Seberapa Siap Polri Menerima Richard Eliezer sebagai Aset, bukan Musuh?

Selasa, 21 Februari 2023 – 11:40 WIB
Reza Indragiri Amriel soal karier Richard Eliezer alias Bharada E di Polri. Foto: Andika Kurniawan/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti ASA Indonesia Institute Reza Indragiri Amriel menyampaikan analisis soal nasib Richard Eliezer alias Bharada E di Polri setelah nanti keluar dari penjara.

Eliezer adalah pembunuh Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dengan divonis hukuman ringan, yakni 1 tahun 6 bulan penjara lantaran memilih jadi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator.

BACA JUGA: Eliezer Memang Berpangkat Paling Rendah, Tetapi Berani Menghadapi Jenderal

Reza mengatakan yang menjadi pertanyaan sekarang bukan apakah Eliezer layak melanjutkan kariernya Polri. Sebab, mantan ajudan Ferdy Sambo itu dinilai sangat layak tetap jadi polisi.

Sebagai justice collaborator yang sebangun dengan whistleblower, Bharada E sudah menunjukkan betapa ketaatan pada kebenaran lebih tinggi daripada kepatuhan yang menyimpang.

BACA JUGA: Jaksa Ajukan Banding Perkara Ferdy Sambo, Kejagung Beber Alasannya

"Dengan mentalitas seperti itu, Eliezer layak dipandang sebagai aset, bukan sebagai musuh. Masalahnya justru pada Polri. Yakni, seberapa siap Polri menerima kembali Eliezer?" ujar Reza.

Pria yang pernah mengajar di STIK/PTIK itu menyebut jawaban atas pertanyaan itu ada pada dua hal. Pertama, apakah Polri punya sistem pengembangan karier bagi personel dengan karakteristik seperti Eliezer?

BACA JUGA: Kepala Sekolah Ini Pacari Siswi SMP, 2 Kali Melakukan Persetubuhan, Bu Retno Meradang

"Artinya, profesionalisme Eliezer harus terus dikembangkan," ucap Penyandang gelar MCrim dari University of Melbourne Australia itu.

Namun, Reza juga menyinggung adanya pemahaman bahwa Eliezer pernah divonis bersalah terkait pasal 340 KUHP. Hukuman berupa masa pemenjaraannya memang ringan, cuma 1 tahun 6 bulan, tetapi hukumannya itu dijatuhkan terkait pembunuhan berencana dan itu sangat serius.

Terhadap anggota Polri yang pernah melakukan tindak pidana, kata Reza, tentu Polri berkepentingan besar untuk memastikan Eliezer tidak menjadi residivis. Baik residivisme atas perbuatan yang sama maupun residivisme terkait pidana lainnya.

"Jadi, di samping pengembangan profesionalisme, Polri juga harus melakukan risk assessment dan rehabilitasi terhadap Eliezer," tuturnya.

Faktor kedua, lanjut Reza, apakah Polri punya sistem untuk melindungi Eliezer dari kemungkinan serangan pihak-pihak yang barangkali tidak senang dengan sepak terjang Eliezer?

"Artinya, apakah Polri nyaman menerima seorang justice collaborator alias whistleblower?" kata Reza.

Menurut Reza, Eliezer telah memperlihatkan betapa dia pada akhirnya bukanlah personel yang bisa didikte untuk menyembunyikan penyimpangan, lebih-lebih yang dilakukan oleh senior bahkan jenderal sekalipun.

"Tidakkah itu bisa dipandang berpotensi mengganggu jiwa korsa Polri?" kata pakar psikologi forensik itu.

Oleh karena itu, Reza menyarankan sekembalinya Eliezer nanti, Polri memang perlu membudayakan whistleblowing di internal korps Tribrata.

"Sekaligus, Polri harus menjamin bahwa Eliezer dan para whistleblower lainnya terhindar dari viktimisasi," ujar Reza Indragiri.(fat/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler