Sekolah Lima Hari Menuai Kontroversi, Bagaimana Menurut Anda?

Sabtu, 10 Juni 2017 – 00:05 WIB
LIMA HARI - Sistem sekolah lima hari dalam sepekan dinilai belum cocok diterapkan di Kabupaten Pekalongan. Foto: Muhammad Hadiyan/Radar Pekalongan/JPNN.com

jpnn.com - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sedang merumuskan aturan yang menjadi dasar pemberlakuan sekolah lima hari, Senin sampai Jumat, pulang sore hari.

Sistem sekolah lima hari dalam sepekan itu mulai berlaku pada tahun ajaran 2017-2018. Apa tanggapan masyarakat?

BACA JUGA: Ini Pertimbangan Mendikbud Terapkan Sekolah hanya Senin sampai Jumat

M Hadiyan, Kajen

Kebijakan tersebut sontak memicu berbagai tanggapan dari beberapa kalangan pendidik di Kabupaten Pekalongan, Jateng.

BACA JUGA: Pulang Sekolah Pukul 16.00 Sore Berlaku Nasional

Kepala Sekolah SMP 1 Kesesi, Kabupaten Pekalongan, Bangkit Riyowanto menilai, kebijakan ini belum pas apabila diterapkan di daerahnya.

Sebab, hal itu akan bertentangan dengan kultur pendidikan informal dan keagamaan di luar sekolah, serta kondisi geografis di sekolah-sekolah terpencil.

BACA JUGA: Resmikan SMA TN Nala, Jokowi Bicara Bonus Demografi

"Kalau KBM lima hari kerja, Senin sampai Jumat, maka para siswa dan guru akan belajar dari pagi sampai sore hari. Hal ini menyulitkan para siswa yang rumahnya berada di dataran tinggi. Mereka akan sulit dalam akses transportasi yang sebagian besar masih menggunakan angkutan umum," ungkapnya.

Selain itu, lanjut dia, penerapan lima hari kerja ini juga mengakibatkan peningkatan pengeluaran orang tua untuk uang saku anaknya.

Sebab, kebutuhan asupan dari pagi sampai sore hari tentu membutuhkan tambahan biaya.

"Kalau warga yang kurang mampu, kasihan. Yang tadinya siang bisa pulang terus makan di rumah, sekarang makan siang di sekolah," kata dia.

Di sisi lain, menurutnya, kebijakan ini juga akan berbenturan dengan pendidikan moral dan keagamaan di luar sekolah atau di kampung-kampung.

"Kultur kita kan, setelah pulang, sorenya anak-anak berangkat ke TPQ (Taman Pendidikan Quran) atau madrasah dinniyah. Sehingga, pendidikan moral di luar sekolah akan berkurang," ujar Bangkit.

Ia menuturkan, pembelajaran dari pagi sampai sore hari juga dinilai tidak efektif lantaran pengaruh stamina para siswa.

"Kalau sudah siang, mereka sudah loyo. Pembelajaran jadi tidak efektif. Takutnya ini juga akan mempengaruhi perkembangan mental para siswa ketika tumbuh dewasa. Tidak hanya para siswa, dengan jam kerja seperti ini, kondisi fisik guru juga menurun," tambahnya.

Saat ini saja, kata dia, para guru apabila ada jam tambahan baru bisa pulang jam 15.00 WIB. Jika kebijakan ini diterapkan, maka jam bertemu keluarga akan berkurang setiap harinya.

Hal sama juga diungkapkan Kepala Sekolah SMP Negeri 3 Tirto, Nariko Candra K, kemarin (9/9). Menurutnya, libur Sabtu-Minggu tidak mempengaruhi pertemuan anak dengan keluarga.

Sebab, rata-rata wali murid di daerahnya berprofesi sebagai buruh batik dan konveksi yang liburnya adalah Hari Jumat.

"Selain itu, hal ini juga mengganggu pendidikan keagamaan di luar sekolah seperti TPQ dan Madrasah Dinniyah. Meski demikian, kalau memang aturannya seperti itu, kami pendidik tetap akan melaksanakannya," tandasnya. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menunggu Aturan Guru Wajib Mengajar 8 Jam


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler