Sejarah Hidup

Minggu, 04 Juli 2021 – 08:53 WIB
Dahlan Iskan. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Ini tentang tokoh lagi. Yang meninggal lagi. Covid-19 lagi. Teman saya lagi: Arief Harsono. Di usia 66 tahun.

Saya tetap menitikkan air mata kemarin. Dua kali. Saya tidak tahan melihat Imelda, putrinya, menangis di ujung peti mati –yang siap dimasukkan ke tempat pembakaran mayat.

BACA JUGA: Banyak Nakes Tumbang, RS Islam Terpaksa Tutup Layanan untuk Pasien Covid-19

Lalu ketika pintu yang mirip pintu lift itu membuka. Dan peti mati dimasukkan ke dalamnya. Itulah tempat kremasi modern di zaman sekarang ini.

Ia meninggal di hari yang sama dengan putri Proklamator Indonesia, Rachmawati Soekarnoputri. Jumat kemarin. Juga dengan penyebab yang sama: Covid-19.

BACA JUGA: 7 Bandit Merampok Ambulans Pengantar Pasien Covid-19, Begini Kejadiannya, Ya Ampun

Hanya saja Mbak Rachma sudah beberapa tahun terakhir sakit. Sedang Pak Arief selalu terlihat segar bugar.

Saya masih beberapa kali kirim WA kepadanya ketika bos Samator Group itu sudah masuk rumah sakit.

BACA JUGA: PPKM Darurat Merupakan Pertaruhan Mengakhiri Pandemi Covid-19

"Semoga cepat sembuh," kata saya.

"Xie xie," jawabnya.

Dua hari kemudian saya kirim WA lagi. "Masih di RS? Tanpa gejala kan? Pasti segera sehat," tulis saya.

"Terima kasih Pak Dahlan masih di RS menurut dokter kena Covid, tetapi tidak berat," jawabnya.

Justru saya tahu ia masuk rumah sakit dari WA yang ia kirim tanggal 28 Juni. Jam 08.34 pagi. Ia masuk rumah sakit Adi Husada tengah malam sebelumnya.

Hanya di situ masih tersedia kamar. Yang lain penuh semua. Ia salah satu penasihat di lembaga pengelola rumah sakit itu.

Ia adalah contoh pengusaha yang tetap sibuk di tengah Covid-19.

"Selamat pagi, Pak Dahlan, mohon maaf untuk acara HUT Disway tanggal 2 Juli saya tidak bisa bisa ikut karena kemarin saya mendadak masuk RS hasil Swab PCR saya positif sekarang lagi diinfus dapat kamar di RS Adi husada mohon doa semoga tidak ada-apa, xie xie."

Saya memang sering pakai bahasa Mandarin kalau berhubungan dengannya. Acara itu sendiri sebenarnya sudah dibatalkan.

Saya tidak sampai hati mengundang bos-bos besar itu di tengah serangan Covid yang mengganas lagi.

Rencana awal, kami berempat berkumpul di satu ruangan di Harian Disway. Lalu pembicaraan itu disiarkan secara live. Rupanya Pak Arief belum membaca pembatalan acara itu. Sampai di RS pun masih kepikiran.

Saya mengira Pak Arief akan baik-baik saja. Ia tahu bagaimana harus menjaga diri. Usaha pokoknya adalah: memproduksi oksigen. Sukses besar. Lalu mulai merambah ke usaha-usaha lain yang masih terkait dengan bidang kesehatan.

Yang pasti ia sudah divaksinasi. Sudah dua kali. Bahkan vaksinasi pertama di Surabaya dilaksanakan di gedung barunya yang megah di Surabaya Timur. Yang dihadiri Menteri Kesehatan Budi Sadikin. Yang istri saya menjadi yang divaksinasi pertama. Saya belum boleh divaksinasi saat itu - -baru sembuh dari Covid.

Berhari-hari Pak Arief memimpin sendiri ketertiban acara vaksinasi di situ. Agar tidak menjadi kluster penularan. Bahaya. Ribuan orang mendaftar divaksinasi saat itu.

Saya begitu optimistis Pak Arief akan bisa mengatasi sakitnya. Sehari sebelum meninggal pun masih aktif dengan HP-nya.

Baru Jumat sore jam 15.30, saya lihat, dari notifikasi di HP-nya, tidak aktif lagi.

Ternyata saat itulah Pak Arief mulai merasakan sesak napas. Oksigennya turun ke 94. Mulailah dipasang oksigen.

Namun, tidak langsung naik. Senja pun terlewati tanpa ada tanda-tanda kadar oksigen lebih baik. Mulailah dibicarakan kemungkinan dimasukkan ICU.

Namun, ICU penuh. Di semua rumah sakit.

Setalah diusahakan dengan berbagai upaya akhirnya mendapat ICU. Namun, terjadilah ini: jantungnya berhenti. Jam 21.30 ia meninggal dunia. Ia belum sempat masuk ICU.

Begitu cepat. Kurang dari enam jam sejak ia tidak aktif lagi di teleponnya.

Pak Arief memang pebisnis yang sangat sibuk, pun di kala pandemi.

Kebutuhan oksigen memang melonjak luar biasa. Normalnya ia senang: dagangannya laris. 

Namun, Arief berada dalam tekanan yang sangat berat. Ia tahu kalau sampai terjadi krisis oksigen di Indonesia –seperti pernah terjadi di India– ia merasa harus bertanggung jawab.

Samator, perusahaan yang ia dirikan, adalah produsen oksigen terbesar di Indonesia. Produksinya 800 juta ton setahun. Pabriknya 48 buah. Di sebagai daerah di seluruh Indonesia.

Ia begitu sering dipanggil rapat. Dalam kaitan ketersediaan oksigen. Ia harus mengawasi agar semua pabriknya bekerja 24 jam tanpa istirahat.

Tidak boleh ada mesin yang mati. Tidak boleh ada listrik yang berkedip. Oksigen begitu ditunggu oleh para penderita Covid di rumah sakit di seluruh negara.
Arief kelelahan.

"Beliau mengeluh ke saya dua hari lalu. Merasa kelelahan," ujar Soedomo, bos Kapal Api.

Arief mempunyai komorbid: gula darah dan tekanan darah tinggi.

Pabrik oksigennya begitu besar. Ia hanya sedikit kekurangan oksigen di dalam darahnya.

Namun, Arief sudah membuat sejarah dalam hidupnya: menjadi raja oksigen di Indonesia. Ia membuat Indonesia mandiri di bidang itu.

Ia juga baru saja membuat sejarah di bidang bisnis: "kerajaan" Samator Group baru saja selesai dibangun.

Kerajaan itu terbuat dari beberapa tower dan gedung pertemuan. Ia masih punya tanah luas di sebelahnya. Untuk proyek berikutnya.

Pak Arief juga sedang membangun pabrik baru oksigen yang lebih modern. Hampir jadi. Ia sangat bangga dengan proyek barunya itu.

Bukan hanya keluarganya yang kehilangan. Dunia olahraga bola voli juga sangat kehilangan. Ia adalah pembina voli yang all out.

Demikian juga umat Buddha. Ia adalah ketua Permabudhi (Perkumpulan Masyarakat Buddha Indonesia). Ini satu organisasi baru di luar Walubi.

Pak Arief telah membangun puluhan wihara. Dan membantu berbagai organisasi agama. Ucapan bela sungkawa datang dari lintas agama.

Salah satu yang datang pertama adalah dari Yaqut Cholil Qoumas, bukan sebagai Menteri Agama, melainkan sebagai Ketua Umum PP Gerakan Pemuda Ansor, NU.
Pak Arief yang baik dan rendah hati itu seperti tokoh dalam puisi: hidup untuk membuat sejarah. (*)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler