jpnn.com - Engel Tanzil butuh enam bulan untuk mewujudkan pameran buku, catatan, arsip, dan barang-barang pribadi Pramoedya Ananta Toer. Isi diorama ruang kerja hampir semuanya asli dari ruang kerja Pram di rumah.
TAUFIQURRAHMAN, Jakarta
BACA JUGA: Jalan Panjang Menuju Bumi Manusia
TIGA mesin tik diletakkan di ruangan itu. Dua di meja samping. Satu yang paling besar di meja utama.
Buku, kotak kardus tempat beberapa bolpoin, dan pisau pencungkil staples menemani mesin tik yang di meja utama. Juga, tempat lem dari kaleng bekas serta sebungkus rokok merek Djarum. Lengkap dengan asbak penuh puntung serta abu rokok.
BACA JUGA: Soesilo Toer si Doktor Pemulung Sampah, Mulai Takut Mati (6)
Sebuah lampu belajar meneranginya. Sementara itu, Bunga Penutup Abad yang dimainkan Ricky Leonardi Chamber Orchestra mengalun pelan.
Berada di sana, seolah bisa melihat langsung Pramoedya Ananta Toer bekerja. Cetak, cetok, jarinya menari di atas mesin tik. Sembari kebal-kebul mengembuskan asap rokok.
BACA JUGA: Soesilo Toer Doktor Pemulung Sampah, Dituduh PKI, Diarak (5)
”Pram kan kalau lagi nulis pakai sarung,” kata Engel Tanzil sambil menunjuk kursi putar di belakang meja, yang porosnya berkarat dan beberapa bagian kulitnya sobek, tempat selembar sarung disampirkan.
Diorama ruang kerja Pram tersebut diletakkan di ruang belakang artspace milik Engel, dia.lo.gue, yang terletak di daerah Kemang, Jakarta. Merupakan bagian dari displai pameran Namaku Pram: Catatan dan Arsip.
Engel butuh enam bulan untuk mewujudkan pameran yang digagasnya itu. Diawali pendekatan ke keluarga Pram, lewat Astuti Ananta Toer, putri salah seorang sastrawan terbesar Indonesia itu.
Astuti dikenalnya melalui bantuan aktris Happy Salma seusai pertunjukan teater bertajuk Bunga Setengah Abad. Di pertunjukan yang diadaptasi dari Bumi Manusia karya legendaris Pram itu, Happy berperan sebagai Nyai Ontosoroh.
Setelah mengantongi restu dari Astuti, Engel memulai risetnya tentang Pram. Setiap pekan dia sempatkan untuk datang ke rumah Pram di Bojong Gede, Kabupaten Bogor, dan di Utan Kayu, Jakarta Timur.
Engel mewawancarai anak-anak, cucu, dan orang-orang terdekat Pram. Juga, mendatangi beberapa tokoh yang paham dan terinspirasi oleh Pram. Di antaranya, Budiman Sudjatmiko, Hilmar Farid, dan Rieke Dyah Pitaloka.
Buku dan arsip untuk pameran pun lancar didapatkan Engel dari keluarga Pram. Namun, soal diorama ruang kerja yang agak alot. Restu keluarga untuk membawa barang-barang milik penulis Bukan Pasar Malam itu tidak kunjung turun.
Engel sudah pasrah dan berencana mengganti dengan displai lain. Tapi, dua hari menjelang pameran dibuka, pihak keluarga akhirnya mengizinkan.
Barang-barang milik pram, mulai meja hingga patung wajah, akhirnya diantarkan ke Kemang oleh cucu-cucu penulis kelahiran Blora, Jawa Tengah, yang pernah dibuang ke Pulau Buru itu. ”Selasa pameran mau dibuka, Minggu baru datang,” kenang Engel.
Kerja keras Engel itu tak sia-sia. Animo pengunjung tinggi sekali. Sampai-sampai jadwal pameran yang semula berlangsung 17 April hingga 20 Mei itu diperpanjang. Sampai 3 Juni mendatang.
Pram adalah penulis Indonesia yang semasa hidup paling sering disebut sebagai calon penerima Nobel Sastra. Sekaligus mungkin penulis Indonesia yang paling dikenal di jagat sastra dunia.
Bumi Manusia yang kini ramai jadi pergunjingan karena akan difilmkan, misalnya, telah diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa. Sepanjang hayatnya, sekitar 50 karya telah dihasilkan Pram.
Di arena pameran, pengunjung akan disambut garis waktu perjalanan Pram yang dipajang di sepanjang dinding. Mulai kelahirannya di Blora pada 1925, pindah ke Jakarta pada 1943, diangkut ke Pulau Buru pada 1969, bebas tahun 1979, bebas dari tahanan kota pada 1992, hingga meninggal pada 2006.
Engel juga memasang koleksi naskah asli tulisan tangan Pram. Sebagian besar adalah ceceran lembaran-lembaran dari sobekan kertas semen yang memuat penggalan-penggalan paragraf tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).
Ada pula memoar soal kondisi di pulau di kawasan Kepulauan Maluku tersebut. Ada beberapa potongan gambar tentang rumah-rumah warga dan hutan sagu di sekitarnya. Engel bahkan berhasil mendapatkan tas tahanan politik yang dibawa Pram saat meninggalkan Pulau Buru. Di tas kain tersebut tertulis tiga huruf besar P A T, singkatan Pramoedya Ananta Toer.
Di bawahnya tertulis kata ”Buru” dan ”Jakarta”. Lalu, deretan tanggal 28/9/79. Itulah hari ketika peraih Ramon Magsaysay Award 1995 itu bebas dari Pulau Buru.
Yang lainnya adalah lembaran-lembaran Ensiklopedia Citrawi Indonesia (ECI). Proyek Pram dan beberapa kawan untuk membuat kumpulan sejarah dan kebudayaan Nusantara.
Di dalamnya Pram menuliskan banyak hal. Mulai arsitektur khas Indonesia, alam sabana dan padang rumput, musik keroncong, sampai mitos Ratu Kidul. Sayang, ECI tidak selesai.
Engel juga punya kumpulan surat-surat Pram. Satu deret khusus untuk ibu dan istrinya, satu deret lagi untuk anak-anaknya. Semuanya jadi bahan baku untuk salah satu karyanya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
Koleksi lain adalah puluhan lukisan dan foto keluarga. Ada juga sketsa wajah karakter utama dalam tetralogi Pulau Buru, Minke, yang dikelilingi wajah-wajah perempuan.
Satu sketsa besar, kata Engel, adalah Nyai Ontosoroh, mama angkat Minke. Sedangkan sketsa seorang perempuan lainnya adalah Annelies Mellema. Istri pertama Minke.
Satu lagi berwajah Tionghoa, tentu Mei, istri kedua Minke. Dua wajah lainnya, Engel tidak tahu pasti. Tapi, jika menebak dari alur cerita, mungkin Prinses van Kasiruta dan Maesaroh Maramis. Atau bisa juga Miriam de la Croix, sahabat Minke.
Adapun di diorama ruang kerja tadi, di samping kiri meja utama, ada meja yang lebih kecil. Dengan laci. Di atasnya ada dua mesin tik, satu lampu belajar, dan sebuah buku setebal lebih dari 30 sentimeter. Isinya adalah arsip pribadi, tulisan, dan kliping koran milik Pram. Tertulis: Arsip Pribadi 1999.
Kata Engel, dari seluruh isi ruangan tersebut, hanya meja samping, tempat sampah, mesin faks, dan dua lampu belajar yang tidak berasal dari ruang kerja asli Pram di rumahnya di Bojong Gede. ”Sisanya asli,” kata Engel.
Dinding ruang kerja juga dihiasi beberapa potret dan pigura penghargaan. Salah satunya, di dinding kiri, adalah UNESCO Madanjeet Singh Prize yang diberikan kepada Pram tahun 1996.
Di dinding sebelah kanan ada pula penghargaan Fukuoka Cultural Grand Prize dari Jepang pada 2000. Penghargaan itu diberikan kepada Pram atas kontribusinya menuliskan tentang kehidupan ”jugun ianfu”, para perempuan Indonesia yang dijadikan tawanan budak seks tentara Jepang dalam karyanya, Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer.
Engel sudah memendam kekaguman pada sosok Pram sejak SMA. Saat dia menemukan Bumi Manusia teronggok di sudut perpustakaan sekolah. Dengan sampul putih tanpa gambar. ”Saya memang suka sejarah dan novel,” ujarnya.
Semakin dalam dia mengenal penulis Arus Balik itu, Engel merasakan kekagumannya terus bertambah. Apalagi, ketika membaca kisah bagaimana Pram menularkan semangat keindonesiaan kepada sesama tahanan di Pulau Buru.
Lewat cerita yang dia karang sendiri. Lalu, dia sebarkan dari mulut ke mulut kepada tahanan lain. ”Ini untuk menjaga semangat para tahanan yang sudah depresi,” katanya.
Selain itu, bagi Engel, Pram adalah simbol Bumi Manusia-nya Indonesia. Di luar negeri, semua orang sedang mempelajari Pram dengan serius. Engel ingin generasi muda Indonesia mau mengenal dan meneruskan perjuangan Pramoedya Ananta Toer.
”Jangan sampai lah yang pertama mengadakan pameran soal Pram itu bule,” katanya. (*/c10/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Soesilo Toer, Doktor Pemulung Sampah, Dulu Kaya Raya (4)
Redaktur & Reporter : Soetomo