jpnn.com - ALIANSI Jurnalis Independen (AJI) menghelat resepsi ulang tahun ke 21 di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, Jumat (4/9). Meski baru dihelat kemarin malam, sebetulnya AJI lahir pada 7 Agustus 1994. Dan penting untuk diketahui, organisasi ini lahir dari perlawanan kaum wartawan.
-------
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
-------
BACA JUGA: Ini Dia Robinhood Pasar Senen, Lebih Tenar Ketimbang Bung Karno dan Hatta
AJI mendaulat Buya Syafii Maarif (80) untuk menyampaikan orasi kebudayaan pada acara puncak. Dalam pidatonya, Buya mengapresiasi konsistensi perlawanan AJI. “Tapi konsistensinya jangan musiman,” himbau Buya.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini memberi contoh keteguhan Muchtar Lubis, pemimpin redaksi Indonesia Raya. "Konsistensi Muchtar Lubis tidak musiman. Ia dipenjarakan di zaman Sukarno dan kembali masuk kerangkeng di zaman Suharto. Untuk hal-hal yang diyakininya tak benar, dia melawan,” tandas Buya.
BACA JUGA: Ondeh Mandeh, Orang Ini yang Mendirikan Koran Pertama Di Pulau Sumatera
Agaknya Buya paham, sejarah AJI adalah sejarah wartawan berlawan. Begini ceritanya...
Melawan Bredel
BACA JUGA: Daan Mogot Bukan Sekadar Nama Jalan, Inilah Pertempuran Terakhirnya
Majalah DeTIK, Editor dan Tempo dibredel pemerintah Orde Baru pada 21 Juni 1994. Ketiganya disikat gara-gara mengkritisi kebijakan pemerintah. Penindasan pun berbuah perlawanan.
Para wartawan Bandung yang tergabung dalam Forum Wartawan Independen (FOWI) marah! Pemerintah dinilai keterlaluan.
Mereka bergerak cepat. Kronologi pembredelan dikumpulkan. "Saya lay out. Jadilah buletin FOWI selembar folio bolak-balik,” kenang Ging Ginanjar, yang saat itu bekerja sebagai wartawan DeTIK biro Bandung.
Ging yang sekarang menetap di Belgia, datang ke Jakarta untuk menghadiri acara ulang tahun AJI, tadi malam. “Buletin yang difotokopi ratusan eksemplar itu diedarkan di sebuah acara kesenian di Bandung. Alhasil, para seniman dan mahasiswa menyatakan sikap menentang pembredelan,” katanya.
Enam hari kemudian, Jakarta bergolak. Sejumlah jurnalis dan berbagai elemen demokratik turun ke jalan. Massa berkumpul di Sarinah, Jl. Thamrin, Jakarta Pusat. Mereka longmarch menuju Istana Presiden. Sesampai di depan kantor Radio Republik Indonesia (RRI), massa dihajar oleh Pasukan Huru Hara (PHH) dari unsur TNI. Darah tumpah akibat aksi brutal aparat.
Tindakan represif ini memicu solidaritas perlawanan dari banyak kalangan di sejumlah kota. Puncaknya, terjadilah pertemuan di Wisma Sirnagalih, Puncak Bogor. Diikuti perwakilan dari Surabaya Press Club (SPC), Forum Wartawan Independen (FOWI) Bandung, Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta (FDWY), dan Solidaritas Jurnalis Independen (SJI) Jakarta, beserta individu-individu pers dan kolumnis.
Setelah melalui serangkaian perdebatan, hadirin bersepakat menandatangani Deklarasi Sirnagalih, 7 Agustus 1994. “Inti deklarasi ini menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya Aliansi Jurnalis Independen yang kemudian disingkat AJI,” tulis buku Semangat Sirnagalih.
Bawah Tanah
Untuk menghindari tekanan aparat keamanan, sistem manajemen dan pengorganisasian diselenggarakan secara tertutup; gerakan bawah tanah. Dan yang muncul hanyalah majalah yang diterbitkan AJI.
"Karena media massa hanya jadi kuda tunggang penguasa, maka untuk memberikan bacaan alternatif untuk rakyat, AJI menerbitkan majalah Independen. Ini senjata perlawanan kami," kata Santoso, Sekjen pertama AJI, yang hadir pada perayaan HUT AJI, tadi malam.
Kala itu Santoso wartawan majalah Forum Keadilan yang pemimpin redaksinya Karni Ilyas. Kini dia pimpinan KBR 68H.
Karena berita-berita yang diulasnya, pada Februari 1995 beredar desas-desus bahwa pemerintah melalui Menteri Penerangan Harmoko akan memotong sejumlah penerbitan alternatif. Majalah Independen dan AJI disebut-sebut sebagai sasaran tembak utama.
Rapat Polkam Februari 1995 yang bersifat tertutup juga membahas AJI dan Independen. Kabarnya, Menko Polkam telah mengeluarkan disposisi untuk “menertibkan” AJI.
Di tengah berbagai desas-desus itu, AJI menyelenggarakan acara halal-bihalal di Hotel Wisata International, Jakarta Pusat (kini Grand Indonesia) pada 16 Maret 1995, dua minggu setelah lebaran Idul Firti.
Acara yang dihadiri sejumlah tokoh, antara lain Iwan Fals dan WS Rendra ini digerebek aparat keamanan. Sri Bintang Pamungkas yang kala itu anggota DPR dari PPP teriak-teriak protes. Aparat bergeming. Tiga anggota AJI, Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang ditangkap. Pihak Polda Metro Jaya menyatakan bahwa mereka ditahan sehubungan dengan kasus penerbitan majalah Independen.
Tak berselang lama, Ketua PWI Jaya Tarman Azzam (Pemimpin redaksi Harian Terbit) didampingi sekretarisnya Marah Sakti (Pemimpin Redaksi Majalah Tiras) mengumumkan pemecatan 13 wartawan anggota PWI Jaya yang ikut menandatangani “Deklarasi Sirnagalih”.
Tarman Azzam menghimbau kepada para pemimpin redaksi media massa agar tidak mempekerjakan wartawan yang bukan anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), terutama wartawan yang dipecat oleh PWI tersebut. Bagi media massa yang tak mau mengindahkan himbauan tersebut akan dikenai sanksi.
Mendapat tekanan, AJI tetap berlawan. Konsistensi inilah yang menyebabkan AJI diterima secara resmi menjadi anggota International Federation Journalist (IFJ), organisasi jurnalis terbesar dan paling berpengaruh di dunia, yang bermarkas di Brussels, Belgia, pada 18 Oktober 1995.
Awal berdiri AJI hanya memiliki cabang di empat kota; Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Anggotanya kurang dari 200 jurnalis. “Kini, AJI telah mempunyai cabang di 36 kota, dengan jumlah anggota dua ribuan,” kata Ketua Umum AJI, Suwarjono dalam pidato pembuka malam resepsi ulang tahun AJI ke 21 tahun. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Beginilah Konfrensi Pers Pertama Bung Karno, Diselingi Jurus Uji Kaki
Redaktur : Tim Redaksi