Glorifi Fatima Merciana, atau yang akrab dipanggil Cici, telah lulus dengan gelar Master dari University of Sydney.

Selama masa studinya, Cici yang tinggal di Kupang, Nusa Tenggara Timur belum pernah menginjakkan kaki sekali pun di Australia.

BACA JUGA: Sebagian Biaya Rumah Sakit Pasien COVID-19 Ditanggung Pemerintah, Bagaimana Dengan yang Tidak?

Ia hanya mengikuti kuliah dan kegiatan belajarnya secara daring.

Cici menyebutkan beberapa tantangan yang ia hadapi selama kuliah dari rumah, mulai dari gangguan koneksi internet hingga perbedaan waktu 2 jam antara Australia dan Kupang.

BACA JUGA: ABC Sedang Menyelidiki Praktik Ketidakadilan di Tempat Kerja Australia dan Ingin Mendengar Cerita Anda

Pada awal April 2021, badai Siklon Tropis Seroja melanda NTT yang menyebabkan aliran listrik padam di Kupang selama empat hari.

Saat kejadian, Cici mengatakan ia sedang berusaha untuk menyelesaikan salah satu tugas menulis sebagai bagian dari ujian tengah semester.

BACA JUGA: ABBA Luncurkan Album Baru setelah 40 Tahun

Namun ia mengaku ketimbang menjadi "stress" memikirkan sesuatu yang ia tidak bisa kendalikan, Cici memilih untuk melanjutkan apa yang sedang dijalaninya.

"Beberapa hari aku enggak ikut kuliah sambil cari tempat tinggal teman yang memang listriknya sudah nyala duluan," ujarnya.

"[Lalu] buru-buru cari koneksi supaya bisa email dosen untuk minta extension [perpanjang waktu] ... supaya bisa mundur waktu pengumpulan esainya," ujar Cici.

Cici adalah penerima beasiswa dari LPDP untuk melanjutkan studi S2-nya di bidang Teaching English for Speaker of Other Languages (TESOL) di Univesity of Sydney, pada Agustus 2020.

Meski ada pilihan untuk dialokasikan ke universitas lain, Cici memilih untuk tidak pindah ke universitas lain karena ia tetap ingin berangkat ke Australia.

Ia sempat optimis bisa berangkat ke Australia di bulan November 2020, karena melihat penanganan COVID-19 di Australia yang menurutnya lebih bagus dibandingkan negara lain.

Namun hingga selesai kuliah ia tidak bisa berangkat karena perbatasan internasional Australia yang masih ditutup hingga sekarang. Berupaya untuk segera mendapat ijazah

Setelah lulus, Cici memilih mengikuti 'graduate in absentia', agar bisa mendapatkan ijazah dengan segera.

Graduate in absentia merupakan sebuah opsi yang diberikan oleh pihak universitas, termasuk University of Sydney, untuk mahasiswa dari luar Australia agar dapat menerima ijazah tanpa harus menghadiri wisuda di kampus.

"Nah kalau misalnya menunggu ijazahku dateng sampai November kan lumayan lama, jadi aku enggak ikut wisudanya supaya ijazahnya bisa secepatnya dikirim."

Saat ini, Cici masih menunggu kedatangan ijazahnya untuk bisa melamar kerja di Kupang.

Ia mengaku merasa khawatir jika pihak perusahaan nantinya  mempertanyakan statusnya sebagai lulusan luar negeri tapi melakukan kuliah secara daring dari Indonesia.

"Takutnya orang yang membuka lapangan kerja tidak memberikan kesempatan bagi anak-anak yang lulusan kuliah online," kata Cici.

Tapi ia tetap optimis bisa membuktikan kualitasnya sebagai lulusan perguruan tinggi di luar negeri. 

"[Tergantung] bagaimana kita menunjukkan kalau [kita] memang punya kemampuan [dan] kualitas yang setidaknya bisa disamakan dengan teman-teman yang kuliah on campus." Tetap memiliki nilai tambah meski kuliah daring

Prasetya Dewanta, panggilannya Rasta, adalah lulusan Masters in Business Management dari Queensland University of Technology (QUT) yang juga menyelesaikan studinya secara daring.

Rasta sempat merasakan kuliah di Brisbane selama dua tahun, sebelum kembali ke Indonesia di bulan Oktober 2020.

"Waktu itu alasan utama mau nikah, kedua memang ada kerjaan yang harus di kerjakan di sini [Indonesia]."

Ia sudah menerima ijazah dan surat keterangan lulus dari QUT, tapi masih belum mengetahui kapan ia bisa berangkat ke Australia untuk wisuda.

Meski menjalani kuliah daring, Rasta mengaku tetap harus membayar biaya per semester yang sama dengan kuliah 'on campus'.

Tapi ia mengatakan tidak keberatan karena sudah mengetahui risikonya sebagai mahasiswa internasional Australia di saat pandemi COVID-19.

"Kita dari awal juga sudah tahu bahwa setiap semester kita harus membayar segitu, dan keputusan balik ke Indonesia juga keputusan dari kita [sendiri]," kata Rasta.

Rasta mengaku cukup percaya diri untuk melamar pekerjaan di Indonesia dengan status lulusan luar negeri meski sebagian banyak kuliahnya dilakukan di Indonesia.

Menurutnya aktif terlibat dalam sejumlah organisasi di Australia menjadi salah satu nilai jualnya.

"Ya [aku] percaya diri, karena aku pegang beberapa added value yang bisa aku tawarkan, enggak hanya kuliah doang yang berujung online."

"Tapi aku ada pengalaman yang memang enggak semua orang bisa dapat."

Selama masa kuliahnya, Rasta pernah menjabat sebagai Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia QUT (ISAQ) serta bagian dari General Committee Australian-Indonesia Youth Association (AIYA) cabang Queensland.

Rasta mengaku ia sebenarnya masih ingin bisa merasakan suasana wisuda di Australia, karenanya ia berharap bisa ke Australia bulan Desember mendatang meski kemungkinannya kecil karena perbatasan yang masih ditutup. 

"Kemungkinan besar tahun depan, Juni ya, kalau buka," ujarnya.

Sejumlah mahasiswa asal Tiongkok juga menyelesaikan studi mereka di perguruan tinggi di Australia dari negara asalnya.

Lebih dari 100 ribu pelajar asal Tiongkok tidak bisa kembali ke Australia, karena bulan Februari lalu Pemerintah Australia telah melarang kedatangan warga dari Tiongkok.

Hal ini menjadi pukulan besar bagi sektor pendidikan tinggi di Australia, yang sangat bergantung pada mahasiswa internasional asal Tiongkok.

Sekitar puluhan mahasiswa internasional, termasuk dari Indonesia sudah berada di Australia melalui uji coba program yang dilakukan di Darwin akhir tahun 2020.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pesawat Terakhir Pasukan AS Tinggalkan Kabul, Taliban Nyatakan Kemerdekaan Afghanistan

Berita Terkait