Sekilas Tentang Glodok, Kawasan Favorit Daendels

Senin, 09 Oktober 2017 – 21:04 WIB
Ilustrasi Pasar Glodok. Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Keberadaan kawasan Pasar Glodok, Jakarta, tak lepas dari masyarakat Tionghoa.

Sejak pemerintahan Hindia Belanda, kawasan Pasar Glodok merupakan permukiman masyarakat Tionghoa yang diasingkan pada masa pemberontakan.

BACA JUGA: Glodok Makin Sepi, Sewa Kios Rp 3 Juta Per Bulan

Di sejumlah titik pemusatan penduduk Tionghoa, penjajah mengizinkan mereka untuk mendirikan pusat perdagangan.

Setelah itu, terbentuklah sejumlah pasar di Jakarta seperti Pasar Senen, Pasar Tanah Abang, termasuk Pasar Glodok.

BACA JUGA: Pasar Glodok Nasibmu Kini, Hidup Segan Mati Enggan

”Pasar Glodok terbentuk karena ada konsentrasi penduduk Tionghoa di sana sekitar 1740-an. Secara sosiologis, masyarakat Tionghoa sejak awal adalah bakat-bakat pedagang sehingga waktu itu mereka diperbolehkan melakukan perdagangan oleh pihak penjajah,” ujar sejarawan sekaligus founder Komunitas Historia Indonesia Asep Kambali sebagaimana dilansir Jawa Pos, Senin (9/10).

Seiring perkembangan Kota Batavia, di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon (JP) Coen, peradaban masyarakat Tionghoa di Glodok semakin maju.

BACA JUGA: Beginilah Penampakan Lokasi Dugem Tempat Indra Piliang Nyabu

Glodok menjadi perkampungan ramai dan pusat perdagangan daerah pinggiran.

Sebagai kawasan pusat perdagangan, daya tarik Glodok mengundang banyak perhatian warga sekitar untuk datang ke kawasan tersebut.

Hingga JP Coen lengser pada 1811 dan digantikan Gubenur Jenderal VOC yang baru, Daendels, kawasan Glodok tetap maju.

Ketertarikan Daendels terhadap Glodok dibuktikan dengan dibangunnya jalan dari kota lama menuju kota baru di kawasan Gambir.

Jalan itu melintas kawasan Glodok. Kini, jalan itu dikenal dengan nama Jalan Gajah Mada.

”Semula, Pasar Glodok hanya diramaikan pedagang kelontong biasa. Namun, secara perlahan, pedagang tekstil dan elektronik ikut mendominasi di sana,” ungkap Asep.

Bangunan Pasar Glodok yang kini berdiri merupakan pembangunan kedua setelah bangunan pertama hangus dibakar saat masa kerusuhan 1998.

Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Glodok Muhammad Ridwan merupakan salah satu pedagang yang merasakan sendiri transisi pasar sebelum hingga sesudah konflik.

”Saya sudah berjualan selama 37 tahun di Pasar Glodok. Ketika kejadian itu (kerusuhan), saya sedang berjualan. Sekelompok orang datang sambil berteriak-teriak, lantas menjarah semua barang di pasar kemudian membakarnya,” kenangnya.

Saat itu, Ridwan memilih meninggalkan kiosnya untuk menyelamatkan diri bersama pedagang lain.

Sebuah mobil pickup dan beras dua ton yang baru dibeli untuk kebutuhan dagang ditinggalkan begitu saja.

”Habis saya waktu itu. Sampai akhirnya pasar mau dibangun lagi, saya harus jual beberapa lapak di tempat lain untuk memulai jualan di Pasar Glodok,” jelas Ridwan.

Menurut Ridwan, setelah pasar dibangun kembali pascakonflik, aktivitas perdagangan tak bisa sejaya dulu.

Meskipun sempat ramai, tetap tak sesemarak sebelum masa konflik.

”Apalagi setelah tahun 2000, saingan sudah semakin banyak. Tambah tahun, pengunjung makin sepi,” ungkapnya. (agf/c21/sof)


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler