jpnn.com, JAKARTA - Kepengurusan Partai Perindo besutan Hary Tanoe mengalami turbulensi. Pasalnya, bos MNC Group itu dianggap otoriter dan sangat sentralistik dalam memimpin partai.
“Kepemimpinan Hary Tanoe, sangat personal dan otoriter sehingga perlu dikoreksi agar Perindo menjadi parpol yang bukan hanya sebagai alat politik kepentingan pribadi,” kata mantan Ketua DPW Maluku Utara Mukti Baba dalam konfrensi pernya di Jakarta.
BACA JUGA: Perindo Dukung Dominggus-Lokatani di Pilgub Papua Barat 2024
Mukti Baba yang dipecat Hary Tanoe telah mengajukan pendaftaran permohonan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) DKI Jakarta terkait SK Kemenkumham tentang Pengesahan Perubahan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Perindo periode 2022-2027.
“Kami bersama Tim Advokat dari Kantor Law Firm Lukmanul Hakim & Partners telah mendaftarkan permohonan gugatan,” terangnya.
BACA JUGA: Bicarakan Pilkada, Pimpinan Partai Perindo Menyambangi DPP PKS
Dikatakan Mukti, subtansi permohonan gugatannya berkaitan dengan dugaan bahwa menteri hukum dan hak asasi manusia tidak cemat dalam menerbitkan surat keputusan tentang pengesahan perubahan pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Perindo.
Pasalnya, perubahan susunan pengurus tersebut diajukan oleh pihak yang berwenang.
BACA JUGA: Pilkada Jatim, Partai Perindo Siap Memenangkan Khofifah-Emil Dardak
Dia menjelaskan bahwa masa jabatan pengurus DPP Partai Perindo adalah 5 tahun, terhitung dari Juli 2014 ketika AD/ART pertama disahkan.
“Alih-alih melaksanakan kongres sebagai Forum Permusyawaratan Tertinggi Partai yang dilaksanakan setiap lima tahun, Hary Tanoe justru melakukan perubahan demi perubahan terhadap AD/ART partai, di mana salah salah satu perubahan yang paling fundamental adalah mengubah pasal yang mengatur tentang kongres untuk memilih ketua umum, menjadi kongres untuk memilih anggota luar biasa Majelis Persatuan Partai (MPP) yang dipimpinnya sendiri,” katanya.
Seharusnya, lanjut dia, ketika periode kepengurusan 2014-2019 berakhir, maka DPP wajib menyelenggarakan kongres.
Selanjutnya, ketua umum terpilih hasil kongres yang pertama itulah yang didaftarkan oleh Majelis Persatuan Partai ke Menteri Hukum dan HAM untuk mendapatkan pengesahan.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Kongres pertama tidak di laksanakan, MPP justru mengesahkan struktur baru dengan terlebih dahulu merubah AD/ART.
Meniadakan kongres untuk memilih ketua umum sebagaimana semangat awal berdirinya partai Perindo adalah perilaku anti demokrasi dan bentuk penjegalan terhadap hak demokrasi anggota yang merupakan pemegang kedaulatan tertinggi di Partai Perindo.
“Berdasarkan beberapa alasan di atas maka kami melakukan gugatan ke pengadilan Tata Usaha Negara dengan tuntutan agar SK Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dicabut. Sebelum gugatan ini didaftarkan ke pengadilan tata usaha negara kami juga mengirimkan notivikasi ke Kementerian Hukum dan HAM agar mencabut SK dimaksud,” tandasnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif