jpnn.com, JAKARTA - Perpres terkait legalisasi miras di beberapa daerah terus menuai konflik. Anggota DPD RI dapil Papua Barat, Filep Wamafma Kembali menguraikan sikap penolakannya terhadap Perpes tersebut.
Menurut Filep, jika mengaitkan dalam konteks Otonomi Khusus (Otsus), maka secara hukum, UU Cipta Kerja sama sekali tidak memperhitungkan keberadaan UU Otsus terutama daerah Papua/Papua Barat sebagai wilayah khusus.
BACA JUGA: Perpres Miras Digugat, Chandra: Insyaallah Rabu Kami ke Mahkamah Agung
“Jangankan UU Otsus, UU Pemerintahan Daerah pun menjadi tidak berkutik di hadapan UU Cipta Kerja. Sekarang Perpres legalisasi miras turunan Cipta Kerja salah satu contohnya,” kata Filep kepada wartawan, Selasa (2/3/2021).
Menurut Filep, UU Cipta Kerja menciptakan peluang yang sangat luas bagi masuknya investasi, namun memangkas sifat desentralisasi otonomi daerah, dan tidak memperhitungkan wilayah dengan Otonomi Khusus seperti Papua/Papua Barat.
BACA JUGA: Pernyataan Terbaru Muhammadiyah soal Perpres Investasi Miras
Padahal, menurutnya, data menunjukkan bahwa miras menyumbang kematian di Papua. Tak hanya di Papua, 75 persen angka kriminalitas di Merauke disebabkan miras, 75 persen juga menyebabkan lakalantas.
Pada Juni 2019, Wakapolda Papua menyatakan bahwa miras adalah penyebab kriminalitas di Papua.
BACA JUGA: Senator Filep Desak Presiden Jokowi Segera Cabut Izin Investasi Miras di Papua
Gubernur Papua, Lukas Enembe menyatakan bahwa setiap tahun ada kurang lebih 22 persen Orang Papua meninggal karena miras.
“Data-data tersebut sudah cukup menjadi bukti bahwa betapa banyak keburukan yang terjadi akibat minuman beralkohol,” kata senator yang juga sebagai Ketua STIH Manokwari.
Dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Papua Tahun 2018, disebutkan bahwa tingkat kriminalitas tinggi terutama disebabkan oleh konsumsi miras.
Itu sebabnya mengapa Gubernur Papua mengeluarkan Perda Miras Momor 15 Tahun 2013 serta Instruksi Gubernur Papua No. 3/Instr-Gub/2016, yang mengatur mengenai pelarangan produksi, pengedaran serta penjualan minuman beralkohol. Sayangnya, PTUN menggugurkannya pada tahun 2017.
Dalam struktur hukum, ada beberapa Pasal terkait miras yang terdapat dalam KUHP, yaitu Pasal 300 ayat (1), Pasal 537 dan 538 KUHP.
Masih berkaitan dengan KUHP, larangan akan kegiatan penjualan minuman keras oplosan telah diatur dalam Pasal 204:
(1) barang siapa yang menjual, menyerahkan, menawarkan atau membagi-bagikan barang yang diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan orang, sedangkan sifat berbahayanya itu tidak diberitahukannya maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan ayat.
(2) bila perbuatannya tersebut menyebabkan orang mati, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama dua puluh tahun lamanya. Pasal tersebut berkaitan dengan miras oplosan.
Tak hanya itu, Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 25 Tahun 2019 Tentang Perubahan Keenam atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-Dag/Per/4/2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol, juga memberikan batasan yang sangat ketat terhadap perdagangan dan peredaran minuman beralkohol.
“Apakah Pemerintah dapat memberikan jaminan mengenai takaran alkohol dalam minuman yang diklaim sebagai budaya dan kearifan ini?,” tanya senator Papua Barat tersebut.(fri/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Friederich