jpnn.com - SEMARANG - 15 kabupaten/kota di Jateng belum mengajukan usulan upah minimum kabupaten/kota (UMK), sampai batas waktu yang ditetapkan, 30 September. Akibatnya, proses pengajuan diundur sampai 5 Oktober.
Plt Kepala Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Kependudukan (Disnakertransduk) Jawa Tengah, Wika Bintang mengatakan, dewan pengupahan di beberapa daerah belum ada titik temu, sehingga batas pengajuannya diundur hingga 5 Oktober 2014.
BACA JUGA: Wow! Kambing Lumajang Pecahkan Rekor Dunia
Tidak ada titik temu itu terkait angka yang diinginkan buruh, tidak sesuai dengan keinginan perusahaan.
"Saya harapkan pengajuannya bisa disegerakan, karena bulan November akan ditetapkan UMK 2015," jelasnya, kemarin.
BACA JUGA: Buruh Tolak Usulan UMK 2015
Dia berharap, usulan angka yang diajukan sudah tidak menjadi polemik di dewan pengupahan kabupaten/kota.
"Cukup satu pilihan saja, angka yang diajukan ke provinsi. Jadi kami menginginkan di sana sudah selesai," kata dia.
BACA JUGA: Cegah Saling Contek, 80 Ribu Soal Tes CPNS Diacak
Wika enggan menyebutkan berapa jumlah kabupaten/kota di Jawa Tengah yang terlambat mengusulkan angka UMK 2015.
Namun, pihaknya optimistis 15 kabupaten/kota yang belum mengusulkan akan segera mengirimkannya.
"Kami sengaja meminta jauh-jauh hari nominal UMK itu diajukan, agar Pak Gubernur bisa melakukan pencermatan dan pertimbangan," katanya.
Dari 20 usulan UMK 2015 yang sudah diajukan, kata Wika, semua nominalnya di atas Rp 1 juta, termasuk di Kabupaten Purworejo yang pada tahun 2014 dibawah Rp 1 juta, pada tahun 2015 sudah di atas Rp 1 juta.
"Sebagaimana harapan dari Pak Gubernur, semua nominal UMK diharapkan di atas Rp 1 juta," kata dia.
Anggota Dewan Pengupahan Provinsi Jateng dari unsur buruh, Dono Raharjo mengakui, masih ada terjadi perselisihan angka UMK yang diusulkan dari kabupaten/kota. Sehingga masih ada beberapa yang belum mengusulkannya.
"Memang masih ada yang belum sepakat di beberapa daerah. Tapi yang saya tahu di Kota Semarang, Kendal, Demak, itu sudah mengusulkan," kata dia.
Menurutnya, beberapa daerah yang belum mengusulkan itu karena adanya perbedaan cara survei kebutuhan hidup layak (KHL) di lapangan.
Terutama perbedaan itu untuk dua item survei, yakni transportasi dan sewa tempat tinggal.
"Seharusnya transportasi itu dihitung PP (pulang-pergi), tapi ada yang menghitungnya hanya berangkat saja. Kemudian, ukuran sewa kamar 3x3 untuk satu orang, tapi ada yang menghitungnya untuk dua orang," kata dia.
Cara penghitungan berbeda itu, kata dia, membuat dewan pengupahan di daerah belum ada kata mufakat. Padahal seharusnya tidak perlu terjadi demikian.
"Karena survei itu dilakukan antara perwakilan pengusaha dan buruh. Survei barang di lapangan, seharusnya semua mendengar," tukasnya.(Udi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 19 Napi Narkoba Kabur dari Penjara
Redaktur : Tim Redaksi