jpnn.com, JAKARTA - Senator atau anggota DPD RI dari Provinsi Papua Barat Filep Wamafma mendukung sikap masyarakat adat Suku Sebyar bersama 5 (lima) Distrik di Kabupaten Bintuni yang menuntut komitmen Pemerintah untuk membayar sisa kompensasi terkait penyelesaian dana Hak Ulayat
Menurut Filep, masyarakat menuntut hak kesulungan atas sumur minyak dan gas yang diproduksi oleh BP LNG Tangguh atas wilayah hukum adat suku Sebyar, Kabupaten Teluk Bintuni.
BACA JUGA: Filep Wamafma Sampaikan Apresiasi Atas Penetapan 103 Perwira OAP
“Tidak hanya itu, persoalan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas yang belum menemui titik terang serta pembangunan perumahan yang masih 25 persen penyelesaiannya, ikut juga menjadi tuntutan,” ujar Senator Filep dalam keterangan persnya pada Senin (29/3).
Menurut Filep, pemenuhan hak masyarakat adat sesungguhnya merupakan amanat UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
BACA JUGA: Filep Wamafma: Hak Masyarakat Adat di Teluk Bintuni Harus Diperhatikan
Senator Filep meminta BP LNG Tangguh dan Pemerintah terkhusus Kementerian ESDM segera memberikan kejelasan terkait sisa pembayaran kompensasi tersebut.
Menurut Filep, sudah menjadi kewajiban negara memenuhi hak masyarakat adat terhadap sumur minyak dan gas yang telah lama beroperasi di Teluk Bintuni.
BACA JUGA: Sultan DPD RI: Kegiatan Ekonomi Harus Ramah pada Kesinambungan Ekologis
“Dasar berpikirnya cukup perhatikan UU Otsus Papua. Konsiderans Menimbang yang menegaskan bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar,” ujar Senator Papua Barat ini.
Menurut Filep, isi Konsideran tersebut telah memberi pemahaman restriktif bahwa roh dari kehidupan Orang Papua adalah masyarakat hukum adat sendiri, yang harus dihargai dan dihormati martabatnya.
Alasan kedua ialah Pasal 38 ayat (2) UU Otsus. Pada Pasal ini ditegaskan bahwa usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus.
Menurut Filep, pasal tersebut bermakna bahwa semua komitmen yang dilakukan Pemerintah/ BP LNG Tangguh yang berkaitan dengan hal tersebut, harus diselesaikan secara bermartabat demi masyarakat adat itu sendiri.
“Persoalan dasar penghargaan terhadap masyarakat adat sejujurnya sudah jelas di dalam Undang-Undang Otsus. Sekarang letaknya pada willingness (keinginan) untuk menuntaskan janji tersebut, ada atau tidak?” ujar Filep.
Menurut Filep, BAB XI Pasal 43-44 UU Otsus memberikan satu judul besar yaitu Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat yang secara umum mengingatkan Pemerintah agar wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat (yaitu hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan) dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.
“Jadi, sebenarnya secara regulasi semuanya sudah jelas. Belum diketahui pasti alasan keterlambatan pembayaran sisa kompensasi ini. Apapun itu, hal semacam inilah yang justru membuat relasi masyarakat adat dengan negara dan perusahaan makin buruk. Sekarang kita menunggu niat baik Pemerintah dan LNG Tangguh untuk menyelesaikan masalah ini,” ujar Filep Wamafma.(fri/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Friederich