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BI Rate Bisa Tetap
Redaktur : Tim Redaksi