Ammin Nullah Shamroze memiliki logat bahasa Inggris warga pedalaman yang sangat kental. Dia seorang penjaga masjid tua di Broken Hill, keturunan dari para Muslim penunggang unta yang sering terlupakan di Australia.
Pria yang biasa disapa Bob ini merupakan keturunan terakhir para pendatang Timur Tengah yang di abad ke-19 bekerja sebagai penunggang unta.
BACA JUGA: Cina Kukuhkan Tahan Penulis Australia Asal China Yang Hengjun
"Tanpa jasa penunggang unta, negara kita tidak akan seperti sekarang ini," ujar Bob kepada ABC.
Bob tumbuh dewasa di kota pedalaman Broken Hill. Ayahnya, Shamroze Khan, kemungkinan besar berasal dari Pakistan, tiba pada akhir 1800-an untuk membantu pendatang Inggris menjelajahi pedalaman benua ini.
BACA JUGA: Menhan Australia Dukung Peningkatan Armada Pertahanan Jepang
Kisah mereka kini dipamerkan di Museum Islam Australia di Melbourne, bertujuan untuk mengungkap peran umat Islam dalam membangun Australia. Photo: Ammin Nullah "Bob" Shamroze dan istrinya Janet. (Kiriman: Bob dan Indiana Shamroze )
BACA JUGA: Langkah Petenis Putri Indonesia Priska Nugroho Terhenti di Melbourne Park
Direktur pendidikan pada museum ini, Sherene Hassan, menjelaskan pameran dimaksudkan sebagai upaya meluruskan sejarah.
"Sangat bermakna bila masyarakat luas memahami kontribusi umat Islam ke Australia selama berabad-abad," katanya kepada ABC.
Pameran bertajuk Mekah ke Marree menggunakan teknologi realitas virtual 3 dimensi, mengajak pengunjung menyusuri perjalanan Islam dari Mekah hingga ke masjid pertama Australia, yang dibangun para penunggang unta di Marree, Australia Selatan, tahun 1885.
Menurut Sherene Hassan, kereta api Adelaide ke Darwin, The Ghan yang dinamai dari penunggang unta Afghanistan, terkesan menyesatkan. Sebab, para penunggang unta itu bukan hanya dari Afghanistan.
"Mereka berasal dari berbagai negara, bukan hanya Afghanistan, tetapi juga Pakistan, Mesir, Suriah, dan Turki," jelasnya.
Penulis Hanifa Deen, yang bukunya Ali Abdul v The King menceritakan kisah ini, mengatakan mereka datang untuk bekerja dan berpetualang.
"Tiga penunggang unta Afghanistan mendarat dengan 20 ekor unta, bergabung dengan ekspedisi Burke dan Wills pada tahun 1860," jelas Deen.
"Inggris menyadari betapa gersangnya padang pasir Australia dan berpikir unta bisa mengatasinya, dan kita membutuhkan orang yang tahu menangani unta," tambahnya. Photo: Unta menjadi alat transportasi yang bisa diandalkan di pedalaman Australia pada abad ke-19. (Kiriman: Indiana Shamroze )
Berbeda dengan pendatang China, para penunggung unta itu tak diizinkan menambang emas atau membawa istri mereka ke Australia.
Mereka umumnya hanya tinggal beberapa tahun, dan fokus sebagai pekerja transportasi di wilayah pedalaman yang keras.
Menurut Deen, para penunggang unta yang kembali ke tanah air mereka secara tidak langsung kemudian merekrut orang lain.
"Mereka bercerita tentang orang kulit putih dengan mata biru yang aneh atau kisah semacam itu," katanya.
"Bagi mereka yang ingin berpetualang dan menghasilkan uang, Australia adalah tempat yang tepat untuk itu," tuturnya.Sejarah yang tak tersingkap
Menurut pengakuan Bob Shamroze, riwayat Muslim di kedua sisi keluarganya nyaris tak pernah dibahas. Ibu Bob juga keturunan penunggang unta.
"Tidak ada yang pernah membicarakannya," katanya. "Kami tak pernah bertanya."
Dia mengaku tak mengenal keluarga dari pihak ayahnya. "Kami tidak tahu dia naik kapal apa atau tanggal berapa dia datang ke sini," ujarnya.
Menurut Deen, hal ini juga bagian dari semacam penuturan selektif tentang sejarah Australia.
"Ini sejarah yang tak terlihat. Kita selalu fokus dengan sejarah orang kulit putih," katanya.
Baru sekitar satu dekade terakhir, katanya, sejarah masyarakat adat mulai muncul karena mereka semakin giat menuntut agar dipandang sebagai bagian dari sejarah Australia.
"Sebagian besar penunggang unta pulang kembali ke negara asalnya. Atau mereka terlupakan," katanya. Photo: Masjid pertama Australia di daerah Marree, Australia Selatan, dari sekitar tahun 1884. (Kiriman: State Library of South Australia)
Meski tinggal sedikit yang menjalankan agamanya, namun sebagai keturunan Muslim, Bob Shamroze mengaku masih mengikuti tradisi penguburan sesuai ajaran Islam.
Ketika berusia 17 tahun, Bob belajar tata-cara menguburan dari pamannya, ketika kakek dari pihak ibunya meninggal dunia.
"Kami ke masjid dan harus memandikan jenazah kakek. Dia menunjukkan bagaimana caranya," kata Bob.
"Saya melakukan hal yang sama untuk jenazah kakakku," katanya.
Simak berita ini dalam Bahasa Inggris di sini.
Ikuti juga berita lainnya dari ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Soal Abu Bakar Baasyir, Jokowi Terjebak di Antara Dua Karang