Selalu Ingat Cerita Komjen Pol Anang Iskandar

Kamis, 12 Juni 2014 – 09:00 WIB
Ono Cahyono. Foto: Guslan Gumilang/Jawa Pos

jpnn.com - YANG tak mengenalnya bakal mengiranya sebagai polisi. Sebab, laki-laki itu sering terlihat di Polrestabes Surabaya. Entah itu di ruang piket satreskrim, satreskoba, maupun satintelkam.

Tidak hanya pagi atau siang, tapi juga malam. Laki-laki tersebut juga kerap tampak di gedung utama markas kepolisian di Jalan Sikatan, Surabaya, itu. Sudah begitu, dandanannya cukup rapi. Rambut pendek, baju dimasukkan, bersabuk, dan mengenakan celana cokelat seragam polisi.

BACA JUGA: Raeni, Wisudawan IPK 3,96 Bangga Diantar Ayahnya dengan Becak

Ono Cahyono –laki-laki tersebut– memang menjadi ”bagian” Polrestabes Surabaya. Tapi, laki-laki 42 tahun itu bukanlah polisi. ”Saya ini bagian pijat-memijat. Bagian urut,” ungkapnya lantas tertawa ringan.

Karena urusannya pijat-memijat, dia akrab disapa Geno. Nama panggilan itu merupakan akronim nggenahna urat (membetulkan urat).

BACA JUGA: Jadi Pegawai Negeri karena Menuruti Orang Tua

Tentu saja yang dipijat adalah para personel Polrestabes Surabaya. Tidak hanya para anggota berpangkat brigadir, namun juga para perwiranya. Tidak terkecuali pucuk pimpinannya, Kapolrestabes Surabaya. Sudah puluhan pucuk pimpinan di korps Bhayangkara itu yang mendapat ”sentuhan” tangan laki-laki asli Bojonegoro tersebut.

Sebab, Geno bukan satu dua tahun memijat di Polrestabes Surabaya. Pekerjaan itu dilakoninya sejak 18 tahun silam. Tepatnya, sejak 1996 atau ketika Polrestabes Surabaya masih bernama Polwiltabes Surabaya.

BACA JUGA: Dokter Penyakit Paru Tutup Praktik karena Tak Ada Pasien

”Saya memijat di sini mulai zaman Kolonel Dewa Astika dan kini harus bertemu menantunya, Pak Farman,” katanya. Farman yang disebut Geno adalah AKBP Farman, Kasatreskrim Polrestabes Surabaya yang baru saja diganti. Jika dihitung sejak masa kepemimpinan Kolonel Dewa Astika, kursi tertinggi di Polrestabes Surabaya sudah diduduki 16 perwira dengan tiga melati di pundaknya.

Tidak sedikit yang sudah pensiun. Tidak sedikit pula yang kini menempati posisi penting di institusi kepolisian.

Di antaranya, Kapolri Jenderal Sutarman, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Anang Iskandar, dan Kadivhumas Mabes Polri Irjen Pol Ronny F. Sompie. ”Kalau Pak Sutarman tidak pernah (dipijat, Red), tapi kalau Pak Anang sering. Berapa kali? Tidak terhitung,” ujarnya.

Selain nama-nama itu, nama-nama lain tidak luput dari jasa Geno. Sebut saja Kombespol Coki Manurung dan Kapolrestabes Surabaya saat ini Kombespol Setija Junianta. Seingat bapak tiga anak tersebut, dua nama itu sudah puluhan kali dipijatnya. ”Sering kali pijatnya malam setelah beliau selesai melaksanakan tugas,” jelasnya.

Namanya juga pijat, tentu saja tidak hanya bahu atau punggung. Tapi, juga kaki, tungkai, dan tidak jarang kepala. Nah, bicara soal pemijatan di wilayah kepala ini tentu menjadi hal yang tidak mudah. Rasa kikuk dan sungkan bisa saja menyergap. Sebab, sering kali bagi kebanyakan orang atau bahkan anggota kepolisian, sekadar untuk berbicara dengan Kapolrestabes saja mereka sungkan. Apalagi harus memegang tubuhnya. Lebih-lebih bagian kepala.

Geno pun merasakan kikuk tersebut. Sebab, yang dipijatnya adalah pimpinan polisi. Orang penting dan dihormati sekaligus disegani banyak orang. ”Tapi, karena pekerjaan saya memijat, ya saya akhirnya terbiasa. Yang terpenting, sebelum memijat bagian kepala, saya meminta izin dulu. Kalau diperkenankan ya saya pijat, kalau tidak berkenan ya tidak saya pijat,” ungkapnya.

Selama ini Geno tidak pernah bermasalah soal itu. Setiap pimpinan polisi yang dipijatnya merasa nyaman kalau harus dipijat bagian kepalanya. Rasa nyaman tersebut setidaknya tergambar dari upah yang diterimanya. Geno memang tidak mau menyebut angkanya. Namun, dia mengaku cukup besar. Padahal, dia tidak pernah mematok harga.

Rasa nyaman itu juga ditangkapnya dari masih dipercaya dirinya memijat pada waktu-waktu berikutnya. Bahkan, sering kali Geno dipanggil untuk memijat saat larut malam. Tidak jarang pula, dia diminta memijat relasi sang Kapolrestabes atau Kapolwiltabes. Karena itu, Geno semakin nyaman pula memijat para pimpinan kepolisian Surabaya tersebut.

Menurut Geno, kenyamanan itu bukan saja karena faktor upah. Pria yang kini beralamat di Mojokerto tersebut tidak memungkiri bahwa dirinya bekerja untuk mengais pundi-pundi rupiah. Tapi, dia juga merasakan sebuah kebanggaan karena bisa membantu pemangku jabatan tertinggi di kepolisian Kota Pahlawan terbebas dari rasa capai yang menyergap tubuhnya.

”Yang menyenangkan lagi, saya sering mendapat pelajaran berharga dari cerita-cerita yang beliau-beliau ungkapkan saat saya pijat,” katanya.

Ada banyak cerita yang masuk ke telinga Geno, tapi ada satu kisah yang begitu diingatnya. Cerita itu meluncur dari penuturan Anang Iskandar yang menjabat Kapolwiltabes Surabaya periode 2006–2008. Dalam beberapa kesempatan saat dipijat, Anang kerap membagi pengalaman hidupnya.

Kepada Geno, pria yang kini menyandang tiga bintang di pundaknya itu menerangkan bahwa dirinya berasal dari keluarga seorang tukang cukur rambut di Mojokerto. Tapi, berkat keuletan orang tua dan semangatnya untuk maju, Anang akhirnya bisa sampai posisi Kapolwiltabes Surabaya. Cerita itu pun dibungkus rapi dalam ingatan Geno.

”Cerita itu pula yang memotivasi saya untuk bisa terus menyekolahkan anak setinggi-tingginya,” sebut Geno yang hanya tamat SD.

Karena cerita Anang tersebut, Geno selalu berupaya menyisihkan uang untuk ditabung agar bisa dimanfaatkan sebagai biaya sekolah anak-anaknya.

Kini Geno mulai mewujudkan mimpinya itu. Anak pertamanya saat ini belajar di Pelayaran Universitas Hang Tuah Surabaya dan duduk di semester dua. Anak keduanya diterima di program akselerasi SMP di Pondok Pesantren Amanatul Ummah, Pacet, Mojokerto. Sayangnya, Geno tidak mau nama anaknya disebutkan.

”Tidak perlu disebut nama mereka. Yang terpenting, mereka harus terus belajar agar nanti menjadi orang,” harap Geno. Menjadi orang dalam bahasa Jawa berarti orang yang memiliki pekerjaan mapan.

Perjalanan Geno sendiri sampai ke Polwiltabes Surabaya bermula saat dirinya merantau ke Surabaya awal 90-an. Dia kemudian diterima bekerja di toko sandal di Pasar Turi. Karena merasa gajinya pas-pasan, setiap sore dia berkeliling untuk menawarkan jasa pijat. Kebetulan, Geno mendapat ilmu pijat dari sang ibu.

Tempat yang menjadi sasaran kelilingnya adalah Polwiltabes Surabaya. Awalnya hanya satu-dua yang menerima tawarannya.

Lambat laun akhirnya banyak yang kepincut untuk dipijat. Bahkan, dia diminta menemani para anggota yang piket berjaga sambil memijat. Mulai piket penjagaan, reskrim, hingga intel. Pada 1996 Geno diminta menjadi petugas kebersihan di ruang intel.

”Saya menerima tawaran itu agar semakin dekat dengan pelanggan pijat,” jelasnya. Geno pun keluar dari tempat kerjanya di Pasar Turi. Selama dua tahun dia menjadi tukang kebersihan sembari bekerja memijat.

”Setelah itu saya memilih menjadi tukang pijat saja. Apalagi, banyak orang-orang di satintelkam yang ganti,” paparnya.

Keputusan yang tidak keliru. Sebab, kini setiap pekan Geno bisa mengantongi penghasilan Rp 1 juta. ”Itu angka bersih yang saya bawa pulang ke Mojokerto setiap minggunya,” ujarnya. Di luar angka Rp 1 juta dimanfaatkan untuk biaya makan di Surabaya dan dikirim ke anaknya yang kuliah.

Bagi Geno dan para kliennya, dampak pijat memang bisa sangat luar biasa. (Miftakhul F.S./c7/dos)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketangguhan Fisiknya Jadi Role Model Paspampres


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler