Semoga Bayu Tidak Amnesia dengan Kebijakannya Dulu

Selasa, 13 November 2018 – 20:30 WIB
Persediaan beras. Foto: Humas Kementan

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Serealia, Kementerian Pertanian (Kementan), Bambang Sugiharto menegaskan terkait data beras baru yang dirilis BPS berdasarkan hasil perhitungan menggunakan metode kerangka sampling area (KSA) bukanlah pijakan untuk dilakukan impor beras.

Data BPS tersebut menyebutkan produksi beras 2018 suplus, yakni 32,42 juta ton, Sementara luas baku sawah 2018 sebesar 7,1 juta hektar.

BACA JUGA: Laboratorium Karantina Pertanian Sudah Bertaraf Dunia

Karenanya, Bambang menilai pendapat Pendiri House of Rice, Bayu Krisnamurthi yang menyebutkan dengan adanya data baru BPS tersebut sejumlah kebijakan perberasan perlu dievaluasi sangat keliru.

Bayu sempat menyebut kebijakan perlu dievaluasi terkait keberadaan Satgas Pangan, tim penyerapan gabah, penerapan harga eceran tertinggi (HET) beras, serta pengadaan dan operasi pasar beras oleh Perum Bulog. Itu yang dianggap sangatlah keliru oleh Bambang.

BACA JUGA: Ini Capaian Kementan di Sektor Peternakan selama 4 Tahun

Menurut Bambang, pendapat itu sama dengan menginginkan pemerintah perlu mengambil tindak impor beras sehingga tidak memahami kondisi perberasan yang sebenarnya dan bisa menyengsarakan petani.4

“Bapak Yayok (red: Bayu Krisnamurti), dulu kan pernah menjabat Wakil Menteri Pertanian pada 2010-2011 dan Wakil Menteri Perdagangan pada 2011-2014. Selalu mengatakan teori hukum supply-demand dalam tata niaga pangan. Waktu itu dia juga sebagai salah satu yang memprakarsai perlunya impor di saat pasokan-stock kurang dan harga naik,”  kata Bambang di Jakarta, Selasa (13/11).

BACA JUGA: Digitalisasi Hortikultura Indonesia Menuju Industri 4.0

Bambang menambahkan di berbagai kesempatan Mantan Wakil Menteri Pertanian tersebut selalu mengklaim bahwa harga tinggi dipastikan akibat stock dan supply kurang.

Dulu pun mengungkapkan kebijakan impor beras Bulog tahun 2014 terpaksa dieksekusi karena 2 dari 3 indikator impor beras telah memancarkan lampu merah.

Indikator tersebut meliputi angka ramalan (ARAM) 1 yang minus 1,98%, stok Bulog yang di bawah 2 juta ton, dan harga beras yang naik. I

“Ini teori yang salah. Sebab kini kenyataan lapang ternyata tidak demikian. kini 2018 beras impor sudah masuk. Nih coba lihat kondisi di lapangan. Saat ini sudah lewat panen raya, pasokan di Pasar Beras Induk Cipinang sudah naik dua kali lipat yakni 51 ribu ton dari normalnya hanya 20 ribu sampai 30 ribu ton. Begitu pun stok Beras di Bulog 2,7 juta ton, tapi ternyata harga tetap tinggi kan,” terangnya.

Oleh sebab itu, sambung Bambang, kondisi perberasan saat ini menujukkan terjadi anomali yakni pasokan tinggi tetapi harga tetap tinggi. Dengan begitu, tidak sejalan dengan teori-teori ekonomi selama ini yang dianut.

Kondisi perberasan selama ini seharusnya dinilai bahwa ada yang dalam pasar beras, yakni terdapat unsur permainan mafia yang menginginkan impor beras.

“Mudah-mudahan dan moga-moga tidak lupa ingatan atau amnesia statement waktu menjabat dulu. Apa yang telah dilakukan waktu lalu?, Waktu menjabat mestinya tidak hanya berteori tapi mesti memahami fakta dan kondisi lapangan. Bukan hanya berteori dan kebijakan saja, tapi mesti diimplementasikan dong. Atau mudah-mudahan tidak menjadi bagian dari corong mafia,” ujarnya.

“Itu salah statement ya mesti bertanggung jawab pada publik dong, minta maaf lah terhadap teori-teori pembenaran stock dan supply sehingga harga tinggi itu,” pintanya.

Bambang pun menegaskan satu hal lagi perlu menjadi catata penting yaitu terkait dengan data beras. Kesalahan data beras sudah berlanjut sejak 1997.

Dengan demikian, pada saat menjabat Wakil Menteri Pertanian 2010-2014 tentu juga menggunakan data sudah salah, sehingga kenapa waktu itu diam saja atau tidak ada upaya untuk melakukan perbaikan.

“Karena itu, kami tegaskan ulang bahwa statement Yayok baru-baru ini perlu evaluasi kebijakan keberadaan Satgas Pangan, Tim penyerapan Gabah, Penerapan HET serta pengadaan dan operasi pasar besar oleh BULOG adalah tidak tepat. Tidak perlu evaluasi karena kebijakan inilah yang sudah dijalankan dan efektif dalam rangka stabilisasi beras,” tandasnya. (adv/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Digitalisasi Hortikultura Indonesia Menuju Industri 4.0


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler