jpnn.com - RAMBUTNYA sudah putih semua. Kulit wajahnya juga berhias keriput di sana-sini. Jalannya pun sudah tidak setegap atlet pada umumnya. Namun, begitu berada di arena atletik, keraguan semua orang akan kekuatan Maria Albertina Matulessy akan langsung sirna.
Misalnya, yang dilakukannya pagi itu (24/5) di lintasan atletik Stadion Madya, Senayan, Jakarta. Untuk sprint 100 meter, Tineke –panggilan Maria Albertina Matulessy– bisa berlari dengan catatan waktu di bawah 20 detik, waktu yang hebat bagi seorang lansia seperti dia.
BACA JUGA: Jadikan Matematika dan Pemrograman Asupan Harian
’’Ini saya lakukan rutin, minimal sekali sepekan,’’ ujarnya kepada Jawa Pos yang pagi itu melihat latihan Tineke dari pinggir lintasan.
Tineke saat ini tercatat sebagai atlet atletik master berprestasi tertua dalam sejarah Persatuan Atletik Master Indonesia (PAMI). Dia menjadi satu di antara delapan atlet Indonesia yang dikirim untuk mengikuti event World Master Athletic Championship (WMAC) XX di Porto Alegre, Brasil, Oktober tahun lalu.
BACA JUGA: Nyaris Bentrok dengan Komplotan Sindikat Perdagangan Manusia
WMAC adalah kejuaraan atletik dunia yang diikuti atlet-atlet berusia minimal 35 tahun dari berbagai negara dan terbagi dalam sejumlah kategori usia. Kejuaraan itu berlangsung setiap dua tahun sekali sejak 1975. Sebelum di Brasil, kejuaraan yang sama digelar di Sacramento, California, AS. Tahun depan WMAC dilangsungkan di Lyon, Prancis.
Dalam kejuaraan di Brasil itu, Tineke mampu meraih medali emas untuk nomor lompat jauh putri kelompok usia 80 tahun dengan lompatan sejauh 1,66 meter.
BACA JUGA: Aduh Kasiang, Torang Nda Ada Sudara di Jakarta
Di usia 83 kala itu, Tineke juga mencatatkan diri sebagai satu-satunya atlet master atau atlet lansia dari Indonesia yang meraih medali emas di kejuaraan dunia.
Tahun ini nenek sepuluh cucu dan delapan cicit tersebut siap menorehkan kembali tinta emasnya di arena atletik master. Paling tidak ada dua event besar yang siap menyambutnya. Yakni, Jakarta Open Master Athletics Championships (JOMAC) 2014 yang digelar 14–15 Juni dan Asia Master Athletics Championships di Kitakami, Jepang, September mendatang.
Saat masih muda, Tineke termasuk atlet andalan DKI Jakarta. Dia pernah tampil di lima ajang Pekan Olahraga Nasional (PON). Hebatnya lagi, dia mampu menguasai nomor-nomor lintasan sekaligus nomor-nomor lapangan. Di lintasan Tineke biasanya turun di nomor sprint 100 meter dan 200 meter. Sedangkan di lapangan dia tampil untuk nomor lompat jauh dan lompat jangkit.
Bagaimana dia masih bisa ”sangar” di lapangan di usianya yang begitu lanjut? Tineke mengungkapkan, kuncinya ada tiga. Yaitu, menjaga gaya hidup, pola makan, dan terus mengasah kekuatan otot-otot badan dengan berolahraga. Kunci ketiga itulah yang paling menonjol.
Berkat ketahanan dan kekuatannya sebagai atlet master di usia senja, sebulan yang lalu Tineke mendapat kehormatan diundang ke markas besar Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) di Tanah Abang II, Jakarta. Dia diminta untuk memberikan pencerahan kepada para anggota Paspampres bagaimana caranya bisa tetap kuat di usia sepuh itu.
’’Sebenarnya sederhana saja. Saya bisa seperti ini karena mungkin dulu sejak kecil biasa hidup keras. Itu semakin terlatih begitu masuk Akademi Pendidikan Djasmani (APD), lalu ditambah lagi setelah menjadi atlet,’’ ungkapnya.
Jadwal full olahraga selama sepekan menjadi rutinitasnya. Apalagi setelah dia mengakhiri masa pengabdiannya sebagai guru honorer selama setengah abad di SMA Santa Ursula Jakarta pada 2004. Selain rutin berlatih atletik dan senam, perempuan yang kali terakhir mendaki gunung pada usia 70 tahun itu juga menekuni renang.
Selain di lapangan atletik, waktunya banyak dihabiskan di kolam renang. ’’Saya sekarang menjadi guru les renang. Itu saya lakukan karena saya tidak mau bergantung pada anak-anak. Yang penting, dalam melakukan semua itu, saya selalu menyesuaikan dengan kemampuan sendiri, tidak berlebihan. Sehingga, tubuh saya tetap sehat dan terjaga,’’ ucapnya.
Mempertahankan niat untuk terus berlatih ketika usia sudah tua memang tidak mudah. Berkali-kali dia diingatkan oleh sesama mantan atlet atau rekan-rekan sebayanya agar tidak berolahraga layaknya seorang atlet. Tapi, Tineke seolah tidak peduli. Dia terus menjalani rutinitasnya itu.
Sepanjang berkiprah di arena atletik, tidak sekali pun Tineke mengalami cedera. ’’Paling hanya sakit biasa, misalnya flu atau diare,’’ ungkapnya.
Menurut Sekretaris Umum PAMI Merari Nainggolan, prestasi Tineke sebenarnya adalah kemampuan dirinya dalam me-maintenance kekuatan otot.
’’Tidak sedikit mantan atlet yang kondisi kesehatannya menurun di usia senja. Itu karena dia berhenti menggerakkan badan. Apa yang dilakukan ibu layak ditularkan kepada orang lain,’’ tandasnya.
Merari yang juga menantu sekaligus pelatih Tineke lalu memberikan gambaran bagaimana ketahanan tubuh mertuanya itu bisa terjaga hingga usia senja.
’’Yang diperlukan di sini hanya keberlanjutan. Olahraga itu tidak berhenti dengan sebatas medali, tapi bagaimana dia bisa mempertahankan kondisi terbaiknya. Itu yang paling berat,’’ imbuhnya.
Tineke termasuk atlet master golongan usia atas di PAMI. Dia juga menjadi atlet terbaik PAMI dalam satu dekade terakhir. Potret Tineke itu menginspirasi PB PASI selaku organisasi yang menaungi pembinaan atletik nasional untuk meneladaninya.
Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (Kabidbinpres) PASI Boedi Dharma Sidi meminta semua atlet, baik yang sekarang berada di pelatnas maupun yang ada di daerah-daerah, untuk meniru semangat hidup para mantan atlet, terutama dari Tineke. Diakui, saat ini banyak atlet yang sudah puas begitu mampu mendapatkan medali
’’Tapi, makin ke sini dia semakin menurun kondisi fisik dan prestasinya,’’ kata Boedi.
Salah satu buktinya, sekarang ini PASI mengalami krisis atlet potensial yang masih berusia di kisaran 20 tahun. Banyak atlet yang sekali muncul sebagai juara di satu event, kemudian tenggelam saat diturunkan di ajang lainnya.
Berkaca dari hasil SEA Games 2013 dan komposisi pelatnas Asian Games yang banyak didominasi atlet senior, kata Boedi, pelajaran dan inspirasi dari Tineke itu pantas dicontoh atlet-atlet muda.
Selama berkarir sebagai atlet, ratusan medali diraih Tineke. Bahkan, saat Jawa Pos datang ke kediamannya di kawasan Polatangan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dia sampai bingung mau mencari di mana saja medalinya disimpan. ’’Totalnya bisa sampai 300-an medali, bisa juga lebih,’’ tutur Tineke.
Sampai kapan Tineke akan memeras keringat di arena atletik dan menikmati sisa hari tua bersama cucu dan cicitnya sebagaimana lansia pada umumnya? Dia menjawab simpel.
’’Selama saya masih kuat berlari dan melompat, selama itu jugalah saya akan ada di arena atletik,’’ tegasnya. (Narendra Prasetya/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sejak Bayi, Pendidikan Warga Dijamin Negara
Redaktur : Tim Redaksi