Sekali Tebas di Leher Darah Mengucur, Parang Diacungkan

Senin, 30 April 2018 – 00:45 WIB
Mantunu Tedong, rangkaian adat pemakaman jenazah di Toraja, di Tongkonan Sangtorayan, Kilometer 9, Jalan Soekarno-Hatta Kukar, Kaltim. Foto: SAIPUL ANWAR/KALTIM POST

jpnn.com - Penyembelihan kerbau dengan sekali tebasan di leher, menjadi tontotan favorit masyarakat dalam rangkaian upacara Rambu Solo’.

Rambu Solo’ merupakan upacara adat pemakaman jenazah pada masyarakat Toraja, yang sudah terkenal hingga luar negeri. Kali ini dalam rangka pemakaman mendiang Luther Kombong, di Jalan Soekarno-Hatta, Loa Janan, Kutai Kartanegara (Kukar), Kaltim.

BACA JUGA: Dipotong dalam Satu Kali Tebasan Leher, Biaya Miliaran

IBRAHIM, Loa Janan

SORAK-sorai terdengar menyertai aba-aba dimulainya proses Mantunu Tedong, atau perngurbanan kerbau. Seribuan orang seketika memadati lapangan. Kerbau yang bakal dikurbankan perlahan ditarik menuju tempat penyembelihan di tengah lapangan.

BACA JUGA: Luncurkan Toraja Marathon 2017, Menpar Berbagi Jurus Pengembangan Sport Tourism

Seorang patinggoro (jagal) dengan tenang mengeluarkan sebilah la’bo’ (parang) dan langsung menebas leher kerbau. Hanya hitungan detik, darah mengucur deras dari leher kerbau.

Seketika kerbau jatuh ke tanah. Parang yang sangat tajam milik patinggoro mampu melumpuhkan kerbau dalam satu kali tebasan.

BACA JUGA: Film Tentang Tana Toraja Dilirik Aktor Luar Negeri

Patinggoro lantas mengangkat parang mengarah ke langit. Sorakan kembali bergema. Proses penyembelihan kerbau begitu cepat dan tak banyak cingcong. Warga yang hadir tak lupa mengabadikan momen langka itu dengan smartphone.

Luther Lappa, panitia Rambu Solo’ mendiang Luther Kombong, mengatakan hingga memasuki hari keempat, total kerbau yang dipotong keluarga sebanyak enam. Tidak semua kerbau dalam Rambu Solo’ kali ini dikorbankan.

Beberapa kerbau disumbangkan ke gereja, termasuk yang paling mahal harganya. “Termasuk kerbau saleko. Diserahkan keluarga mendiang Luther Kombong ke Gereja Toraja,” tutur Luther Lappa.

Kerbau saleko yang diserahkan ke gereja itu disebut jenis paling cantik dengan belang putih dan hitam disertai bintik-bintik hitam di sekujur tubuh kerbau. Kerbau saleko yang diserahkan ke gereja itu dikatakan paling mahal.

Didatangkan langsung dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Harganya mencapai Rp 250 juta. “Pemanfaatannya diserahkan kepada gereja. Mau dijual lagi juga boleh, uangnya bisa dipakai untuk keperluan gereja,” tambahnya.

Mantunu Tedong telah lazim dilakukan dalam prosesi kematian orang Toraja, khususnya dalam upacara Rambu Solo’. Tujuannya sebagai bentuk penghormatan kepada kerabat yang meninggal sekaligus wujud kasih sayang. Selain menjadi sarana mempererat tali persaudaraan antar-keluarga.

Dulu sebelum masyarakat Toraja memeluk agama, baik Protestan maupun Kristen, masih memilih aliran kepercayaan Aluk Todolo, Mantunu Tedong dimaknai sebagai persembahan agar mendiang sampai puya (surga bagi kepercayaan Aluk Todolo). Namun, setelah masyarakat Toraja mayoritas telah memeluk agama, Mantunu Tedong berubah maknanya.

“Mantunu Tedong dimaknai sebagai penyembahan terhadap berhala, itu sangat keliru. Kami tokoh adat bukan memaknai untuk itu, tapi untuk menyambut dan menghormati tamu,” ucap Koordinator Acara Adat Rambu Solo’ Daniel Pati Batukada.

Di halaman Tongkonan Sangtorayan, Kilometer 9, Jalan Soekarno-Hatta, Loa Janan, Kutai Kartanegara, di bawah terik matahari, Daniel memaparkan panjang lebar seputar upacara kematian Rambu Solo’ yang kerap mengundang kontroversial. Dia berusaha meluruskan pelbagai tafsir yang selama ini dianggap keliru.

Dia jelaskan, upacara kematian Rambu Solo’ jika dimaknai sebagai penyembahan berhala sangatlah keliru. Para tokoh adat yang memandu dan memimpin upacara merupakan orang-orang yang menganut agama Kristen.

Dibaptis dan mengikuti jalan Yesus Kristus. Rambu Solo’ yang digelar meski dalam bingkai adat namun tetap menjalankannya sesuai tuntunan Kristen.

Misal, lanjut dia, kidung-kidung yang dinyanyikan selama upacara merupakan pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artefak yang dimunculkan di sekitar kompleks Tongkonan Sangtorayan sebagai simbol mengingat kebesaran almarhum Luther Kombong. Balutan kain merah dan hitam sebagai simbol kemuliaan dan kegelapan.

Kemudian, tanaman pohon ijuk di depan tongkonan sebagai perwujudan kekukuhan. Ijuk sebagai tanaman semua bagiannya memberikan manfaat. Persis seperti sosok mendiang Luther Kombong yang selama hidupnya memberikan banyak manfaat kepada masyarakat, khususnya di Kaltim.

Meluruskan makna itu dikatakannya penting, supaya tidak ada interpretasi penyembahan berhala. Rambu Solo’ digelar untuk melestarikan nilai luhur dan adat istiadat masyarakat Toraja, menjaga kearifan lokal, menjaga kebersamaan, mewujudkan nilai sosial, dan solidaritas.

Jadi, masyarakat Toraja terutama di tanah perantauan tidak memikirkan dirinya sendiri. Tapi juga orang lain. “Ritual ini dipertahankan, tapi diterjemahkan ulang dalam konteks Kristen. Roh adat ini adalah agama. Agamanya itu Kristen,” paparnya.

Penjelasan panjang lebar koordinator acara adat itu mengakhiri rangkaian Mantunu Tedong hari ketiga Rambu Solo’ mendiang Luther Kombong. Daging kerbau yang telah dicincang kemudian dibagikan kepada para tamu yang menyumbang kerbau.

Salah satu yang mendapat bagian adalah Isran Noor. Mantan bupati Kutai Timur itu menyumbang tiga kerbau, oleh keluarga diberikan daging kerbau sebagai ucapan terima kasih dan penghormatan. (rom/k8)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menhub: Nanti Kami Akan Selesaikan


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler