jpnn.com - JAKARTA - Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menilai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) pada barang mewah tidak mencerminkan kebijakan dan perintah Presiden Prabowo.
Legislator Partai Golkar itu menyebut Dirjen Pajak tidak mampu menerjemahkan arahan presiden soal PPN yang sudah sangat jelas.
BACA JUGA: 3 Berita Artis Terheboh: Hotman Komentari PPN 12%, Mahalini Sedih Banget
“Kalau Dirjen Pajak tidak mampu melaksanakan perintah Bapak Presiden Prabowo, sebaiknya memilih untuk menulis surat pengunduran diri,” ujar Misbakhun melalui siaran pers, Jumat (3/1/2025).
Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu menyebut aturan pemberlakuan PPN dalam PMK Nomor 131 Tahun 2024 tidak seirama dengan kemauan dan kehendak Presiden Prabowo.
BACA JUGA: Efek PPN 12 Persen, 3 Jenis Kredit Perbankan Ini Bakal Naik
Misbakhun menganggap PMK tentang pemberlakukan PPN itu tidak sejalan dengan ketentuan di Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“PMK itu punya tafsir subjektif soal pasal UU HPP yang sudah jelas yang berakibat menimbulkan pelaksanaan yang menimbulkan kegaduhan di kalangan dunia usaha,” imbuhnya.
BACA JUGA: Rachun Hadirkan Besar Pajak Daripada Tiang, Singgung Soal PPN
Lebih lanjut Misbakhun membeber analisisnya soal PMK Pemberlakuan PPN.
Dia menjelaskan Presiden Prabowo pada 31 Desember 2024 menyatakan bahwa penerapan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah.
Yang dimaksud Prabowo ialah barang dan jasa tertentu yang selama ini sudah terkena PPN barang mewah yang dikonsumsi oleh golongan masyakat berada atau hanya warga yang mampu mengonsumsi barang mewah tersebut.
Anehnya, kata Misbakhun, perintah yang sudah jelas tersebut tidak bisa diterjemahkan dengan jelas oleh para birokrat di Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Oleh karena itu, lanjut dia, aturan pelaksanaannya di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya menggunakan dasar pengenaan dengan nilai lain 11/12.
"Yang mana ada penafsiran tunggal seakan-akan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tidak bisa menerapkan PPN dengan multitarif," kata legislator dari Daerah Pemilihan II Jawa Timur (Kota Pasuruan, Kabupaten Pasuruan, Kota Probolinggo dan Kabupaten Probolinggo), itu.
Padahal, lanjut Misbakhun, sangat jelas bahwa dalam Pasal 7 UU HPP tidak ada larangan soal multitarif PPN, sehingga penerapan tarif PPN 11 persen dan PPN 12 persen bisa bersamaan sekaligus.
"Tarif PPN 11 persen untuk yang tidak naik, sedangkan tarif PPN 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah," ungkapnya.
Namun, dia menambahkan, ketika PMK Nomor 131 Tahun 2024 tentang Pemberlakukan PPN membuat dasar perhitungan penerapan PPN 11 persen yang tidak naik membingungkan dunia usaha karena menggunakan istilah dasar pengenaan lain.
"Maka hal ini menimbulkan pertanyaan soal loyalitas birokrat di Direktorat Jenderal Pajak, khususnya Dirjen Pajak dalam menerjemahkan perintah Bapak Presiden Prabowo yang sudah jelas," katanya.
Misbakhun menambahkan Kementerian Keuangan RI dengan PMK Nomor 131 Tahun 2024 menyatakan bahwa atas barang/jasa yang bukan dalam kategori barang mewah dikenakan PPN dengan tarif 12 persen dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak.
Dia menjelaskan DPP adalah nilai lain, dalam hal ini 11/12 dari harga jual, penggantian, atau nilai impor.
Sementara, Misbakhun melanjutkan, untuk masa transisi pada 1 Januari 2025 sampai dengan 31 Januari 2025, pengenaan PPN barang mewah dikenakan tarif 12 persen dengan DPP yang sama dengan barang/jasa yang bukan barang mewah.
Presiden Prabowo menghendaki tarif PPN yang berlaku adalah 11 persen dan bukan 12 persen untuk barang/jasa yang bukan barang mewah. Namun, ujar dia, dalam peraturan tersebut justru mengatur tarif PPN yang berlaku adalah 12 persen.
Menurut Misbakhun, memang dasar pengenaan pajak atau faktor pengalinya menggunakan nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual dengan hasil akhir nilai PPN yang dipungut tetap 11 persen atau PPN tidak mengalami kenaikan tarif. "Akan tetapi, peraturan ini menimbulkan keresahan di masyarakat, yang mana beberapa perusahaan retail telah memungut PPN sebesar 12 persen, seperti yang disampaikan dirjen pajak dalam media briefing 2 Januari 2025," paparnya.
Menurut Misbakhun, persiapan dan pembuatan keputusan yang sangat mepet dengan pelaksanaan perubahan tarif PPN tidak memberikan waktu kepada pengusaha untuk mempersiapkan perubahan di dalam sistemnya.
"Walaupun pada akhirnya PPN terutang dapat dihitung ulang menggunakan mekanisme pada SPT Masa PPN, tetapi PMK itu tetap membuat masyarakat harus membayar lebih dari yang seharusnya," katanya.
Menurut dia, sudah seharusnya Kementerian Keuangan RI dalam hal ini Ditjen Pajak membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak menimbulkan multitafsir, dan tetap menggunakan mekanisme penyusunan peraturan yang seharusnya.
"Apakah Kementerian Keuangan, terutama Direktorat Jenderal Pajak, telah menerjemahkan intruksi Presiden dengan tepat?" kata Misbakhun.
"Tidak seharusnya Direktorat Jenderal Pajak membuat penafsiran ataupun membuat ketentuan yang berbeda dengan perintah presiden, sehingga bisa berakibat timbulnya ketidakpercayaan masyarakat kepada pemimpin tertingginya," ungkapnya. (*/boy/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi