jpnn.com, PNOM PENH - Keinginan Hun Sen terus menjadi perdana menteri (PM) di Kamboja, tampaknya, akan membuat rakyat Kamboja menderita. Kemarin dia menantang pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk menghentikan semua bantuan yang selama ini dialirkan ke negaranya.
Sikap tinggi hati itu muncul setelah AS menyatakan menghentikan bantuan perhelatan pemilu tahun depan. Keputusan tersebut adalah bentuk protes atas pembubaran partai oposisi Cambodia National Rescue Party (CNRP), Kamis (16/11).
BACA JUGA: Bu Guru Rusak, Siswa Belia pun Digasak
’’Hun Sen menegaskan bahwa penghentian bantuan AS tidak akan menjatuhkan pemerintah, tapi hanya akan merugikan sekelompok orang yang melayani kebijakan Amerika,’’ bunyi penggalan berita website pro pemerintah Kamboja, Fresh News, kemarin (19/11).
Tantangan politikus yang sudah memimpin Kamboja selama 32 tahun itu terlontar saat berpidato di depan para pakerja garmen. Tidak jelas siapa kelompok yang dimaksud Hun Sen.
BACA JUGA: Demokrasi Berbulu Domba dan Para Diktator Zaman Now
Kantor Kedutaan Besar AS di Phnom Penh belum bisa dimintai keterangan terkait dengan pernyataan Hun Sen tersebut. Bantuan AS ke Kamboja cukup besar.
Berdasar pengumuman pihak Kedutaan AS April lalu, kucuran dana untuk pemilihan kepala daerah tahun ini dan pemilu tahun depan di Kamboja dianggarkan mencapai USD 1,8 juta atau setara dengan Rp 24,3 miliar. Bantuan itulah yang pasti dihentikan.
BACA JUGA: MA Bubarkan Partai Oposisi, Hun Sen Makin Jemawa
Jumlah dana pendampingan lainnya belum diketahui secara pasti. Tapi, berdasar website Departemen Luar Negeri AS, bantuan untuk program kesehatan, manajemen pemerintahan, pendidikan, pertumbuhan ekonomi, dan pembersihan ranjau darat pada 2014 mencapai USD 77,6 juta atau Rp 1,04 triliun.
Sejauh ini, baru AS yang benar-benar memberikan sanksi atas tindakan otoriter Hun Sen. Negara-negara Barat lainnya masih terkesan tak ambil pusing.
Uni Eropa (UE) masih mempertimbangkan kemungkinan menghentikan kebijakan bebas tarif untuk produk garmen Kamboja yang masuk ke Eropa.
AS dan UE selama ini juga lebih mendahulukan menyerap produk garmen dari Kamboja ketimbang negara lain dan menyerap sekitar 60 persen hasil industri garmen Phnom Penh. (Reuters/sha/c19/any)
BACA ARTIKEL LAINNYA... AS Tak Percaya Militer Myanmar Bersih dari Darah Rohingya
Redaktur & Reporter : Adil